07 Maret, 2018
Anjing Anjingan
22 Februari, 2018
Jangan Mati Gara-gara Uang
21 Agustus, 2016
Telemarketing
Awalnya saya sering "tertipu". Mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dan setelah dijawab, taraaaaa! Penawaran kredit tanpa agunan, penawaran asuransi, penawaran member liburan, dll.
Tapi lama2 saya hapal juga pola2-nya. Misalnya, neleponnya pagi2 sekitar jam 10an. Nomornya kira2 dari area sekitar Jakarta pusat. Dan selalu diawali dengan menyebut nama lengkap saya secara tidak lancar -- karena nama saya agak susah diucapkan, apalagi kalau bukan orang Jawa :)
Sampai akhirnya saya sudah tidak "tertipu" lagi. Begitu ada nomor asing, langsung reject! Kalau terlanjur terangkat, begitu sadar, langsung matiin. Atau kalau terlanjur ada pembicaran bilang aja, "lagi meeting, maaf", tuuuut! Langsung ditutup. Sial.
Cuma untungnya saya belum pernah berkata kasar. Meski saya akui, kadang saya tidak menghargai mereka selayaknya manusia.
Siapa sebenarnya mereka2 itu? Dari hasil liputan reporter kami, saya baru tahu ada sebagian (jumlah pastinya tdk tau juga sih) tenaga telemarketing itu yang direkrut dari saudara2 kita yg tunanetra.
Karena keterbatasan kemampuan, pilihan pekerjaan mereka memang terbatas. Untuk mendapatkannya pun tidak mudah. Tak heran jika mereka dikenal sebagai pekerja yang begitu berdedikasi dalam melakukan tugasnya.
Salah satunya adalah telemarketing. Jenis pekerjaan yg membutuhkan rasa tega karena harus mengusik ketenangan orang. Tentu dengan konsekuensi penolakan dengan berbagai cara. Ditutup, dijawab ketus, atau malah dibentak2. "Tapi kami sudah biasa," tutur mereka kepada reporter kami, sambil tetap tersenyum.
Eh, mereka tidak minta dikasihani lo! Apalagi mereka sadar, setiap pekerjaan punya risiko. Seperti halnya kita juga tidak mau disalahkan atas reaksi spontan yg mungkin kasar dan menyakitkan. Tapi kalau kita berusaha untuk menyikapi sesuatu dengan sewajarnya, rasanya semua (bisa) baik2 saja. Ah, bukan ngajari. Saya juga masih belajar kok.
Selamat akhir pekan.
20 Agustus, 2016
Pembersih Toilet
"Terima kasih Mas." Di toilet pria, di sebuah mal, saya mendengar
suara seorang pria mengucapkan terima kasih kepada petugas pembersih
sebelum meninggalkan ruangan.
Wow, situasi yg jarang saya temui. Seorang pemakai toilet tumben sekali mengucapkan terima kasih, begitu pikir saya bersimpati.
Karena kebetulan saya juga baru selesai dari toilet dan hendak keluar,
saya sempat melirik pria itu. Kami berpandangan dan saling terkejut.
Hei, rupanya dia salah satu teman saya di masa lalu. Mungkin 15 tahun
lebih kami tidak bertemu muka. Seingat saya, kami hanya pernah sekali
chatting di internet, itu pun beberapa tahun lalu.
Obrolan
basa-basi sore itu memang tidak lama. Tapi dari perjumpaan singkat itu,
saya jadi mengenal sisi lain dirinya yg cukup simpatik. Dia ternyata
punya kebiasaan baik, yakni menghargai para pekerja rendahan. Seperti
pembersih toilet yg terkadang kita menyadari keberadaannya pun tidak.
Saya benar2 terkesan dengan kebiasaan baik teman itu. Dan berusaha
terus mengingatnya, agar saya bisa mempraktikkannya juga. Walaupun pada
kenyataan, masih banyak lupanya :)
Peristiwa itu melambungkan ingatan saya kepada perjumpaan dengan teman
lain pada suatu kali. Dia bekas OB di kantor lama saya yg keluar lalu
bekerja di klab malam di daerah Kota. Posisi pekerjaannya di klab malam
itu berganti2, seperti pencuci gelas, pembersih lantai, atau pembersih
toilet. Posisi pekerjaan paling rendah di tempat itu.
Meski tidak
saya tanyakan secara khusus, dari potongan2 ceritanya yg ngalor ngidul
saya bisa mendapat gambaran suka-duka pekerjaannya. Kita yang sehari2
disebut sebagai pegawai kantoran yang biasa berkutat dengan aneka gadget
dan pendingin ruangan, mungkin tdk bisa membayangkan bagaimana
menangani benda2 seperti piring-gelas kotor, bak sampah, lantai,
urinoir, atau wc. Begitu juga dengan kelakuan para penggunanya. Jadi
bisa dibayangkanlah, bagaimana situasinya di klab malam. Yang semakin
malam, justru semakin tidak terkendali.
Lucunya, menurut teman
itu, justru di klab malam banyak situasi (yang mendatangkan rezeki)
tidak terduga. Ketika beberes meja, sering ditemukan barang2 seperti
kunci mobil, uang, korek mahal, rokok, handphone, jam tangan, sampai
narkoba. Celana dalam perempuan juga pernah :)
Benda yang tertinggal juga bisa berarti rezeki tambahan bagi pelayan.
Menurut aturan, semua barang yang ditemukan harus diserahkan ke pihak
sekuriti. Aturan ini tegas, kalau dilanggar langsung pecat.
Barang seperti kunci mobil atau handphone jelas akan dicari pemiliknya.
Nah, kalau beruntung, pelayan yang menemukan nanti bisa “ditampilkan”
oleh sekuriti dan tentunya menerima tip dari pemilik atas jasanya.
Sedangkan barang2 lain, yang tidak terlalu berharga, biasanya sudah
tidak dipedulikan. Di situlah kadang pelayan nakal. Ada yang dikantongi
sendiri. Termasuk kalau yang ditemukan seperti ecstasy. Bisa dikumpulkan
butir demi butir untuk dijual ke pengedar, yang beroperasinya di klab
malam itu juga.
Meski tidak sering, uang tambahan dari tip
dadakan itu cukup lumayan. Apalagi jika dibandingkan gaji mereka yang
rasa-rasanya UMR ideal pun tidak sampai.
Lucunya, kata teman saya
lagi, posisi yang justru jadi incaran adalah pembersih toilet. Bukan
karena posisi ini basah dalam arti sebenarnya lantaran berurusan dengan
air, tapi juga “basah” dalam kiasan karena lebih sering dapat tip.
Entah mengapa, para pengguna toilet di klab malam selalu royal kalau di
toilet. Apalagi para boss. Mereka sering memberi tip para petugas
pembersih yang jumlahnya lumayan, kadang sampai 50 ribu.
Tentu
saja, umumnya dari mereka, jalannya sudah tidak tegak lagi, karena
pengaruh alkohol. Belum lagi yang buang air kecilnya berceceran atau
jackpot di tempat. Tapi petugas pembersih akan tetap tersenyum, terutama
kalau pengunjung sudah mengeluarkan dompetnya.
Di situ saya jadi berpikir, apa kita harus mabuk dulu untuk sekadar berterima kasih kepada petugas kebersihan toilet?
Selamat berakhir pekan.