01 September, 2009

Berebut Kasih Sayang Dengan Narkoba

Sekali lagi, tangan-tangan setan berwujud narkoba terbukti bisa mencengkeram siapa saja. Tak terkecuali keluarga mantan atlet sepakbola nasional era tahun 1970 - 1980-an, Ronny Pattinasarany. Dua putra tercintanya, Benny dan Yerry, selama tujuh tahun menjadi budak barang haram itu. Hanya dengan kepasrahan kepada Tuhan dan kasih sayang keluarga, keduanya bisa diselamatkan.

Bagi yang tidak mengalami, tidak mudah membayangkan perasaan seorang ayah atau orangtua begitu mengetahui putra yang amat mereka cintai jatuh ke lembah jahanam narkoba. Perasaan marah, sedih, bingung berkecamuk jadi satu.

Begitu pula perasaan Ronny Pattinasarany pada awalnya. Sebagai orang yang sedari kecil bergelut di bidang olahraga, istilah "narkoba" terasa sangat jauh dari lingkungannya. Sampai ketika ia mengalami sendiri, barulah Ronny mengerti.

Semua berawal dari Henry Jacques Pattinasarany atau Yerry, putra kedua Ronny, yang suatu hari mengaku telah menjadi pecandu narkoba jenis putau. Di usia yang sangat belia, menjelang 15 tahun, Yerry sudah merasakan sakau, tubuhnya kesakitan minta dicekokin lagi heroin kelas rendahan itu. Itu bisa jadi pertanda kalau ia sudah memakainya lebih dari setahun!

Bukan main terkejutnya dan sedih berat, tapi Ronny tidak ingin terlarut. Beberapa temannya menyarankan, pertolongan medis harus segera diupayakan. Yerry lalu dibawa ke sejumlah nama-nama beken di bidang rehabilitasi kecanduan narkoba di Jakarta, seperti Dr. Al Bachri Husin ataupun Prof. Dr. Dadang Hawari.

Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Yerry tidak sakau lagi. "Sampai di situ, saya kira semua sudah selesai. Ternyata, penyembuhannya tidak susah seperti yang dikatakan orang," kenang Ronny usai melewati babak awal drama kehidupannya. Tak ada bayangan sama sekali, masih ada jalan berliku yang mesti dilalui.

Kehilangan figur ayah
Ronny mengakui, sebagai ayah, dirinya memang tidak bisa selalu hadir di tengah keluarga. Alasannya klise, kesibukan kerja, meski Ronny mengaku kesibukannya itu bukan melulu bermotif mencari uang.

Usai gantung sepatu setelah menjadi pemain nasional selama 15 tahun, Ronny masih dikenal dalam dunia persepakbolaan. Putra Ambon kelahiran Makassar 9 Februari 1949 ini masih diminta melatih sejumlah kesebelasan. Antara lain, pernah menangani Klub Kramayudha Tiga Berlian, Persita Tangerang, Makassar Utama, Persiba Balikpapan, dan Petrokimia Gresik.

Berkelana memantapkan karier kepelatihannya, membuat Ronny lebih sering berada jauh dari rumah. Diakuinya, selain dapat selalu dekat dengan dunia sepakbola yang dicintainya, secara finansial hidupnya pun berkecukupan. "Tapi mungkin di situ anak-anak kehilangan figur saya," ayah empat orang putra itu mengintrospeksi diri.

Kabar tentang kambuhnya Yerry yang didengar semasa Ronny melatih di Gresik baru benar-benar mengusik batinnya. "Anakku tak mungkin sembuh tanpa kehadiranku," batinnya berbisik. Ronny mulai bimbang ketika harus memutuskan satu di antara dua pilihan: terus melanjutkan karier sebagai pelatih atau memikirkan masa depan Yerry.

Keputusan kepulangannya ke Jakarta, walau tanpa bayangan pekerjaan yang jelas, ternyata benar-benar membuka mata akan kondisi Yerry. Ronny seperti tidak mengenali lagi putranya yang dulu dikenal ceria, lincah, dan hobi bermain tenis itu. Yerry sudah tergantung total pada narkoba. Untuk mencukupi kebutuhan putau, Yerry sudah sering meminta paksa ke orangtuanya. Atau yang lebih sering terjadi, dengan cara mencuri barang-barang untuk dijual.

Putau memang jenis narkoba yang sangat adiktif. Tingkat kebutuhan pecandunya semakin hari dipastikan akan terus menanjak. Harga relatif tidak terlalu mahal, karena dijual eceran dalam satuan kecil "paket hemat". Tapi karena dosisnya terus naik dan rentang waktu pemakaiannya semakin singkat, untuk kelas pecandu berat seperti Yerry, dibutuhkan minimal Rp 50.000,-setiap hari.

Sejak itulah harta benda di rumah keluarga Ronny mulai lenyap satu demi satu. Kebanyakan dicuri Yerry untuk digadaikan atau dijual murah. Jika tidak ada sasaran, ia mencuri di mana saja, termasuk di lingkungan keluarga besarnya. "Yang ada di pikiran waktu itu, semua harus bisa jadi uang untuk beli putau. Tidak peduli bakal malu atau dimusuhi semua orang," tutur Yerry yang berpindah-pindah SMA sampai enam kali.

Ujian yang ditanggung Ronny semakin bertambah tatkala Robenno Pattrick Pattinasarany atau Benny, putra pertamanya, terseret pula ke lembah yang sama. Perilaku Benny justru lebih parah ketimbang adiknya, karena lebih sering memakai narkoba di luar rumah. Kabur berhari-hari menginap di rumah bandar.

"Beda sama Yerry, selain pakai, saya bergaul juga sama pemakai dan bandar. Di sana kumpul semua, ada bandar, pemakai, perampok, pembunuh bayaran, pokoknya semuanya," tutur Benny. Kalau uangnya habis, Benny pulang mencari barang yang bisa dijual. Malah ia pernah membuat garage sale, mengobral seluruh perabotan rumah saat orangtuanya pergi.

Bertumpuknya segala beban keluarga, membuat Ronny mulai merenungi jejak-jejak perjalanan hidupnya. Ia mulai menyadari, kehidupan rohaninya berantakan dan ingin memperbaikinya. "Mungkin ini hukuman Tuhan kepada saya lewat anak-anak," Ronny menduga. Maka untuk penyembuhan kedua putranya, ia akhirnya berpasrah total hanya kepadaNya.

Kepasrahan Ronny juga memunculkan tekad untuk terus mendampingi kedua putranya dalam keadaan apa pun. Kapan saja Benny dan Yerry pulang ke rumah, Ronny dan istrinya, Stella Maria, menerima mereka dengan penuh kasih sayang. Mendengarkan keduanya curhat atau bersama-sama berdoa. "Kalau anak saya sampai meninggal karena narkoba, biarlah dia meninggal dalam kasih sayang, bukan dalam kebencian orangtuanya."

Tapi konsekuensi kepasrahan itu begitu berat. Ronny sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan narkoba anak-anaknya setiap hari. Karena tidak bekerja, uang harus didapat lewat segala cara. Bisa dari pemberian teman-teman atau hasil ngutang. Nyaris setiap hari ia berkeliling mencari uang berapa pun jumlahnya cuma untuk membeli putau. Kebutuhan makan sehari-hari bahkan dikesampingkan dulu.

Yang membuat air matanya sering menetes tak tertahan, saat harus menyaksikan anak-anaknya sakau. Sakitnya, digambarkan Benny, seperti rasa nyeri tusukan ribuan jarum dari dalam tubuh. Berteriak-teriak dan membanting-banting badan karena tidak tahan. Bergerak sedikit saja langsung muntah. Ronny yakin, "Tak ada orangtua yang tega melihat anaknya menderita seperti itu."

Kalau anak-anaknya sudah sakau, Ronny yang tidak selalu punya uang biasanya bakal langsung kebat-kebit cari utangan. Atau kalau tidak memungkinkan, misalnya saat jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari, ia cuma bisa memeluk anak-anaknya sambil terus berdoa menunggu fajar pagi.

Kesabaran Ronny sering diuji saat harus mengantar Yerry ke bandar narkoba, bahkan menyaksikan sendiri anaknya memakai putau. Atau ketika menjemput Beny yang sudah berhari-hari menginap di rumah bandar dalam keadaan badan sudah tidak karuan. Di saat-saat seperti itu Ronny merasa seperti sedang berebut kasih sayang dengan para bandar.

Yerry dan Benny bukan tidak menyadari perhatian yang dicurahkan keluarganya. Perlakuan itulah yang membuat mereka terus bertekad untuk sembuh. Cuma jalannya tidak gampang. Sepulang dari panti rehabilitasi narkoba, paling hanya tiga atau empat hari mereka bisa bertahan sembuh. Setelah merasa terkucil dan berkumpul kembali dengan sesama pemakai, mereka kambuh lagi.

"Putau sebenarnya cuma bisa dinikmati kira-kira enam bulan pertama. Setelah itu, saya cuma pakai untuk memenuhi kebutuhan biar enggak sakit," kata Benny yang tujuh tahun memakai segala jenis narkoba. Untuk bisa sembuh, pecandu harus bisa menahan sakau yang sakitnya bukan main. Tapi melewati masa yang cuma sekitar empat atau lima hari itu terasa berat dan menakutkan.

Karena ketidakmampuan untuk sembuh, Benny dan Yerry sempat meyakini hanya dua kemungkinan bagi diri mereka: masuk penjara atau mati karena OD (overdosis). Ajaibnya, dua hal itu tidak terjadi, walau setiap detik sebenarnya maut selalu mengancam.

Tidak mau mendampingi
Lebih dari dua tahun dalam kondisi tidak menentu, titik terang di keluarga Ronny dan Stella akhirnya perlahan mulai terlihat. Suatu sore saat akan berangkat ke rumah bandar narkoba bersama ayahnya, Yerry ditelepon seorang pendeta kenalan keluarga. "Apakah kamu yakin akan sembuh?" tanya Pendeta Harry sehabis mengajaknya berdoa lewat telepon. Yerry mengiyakan walau dengan nada ragu.

Pertemuan dengan Pendeta Harry pada 1999 itu ternyata mengubah jalan hidup Yerry. Ia berangsur sembuh. Malah beberapa hari kemudian Benny termotivasi untuk mengikuti jejak adiknya untuk keluar dari jerat narkoba. Awalnya, kesembuhan itu dibantu dengan obat-obatan medis, tapi mereka mengaku dapat bertahan hanya karena kekuatan iman mereka kepada Sang Maha Penyembuh.

"Saat paling berat sehabis sembuh adalah relaps atau sugesti. Munculnya kalau kita kembali ke lingkungan yang dulu-dulu, ada perasaan untuk memakai narkoba lagi," jelas Yerry. Magnet lingkungan memang begitu kuat, sampai membuat Benny sempat kambuh lagi setahun setelah sembuh. Malah lebih parah lagi dosisnya. Tapi kesembuhan Yerry selalu menjadi inspirasi bagi Benny.

Saat ini Ronny selalu menyediakan waktu untuk membagi pengalamannya dengan sesama orangtua pecandu di berbagai kesempatan. Tanpa bermaksud menggurui, ia selalu menekankan peran orangtua dalam kesembuhan. Karena sesungguhnya, ada andil besar orangtua yang membuat anak-anaknya terjerumus.

"Kebanyakan orangtua tidak mau menerima kenyataan anaknya menjadi pecandu narkoba. Dengan uang mereka mengirim anaknya ke panti rehabilitasi, tapi tidak mau peduli. Tidak mau mendampingi. Mereka tidak mau terusik kesenangannya, privasinya. Kalau perlu, anaknya dibuang," tutur Ronny prihatin.

Sejak sembuh, Benny dan Yerry (kini berusia 28 dan 27 tahun) aktif dalam aktivitas keagamaan sekaligus rehabilitasi pecandu narkoba. Pengalaman keluarga Ronny Pattinasarany juga dituangkan gamblang dalam buku Dan, Kedua Anakku Sembuh Dari Ketergantungan Narkoba terbitan PT Primamedia Pustaka, Kelompok Gramedia Majalah.

Kini salah satu cita-cita keluarga ini yaitu membuat sebuah tempat persinggahan, agar pecandu yang baru sembuh dapat bersosialisasi dulu sebelum kembali ke masyarakat. Terutama bagi mereka yang kurang mampu. Tapi entah kapan rencana itu bakal terwujud.
Yang jelas, setidaknya Ronny kini sudah dapat bernapas lega. Anak-anaknya yang hilang sudah kembali.

Dimuat di: Majalah INTISARI, Januari 2007

Catatan Penulis:
Apa yang dikisahkan Pak Ronny secara langsung dalam wawancara, jauh lebih dahsyat dari apa yang bisa saya tuliskan. Maafkan atas keterbatasan saya itu. Dari kisah ini baru saya bisa memahami apa arti cinta orangtua kepada anak yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar: