01 Maret, 2007

Lewat Sosok Niman Ke Masa Silam

Hembusan angin kencang malam itu tidak terasa dingin. Sedikit di luar kebiasaan memang, lantaran saat itu Januari. Musim penghujan, kata orang. Tapi setidaknya sudah lebih dari sepuluh hari, tak ada curahan air dari langit. Tidak juga di Desa Limo, Cinere, tempat orangtua saya tinggal, sekaligus tempat saya menghabiskan masa remaja. Padahal biasanya, curah hujan daerah ini lebih tinggi dibanding Jakarta.

Di antara hembusan angin kering dan gelap malam itulah, saya berpapasan dengan Niman. Ia salah seorang tenaga satpam perumahan Griya Cinere, tempat orangtua saya tinggal. Saat itu agaknya ia akan memulai patroli malamnya.

“Bang!” saya menyapa sambil melambaikan tangan. Niman yang saya panggil sebagai Bang, balas melambai, tapi terus berlalu dengan sepedanya. Tidak ada tegur-sapa lebih lanjut atau saling basa-basi menanyakan kabar. Padahal sudah hampir lima tahun kami tidak pernah berbincang-bincang, atau semenjak saya kos di Jakarta Barat.

Tapi memang begitulah Niman yang saya kenal. Orangnya lurus, tanpa basa-basi, dan tegas. Kumisnya baplang walau tubuhnya kecil. Tapi sekaligus penakut dan "lugu", kalau tidak bisa disebut kurang berwawasan.

Bertemu Niman membawa angan saya melayang ke lebih dari lima belas tahun silam. Saat ketika saya dan beberapa teman sebaya sering menghabiskan malam-malam panjang kami di pos kamling, tempat para satpam bermarkas. Dan Niman menjadi salah satu teman setia walau tidak harus selalu berkata-kata.

“Pernah jadi pamsung pemilu ya, Bang,” kami bertanya dengan niat sekadar menggoda Niman. Pamsung singkatan dari pengamanan langsung, sebuah satuan tugas yang dibentuk Lembaga Pemilihan Umum (sekarang Komisi Pemilihan Umum) dalam hal keamanan.

“Pemilu 92,” Niman menjawab tegas dengan nada khas aparat.
“Tugasnya dulu di kabupaten?”
“Bukan.” Mata Niman mendelik. “Di kabupati!”

Tawa kami meledak. Meninggalkan Niman yang cuma bisa menebak-nebak letak kelucuannya, tapi tak kunjung menemukan. Kami sebenarnya sudah sering menggodanya perihal “kabupaten” dan “kabupati” seperti itu, tapi Niman selalu saja terjebak di dalamnya.

“Jadi pamsung tugasnya berat, Bang?” kami mulai iseng lagi.
“Ya jelas. Begadang semaleman. Waspada.”
“Emangnya, njagain apa bang?”
“Kotak suara.”
“Ada isinya?”
“Ya kagak. Kosong. Lah pemilunya baru besoknya.”

Tawa kami kembali meledak.

Ada banyak dialog tidak serius semacam itu antara kami dengan Niman, yang dilakukan cuma dengan niat menggoda atau ketika kami sekadar ingin tertawa.

Bukan hanya dialog. Di saat tertentu, Niman sering jadi korban keisengan kami. Di saat ia tertidur saat harus jaga malam, sepedanya sering kami pindahkan sampai 300 meter jauhnya. Atau ketika sedang berpatroli di kegelapan, kami sering menakut-nakutinya dari balik semak. Niman yang terkenal takut setan, pasti bakal langsung mengayuh sepedanya kencang.

Tanpa berniat berbincang-bincang kembali dengan Niman, ternyata saya bertemu lagi dengannya malam Januari itu di warung rokok dekat pos kamling. Kali itu bukan hanya menyapa, tapi saya juga menjabat tangannya. “Masih betah jadi satpam, Bang?” saya berbasa-basi.

Niman tersenyum. “Mau kerja apa. Bisa kerja udah bagus. Daripada pusing nganggur,” tuturnya sambil menyalakan sebatang rokok yang saya berikan padanya.
“Udah lima belas tahun kali ya.”
“Gitu dah. Lebih kali.”

Saya terdiam, dan mengisi kekosongan dengan mengisap rokok dalam-dalam. Saat itulah, dari bias lampu bohlam di depan warung, dapat saya lihat wajah Niman yang tidak muda lagi. Kumis baplangnya kini sudah mulai tipis dan memutih. Dugaan saya, usianya sudah lebih dari 50 tahun. Tubuhnya juga sudah tidak setegap dulu. Gerakannya melamban.

“Anak-anak masih sering pada nongkrong?” saya bertanya sambil menyebut beberapa nama teman di masa lalu.
“Nggak lah. Udah pada pindah. Jarang nongol.”
“Kayaknya banyak satpam baru, Bang.”
Niman menatap saya. Lama dia terdiam. “Siapa yang baru?”

Disitulah baru saya tersadar, bahwa “baru” yang saya maksudkan sebenarnya sudah berjalan setidaknya lima atau tujuh tahun. Satpam paling baru saja, kata Niman, sudah lima tahun bekerja. Ah, rupanya otak saya masih hidup dalam kenangan masa lalu setelah bertemu Niman.

“Gitu dulu dah, Bang. Ntar kapan ngobrol lagi.” Saya berpamitan dan melangkah pulang.

Niman melambai, lalu melangkah menuju ke posnya untuk menyambut sepinya malam.

Di tengah langkah-langkah kaki pulang ke rumah, sejenak saya renungkan peristiwa yang baru terlewatkan. Tentang sosok Niman yang bertahun-tahun masih setia pada pekerjaannya meski dengan gaji tidak seberapa dan kondisi kesehatan yang hampir melampaui batasnya. Juga tentang hidup yang terasa begitu cepat ketika kita sejenak kembali ke masa silam.


Dibuat untuk tugas Kursus Jurnalisme Sastrawi Angkatan XI

Tidak ada komentar: