Bukan cuma tercatat sebagai yang terpanjang, Jalan Tol Cikampek - Purwakarta - Padalarang (Cipularang) juga mencatat sederet prestasi lain. Kondisi alam di jalur antara Jakarta - Bandung menjadi tantangan tersendiri saat pembangunannya. Juga angker?
Rasanya, tak berlebihan jika Cipularang dikatakan sebagai jalan tol terdahsyat di negeri kita saat ini. Jika tidak percaya, cobalah bertanya kepada warga Jakarta atau Bandung, terutama kepada mereka yang sering bepergian di antara dua kota itu.
“Gile bener, Jakarta - Bandung cepet banget. Cuma dua jam!” kata Naim (33) asal Jakarta yang bekerja di Bandung dan setiap akhir pekan melintasi jalur Cipularang. Asep Suryana, yang asli Kiara Condong, tak kalah berkomentar, “Teu pake macet. Jalan terus, sampai Jakarta.”
Kekaguman mereka lantaran Cipularang telah memangkas waktu tempuh dua kota itu. Perjalanan memakai kendaraan pribadi atau bus yang dulu harus ditempuh empat atau lima jam (dan membosankan!) kini bisa dilewati kurang dari dua jam saja. Selisih 2 x 60 menit sangat berharga bagi mereka yang rutin melintasinya setiap pekan atau bahkan setiap hari.
Dulu, bila hendak bepergian ke Bandung, atau sebaliknya, pilihannya lewat jalur Puncak dan Cianjur. Aratu jalur lain lewat Tol Cikampek, dilanjutkan ke Purwakarta. Namun masalahnya, di jalur konvensional itu pengendara harus ekstra hati-hati karena lalu lintas sering sekali padat. Urat kesabaran yang tebal menjadi andalan jika kebetulan terjebak kemacetan, terutama pada hari libur.
Melalui Cipularang, jarak tempuh Jakarta - Bandung, jika dihitung dari pintu masuk tol di Cawang (Jakarta) hingga Cileunyi (Bandung), totalnya 166 km. Perinciannya, tol Jakarta – Cikampek 66 km, Cikampek – Padalarang 59 km, dan Padalarang - Cileunyi 36 km. Jadilah saat ini jalur itu merupakan jalan tol terpanjang di Indonesia.
Cipularang ternyata juga masih mencatat prestasi “ter” yang lain. Jembatan Cikubang setinggi 50 m pada Km 110+076 menjadi jembatan tol tertinggi (Km = kilometer). Sedangkan jembatan Cipada pada Km 111, sepanjang 700 m, juga mencatatkan diri sebagai jembatan tol terpanjang di Tanah Air.
Namun, ada bisik-bisik di balik “wah”-nya Cipularang itu.
Berisiko tapi bisa diantisipasi
Bisik-bisik itu berkaitan dengan Seksi 2, di ruas Purwakarta - Plered, yang secara geologis berada di wilayah batuan sedimen. Mulai sekitar Km 83 yang masuk kawasan Purwakarta Selatan hingga sekitar 7 km berikutnya ke arah Bandung, badan jalan harus melintasi dua wilayah batuan lempung, yaitu Batuan Lempung Subang dan Batuan Lempung Jatiluhur. Sedangkan selebihnya hingga ke Padalarang, berada di tanah batuan vulkanik.
Mendirikan suatu struktur bangunan di atas batuan sedimen yang terbentuk pada zaman tersier ini memang bukan perkara mudah. Umur batuan muda, sekitar lima juta tahun, membuat sifat pergeserannya tinggi alias gampang longsor. Longsoran-longsoran kecil bahkan sudah terjadi jauh sebelum pembangunan dilakukan.
Masalah mulai timbul ketika batuan lempung yang dikupas kemudian terpapar udara atau air hujan. Kandungan mineral monmorilonit di dalam batuan akan mengembang. Apalagi kadar monmorilonit di dua wilayah itu tergolong tinggi, bahkan di atas 50%. Batuan Lempung Subang dan Batuan Lempung Purwakarta seperti dibangkitkan dari tidur panjangnya.
Sebenarnya, kondisi tadi bisa diantisipasi. Paling tidak, Dr. Imam Sadisun, geolog dari Institut Teknologi Bandung meyakinkan, antisipasi sang kontraktor (dalam hal ini PT Adhi Karya) terhadap ancaman longsor di Cipularang umumnya sudah baik. Ini sesuai dengan perencanaan awal proyek.
“Kita bisa melihat potongan lereng yang cukup landai di (wilayah) batuan lempung ini. Juga adanya treatment timbunan tanah, jaring-jaring, ditambah drainase. Jadi, secara teoritis aman-aman saja,” jelas Imam. Jika kebetulan melintasi Cipularang, kita dapat menyaksikan sendiri antisipasi yang dimaksud. Dari jalur A (ke arah Bandung) antisipasi itu berada di kanan jalan.
Wilayah batuan sedimen yang dilintasi langsung badan jalan bahkan tidak terlalu panjang. Sekitar 800 m, antara Km 91 - 92, yang menghubungkan Desa Pasir Munjul, Kecamatan Sukatani, dengan Kecamatan Pasir Honje. Dengan segala pertimbangan, bahkan sempat mengemuka pemikiran untuk membangun sebuah jembatan di atasnya. Jembatan memang lebih mudah dikerjakan, meski biayanya tidak murah.
Namun, entah mengapa, keputusan yang belakangan diambil justru menimbun wilayah yang labil itu. Timbunan setinggi 35 m dan menghubungkan dua bukit itu konon merupakan yang tertinggi di Indonesia!
Terhadap solusi itu, Imam menyatakan tidak keberatan, karena secara teknis hal itu dapat dilakukan. “Tapi syaratnya, harus dilakukan investigasi longsoran secara detail dan akurat. Penyelesaiannya juga jangan setengah-setengah,” tandasnya. Namun, hingga jalan tol resmi digunakan, ia mengaku belum melihat pemetaannya.
Waspadai jalur “S”
Masalahnya, berdasarkan pengamatan geolog kelahiran Purworejo ini, wilayah sekitar Pasir Munjul sebenarnya masih menyimpan potensi longsoran. Bahkan sifatnya multiple succesive sliding, atau kumpulan longsoran kecil di dalam sebuah longsoran besar yang ujungnya di sistem lembah terbawah yaitu di sungai. Nah, akankah ini berbahaya? Imam tidak berkomentar lebih jauh.
Yang jelas, hanya tiga bulan sejak diresmikan, prestasi Cipularang sudah tercoreng. Ruas jalan di Km 91+400 wilayah Dusun Batu Datar didapati amblas sedalam 50 cm. Akhir November 2005, terdapat tiga amblasan jilid dua, yaitu antara Km 91+600 – 91+925, yang berada di wilayah Pasir Honje. Akibatnya, jalan tol itu sempat ditutup sementara.
Kabar ini tentu mengejutkan masyarakat pengguna jalan, karena menyangkut keselamatan mereka. Untungnya, pihak pengelola jalan, yaitu PT Jasa Marga, secara sigap langsung melakukan perbaikan. Bahkan khusus di kawasan rawan amblas ini didirikan pos pengamatan untuk memantau kondisi jalan selama 24 jam.
Menurut PT Jasa Marga, kejadian di Pasir Honje disebabkan patahnya gorong-gorong saluran air di bawah jalan. Soal ini dibenarkan Dr. Adrin Tohari, geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang sempat mempelajari areal di sekitar lokasi amblasan. “Patahnya kemungkinan akibat pergerakan tanah, tapi tidak terdeteksi sebelumnya. Jadi, ketika air menumpuk, terjadi lubang besar di dalam,” demikian analisisnya.
Jika tidak tersalurkan, akumulasi air memang bisa jadi biang kerok amblasan di wilayah batuan sedimen. Apalagi diketahui, susunan batuan di TKP (tempat kejadian perkara) terdiri atas endapan vulkanik berupa tufa, lalu di bawahnya aluvial purba (bekas aliran sungai purba), sedangkan paling dasar barulah batuan lempung.
Air dalam volume besar, seperti di musim hujan, akan mentok dan terakumulasi dalam batuan paling dasar setelah terserap oleh tufa dan aluvial. Dari sanalah mulai timbul pergerakan tanah.
Kejadian di sekitar wilayah batuan sedimen Cipularang tentunya tidak mencerminkan kondisi di Cipularang seluruhnya. Secara umum, jalan tol dinyatakan layak digunakan. Hanya saja, tetaplah terus berdoa dan taatilah peraturan lalu lintas.
Terlebih, dari sisi lalu lintas, wilayah ini kebetulan termasuk daerah rawan kecelakaan. Dari arah Bandung, jalannya menurun tajam dan berkelok seperti huruf “S”. PT Jasa Marga memasang banyak rambu agar pengguna jalan mengurangi kecepatan dan lebih berhati-hati.
Bikin halusinasi
Bisik-bisik lainnya berkaitan dengan kabar burung angkernya Cipularang. "Burung" ini banyak berkicau dari e-mail ke e-mail. Keangkerannya itu cenderung bersifat supranatural sehingga sebuah tabloid otomotif sampai mengontak Ki Joko Bodo, seorang paranormal, untuk mengonfirmasi hal itu. Joko Bodo mengiyakan dan menuduh tidak adanya tumbal sebagai biang keladi.
Namun, lain di mata Agus Budi Wibowo, ahli radiestesi dari Jakarta. Sepanjang jalur tol yang membentang mulai dari pintu tol Dawuan (di jalur tol Jakarta - Cikampek) hingga Padalarang terdapat sejumlah potensi gangguan dari gelombang geopati. Asalnya dari tanah dan aliran air. “Bisa saja (gelombang geopati itu) berpengaruh pada mereka yang melintas,” katanya.
Berdasarkan “pengelihatan” Agus melalui peta kawasan itu, setidaknya terdapat dua gangguan yang berasal dari tanah dan sembilan berasal dari air. Soal gangguan dari tanah, lokasinya antara Km 60 - 70 dan Km 86 - 90. Sedangkan gangguan dari aliran air umumnya membentang dari timur laut ke barat daya yang terbentang di jalan sepanjang 59 km itu.
“Gangguan terbanyak berasal dari tanah, air, atau ‘lainnya’, ada di antara kilometer 83 dan 93 seperti yang ada di peta. Untuk tahu persisnya, saya harus ada di lokasi,” jelas murid Romo Lukman, ahli radiestesi dari Purworejo ini.
Radiestesi itu ilmu yang mempelajari lokasi sumber medan magnet dari Bumi. Gelombang medan magnetik yang umumnya berasal dari tanah, aliran air, atau bahkan supranatural, diyakini dapat mengganggu manusia. Ilmu ini dapat juga dipakai mencari gangguan di rumah, atau pada tubuh, dalam pengobatan.
Menurut Agus, gangguan yang timbul di jalan raya bisa saja mengganggu pengendara, walau mereka hanya melintas sekejap. Efeknya bisa berupa rasa tidak nyaman, pusing, atau bahkan halusinasi. “Saya tidak tahu apakah ada kejadian aneh di sana. Saya hanya mendengarnya dari Anda,” tuturnya ketika Intisari mengonfirmasi beberapa kabar burung tentang angkernya Cipularang.
Untuk menetralkan gelombang negatif, menurut Agus, di suatu lokasi perlu ditanam kumparan khusus terbuat dari tembaga murni. Bagi pengguna jalan, kumparan sejenis bisa dipasang pada kaca spion kendaraan. Alat itu biasanya digunakan sebagai penetral gelombang yang berasal dari getaran badan kendaraan agar tidak mengganggu manusia di dalamnya.
Terlepas dari bisik-bisik tadi, kita patut berbangga dengan karya bangsa ini. Kagumilah saat melintasinya sambil tetap berhati-hati. Ingat, ini jalan tol!
Selain mempersingkat jarak dua kota besar, prestasi Cipularang yang sesungguhnya adalah proses pembangunannya yang tergolong supercepat, kurang dari 13 bulan. Padahal sebelumnya pembangunan sebuah jalan bebas hambatan menghabiskan waktu tak kurang dari dua tahun. Bahkan untuk jalan yang jaraknya lebih pendek.
Rumor yang berkembang, cepatnya pembangunan Cipularang itu lantaran akan adanya peringatan 55 tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung. Rencananya, jalan ini bakal dilintasi rombongan peserta keriaan itu. Belakangan, rombongan tamu negara memilih naik pesawat terbang.
Memang amat disayangkan. Padahal jika tamu negara berkenan melewati Cipularang, mereka bisa menyaksikan sebagian kemolekan negeri ini. Bagi penikmat alam, pemandangan sekitar Cipularang dirasakan cukup menakjubkan. Sawah, sungai, gunung, dan bukit, terlihat menghampar di saat kita melintasinya.
Juga para tamu negara itu bisa mengagumi jalan tol senilai Rp 1,6 triliun ini, yang kabarnya dibangun dengan tingkat kesulitan cukup tinggi. Bahkan proyek semacam ini konon jarang dikerjakan sebelumnya di Indonesia. Kondisi alam antara Jakarta - Bandung seolah tak memberi banyak pilihan. Jalan harus dibangun menembus perbukitan, lembah, atau sungai yang membentang di jantung Provinsi Jawa Barat itu.
Secara umum, proyek Cipularang Tahap II yang melibatkan sembilan perusahaan kontraktor ternama Indonesia berlangsung baik dan tepat waktu.
Dimuat di: Majalah INTISARI
Catatan saya:
Saya jadi tahu sedikit2 tentang ke-geologi-an karena menulis artikel ini. Beruntung saya bertemu dua narasumber yang benar2 kompeten; Iman Sadisun (ITB) yang begitu sabar memberi kuliah geologi singkat padat, serta Adrin Tohari (peneliti LIPI) yang memberi saya banyak "bocoran" soal Cipularang, karena kebetulan pernah meneliti di tempat itu. Kepastian soal adanya "kekuatan" tak kasatmata saya dapatkan dari Agus Budi Wibowo, dengan hanya bermodalkan pulpen dan peta tol Cipularang yang saya dapatkan dari Humas PT Jasamarga. Sampai hari ini, jika melintasi Cipularang, saya masih sedikit bergidik. Apalagi jika mengingat fakta2 off the record-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar