20 November, 2007

Kirim atau Celaka

Jika hidup ini persis seperti yang sering tergambarkan dalam film-film kartun, mungkin hari itu saya akan langsung tertawa sambil jatuh berguling-guling.

Kayak begini:

Hehehe, norak ya.

Bagaimana tidak (halah, pakai gaya wartawan koran segala) di tahun 2007 ini, saya ternyata masih menerima sebuah surat (bersampul, berprangko, dikirim Pak Pos pula) yang isinya ternyata: arisan berantai!

Pertama membukanya, saya sempat tertegun. Tiba-tiba saya begitu ingin bernostalgia sejenak pada surat-surat semacam ini, yang duluuu sekali, pernah saya terima beberapa kali.

Dan yang menakjubkan, sekarang, di zaman internet ini, ternyata masih ada orang-orang yang punya kelebihan tenaga untuk mengurusi hal-hal beginian. Rasanya kepingin juga sekali-sekali berkenalan dengan orang-orang yang mungkin punya lebih dari 24 jam dalam sehari.




Secara garis besar, surat yang saya terima ini tidak berbeda dengan surat arisan berantai lain. Ada keharusan menyetor jumlah tertentu ke rekening orang yang namanya tercantum di daftar paling atas, janji-janji syurga sejumlah uang yang mungkin didapat, testimonial orang-orang tertentu yang katanya sudah berhasil, dst. Tak ada yang baru.

Eh, tapi sebentar! Pandangan saya justru tercuri pada satu gambar di sudut surat, menggambarkan kepala seorang perempuan ber-headphones, bertuliskan "relation care", komplit dengan sebuah nomor ponsel. Hmmm... bolehlah, rupanya ada kemajuan sedikit.

Saya ingat, pertama kali menerima surat semacam ini, saat SMP, setelah menang pada salah satu kuis di majalah Senang (yang awarahum karena SIUPP-nya dikembalikan itu). Sejak itu sekitar sepuluhan surat berantai datang ke alamat saya yang memang tercantum jelas di majalah itu. Awal-awal menerima, sering saya baca dan cermati. Tapi belakangan, diperlakukan seperti junk mail yang langsung masuk tempat sampah tanpa digubris.

Tidak semua surat berisi ajakan main arisan. Pernah juga saya terima surat yang isinya tentang pesan-pesan keagamaan. Meski saya dinyatakan sah beragama sejak usia setahun - dengan cara dibaptis - tapi surat-surat semacam itu tidak menarik perhatian. Apalagi sampai harus berlelah-lelah menyalinnya untuk disebarkan lagi, demi menghemat biaya fotocopy (eeh, ada loh yang melakukannya).

Salah satu ciri yang paling kental dari surat berantai era tahun 80-90-an (sebenarnya sih, masih ada di zaman email berantai zaman sekarang) adalah himbauan untuk meneruskan surat itu ke sejumlah orang (biasanya 10 atau 20 orang). Jika tidak, maka akan celaka.

Lalu ancaman tersebut biasanya ditambah fakta-fakta seperti: Olan Sitompul menerima surat semacam ini dan tidak meneruskannya, maka dia bangkrut karena kalah judi. Anehnya, pernah juga di surat lain, disebutkan kalau Olan Sitompul justru meneruskan surat semacam ini dan menang lotere jutaan rupiah. Mana yang benar?

Soal ini pernah saya tanyakan langsung ke Bung Olan, sekitar tahun 1994. Tentu saja pembawa acara TVRI bersuara "stereo" itu membantahnya. "Tidak usah didengar omongan-omongan itu," ujarnya pelan tapi menyiratkan ketegasan. Dan selanjutnya, pembicaraan saya nilai menjadi kurang enak. Wajahnya terlihat kurang senang, mungkin gara-gara saya tanya begitu.

Entah, yang tidak benar, soal menang loterenya atau bangkrutnya.



Tidak ada komentar: