19 Mei, 2008

Ketika Bocah Autis Beranjak Remaja

Setiap orang berhak mempunyai masa depan lebih baik, tak terkecuali individu autistik. Sayangnya banyak orangtua tidak tahu cara mempersiapkan anak-anak berkebutuhan khusus ini, minimal agar mampu berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Anak autis bisa berkembang, bahkan sembuh. Hanya memang, butuh kesabaran tak terbatas.


"Ikhsan, kenapa terus menerus melihat Ibu? Ada yang salah?" Ibu Imah, guru di Sekolah Mandiga, sekolah khusus individu autistik menegur salah seorang muridnya. Karena Ikhsan tidak mungkin menjawab langsung - ia autistik non-verbal- Ibu Imah lalu memberikan beberapa pilihan jawaban, dan Ikhsan memilih jawaban: cantik!

"Apanya yang menurut Ikhsan cantik?"

"Mata."

"Kenapa memangnya mata Ibu?"

"Cokelat."

Ibu Imah hanya bisa tersenyum simpul mendapat jawaban seperti itu. Ditatapnya Ikhsan Priatama, usia 12 tahun, yang baru saja 'mengungkapkan perasaannya'.

Di lain waktu, Ikhsan berjumpa seorang anak perempuan berusia 7 tahun, teman sekolahnya. Rupanya di mata Ikhsan, gadis itu begitu mengesankan. Suatu hari, ia nekat mengajak berkenalan. "Nama?" ketik Ikhsan di organizer elektronik yang menjadi alat komunikasinya sehari-hari. Alat itu disodorkan ke teman barunya.

"Yasmin," jawab si gadis.

Merasa mendapat angin, Ikhsan terus mencecar dengan pertanyaan standar seorang cowok yang kesengsem pada cewek seperti alamat, nomor telepon, dan seterusnya. Kebetulan gayung bersambut.

Sejak itu keduanya saling menunjukkan perhatian lebih. Jika Yasmin tidak muncul di sekolah, Ikhsan kebingungan dan mencari tahu. Yasmin pun menanggapi. Suatu kali ia pernah membuat kipas cantik dari kertas, yang dikatakannya, "Hadiah untuk Kakak Ikhsan."

Tidak mengerti "daerah abu-abu"
Di alam pikiran orang dewasa, kejadian itu tidak aneh, walau mungkin agak menggelikan. Seorang anak belasan tahun mengungkapkan kekagumannya pada mata gurunya yang bulat cokelat, atau pertemanan spesialnya dengan seorang gadis kecil.

Namun hal itu terasa spesial jika kita menyadari Ikhsan adalah individu autistik yang tengah memasuki masa remaja. Kegenitan itu sendiri muncul dari masa pubertas yang sedang dialaminya, yang manifestasinya berupa ketertarikan pada lawan jenis. Ikhsan sudah mulai tertarik pada perempuan, meski itu gurunya sendiri.

Dari sisi perkembangan fisik, memang tidak ada perbedaan antara anak autis dengan anak-anak "normal" lain. Keremajaan yang akhirnya mereka lalui juga ditandai dengan bekerjanya hormon-hormon tertentu di tubuh, pertumbuhan rambut di beberapa bagian tubuh, perubahan suara, atau pembesaran payudara pada anak gadis. Sebuah rangkaian perubahan yang memunculkan pula dorongan seksual.

Tapi dari sisi perkembangan mental, kemampuan remaja autis sesungguhnya tidak pernah beranjak jauh dari masa kanak-kanaknya. Tetap terjadi gangguan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Secara sederhana autisme sendiri berarti gangguan perkembangan. Jadilah mereka manusia yang bersikap dan bertingkah seperti anak kecil tapi dalam wujud tubuh dewasa.

Fisik individu autistik pada umur belasan bisa saja menjulang di atas 170 cm, dengan berat di atas 70 kg. Namun dalam penjelasan Dyah Puspita, psikolog yang tinggal di Jakarta dan mendalami autisme, mereka sulit untuk mengerti adanya "daerah abu-abu" dalam kehidupan. "Hidup ini hitam-putih saja. Tidak tahu ada orang jahat. Tidak tahu konsep malu dan tanggung jawab. Tidak risih melompat-lompat di depan orang banyak," kata Ita, begitu ibu dari Ikhsan ini biasa dipanggil.

Dengan kondisi seperti itu, seiring pertumbuhannya, kehidupan remaja autis terus tertinggal dari teman-teman sebayanya. Mereka sering menjadi "korban" ketika harus berbaur dengan orang lain di masyarakat. Dampak masih banyaknya ketidaktahuan orang tentang autisme.
Remaja autis yang secara intelektual tidak bermasalah dan bisa bersekolah umum misalnya, sering mengeluh tidak diterima dalam pergaulan. Tingkah laku mereka dianggap aneh atau obrolannya enggak nyambung. Dianggap tidak gaul. Tidak jarang mereka dijadikan obyek kenakalan teman-temannya sendiri: diejek, dikerjain, atau ditelanjangi.

Yang lebih memprihatinkan, ungkap Ita, remaja autis juga rentan pelecehan seksual. Fisik mereka terlihat normal - cantik atau ganteng - tapi karena tidak mampu memahami situasi di sekelilingnya, mereka sering menjadi sasaran pemuasan hasrat orang dewasa di sekitarnya. Sudah banyak kasus anak autis yang dilecehkan penjaga sekolah, terapis, atau keluarga dekatnya sendiri.

"Keluarga biasanya tidak mempermasalahkan karena tidak ingin urusannya menjadi panjang dan bikin repot," jelas psikolog lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini menyayangkan. "Belum lagi kasus yang tidak terungkap karena anak autis umumnya tidak bisa bercerita apa yang terjadi."

Waktu dan tempat yang tepat
Kematangan remaja autis tak terkecuali untuk urusan seksualitasnya. Persoalan inilah yang sering menjadi sumber kekhawatiran keluarga, karena rambu-rambunya tidak akan dipahami jika tidak diberi pengertian yang cukup. Pada remaja pria dorongan hasrat seksual itu tetap membutuhkan penyaluran alamiah, seperti pengeluaran sperma. Perempuannya juga mengalami menstruasi secara teratur.

Tapi, orangtua mana yang tidak risih melihat anaknya tiba-tiba mulai senang, maaf, menggosok-gosok alat kelaminnya sendiri untuk bermasturbasi. Tapi karena tidak paham tentang konsep malu, tindakan itu bisa mereka lakukan di mana saja pada saat merasa butuh. Mereka bahkan bisa marah jika acara favoritnya itu diganggu. Di sebuah milis internet, seorang ibu merasa bingung karena putranya malah melakukannya sampai lima kali dalam sehari! "Bagaimana mengatasinya?" keluh si Ibu.

Dengan berhati-hati, Ita memberi sebuah rumusan: proper time proper place, pada waktu dan tempat yang tepat. Dorongan biologis jelas tidak bisa dihambat, tapi harus dilatih agar tidak dilakukan di sembarang tempat dan harus diperhatikan pula waktunya. "Bukan pas lagi jalan-jalan di mal, terus kepingin, lalu dilakukan saat itu juga. Pulang dulu dan lakukan di kamar yang terkunci. Orang lain tidak usah tahu," jelasnya.

Orangtua juga diharapkan maklum akan kondisi yang tidak terhindarkan itu. 'Tahu sama tahu' sajalah. Hasrat ini sebenarnya bisa diminimalisir. Jauhkan barang-barang yang bisa memicu gairah mereka, seperti siaran televisi, gambar-gambar di media cetak atau keping film VCD/DVD. Ada sebagian orangtua yang mengatasinya dengan memberi kesibukan kepada anaknya. Jika anak sudah lelah, penyalurannya bisa lewat cara lain, seperti mimpi basah.

Ita menegaskan, pada anak autis, memberikan pemahaman yang benar memang dibutuhkan waktu yang lama, malah sampai bertahun-tahun. Tapi jika sudah dipahami dan menjadi suatu kebiasaan, mereka akan taat dan disiplin, karena individu autis umumnya melakukan sesuatu berdasarkan pola tertentu dengan urutan yang tetap. Berbeda dengan anak biasa yang cepat mengerti sesuatu tapi cepat juga melupakannya.

Dalam mendidik Ikhsan, Ita yang kebetulan orangtua tunggal, selalu membuat aturan tegas. Jika anak diperkirakan tidak mengerti, maka ia memerintahkannya tanpa penjelasan. Pokoknya harus begitu, titik! Jika dilanggar akan ada hukumannya. Cara ini memang otoriter, tapi dalam keyakinannya, anak autis tidak membutuhkan penjelasan rasional. Mereka tidak paham hal-hal abstrak. Tenggang rasa, perasaan, dosa, apaan tuh?

Contoh menegakkan peraturan misalnya, anak yang sedang dididik untuk membawa tasnya sendiri, maka dia harus selalu membawanya sendiri. Jangan sekali pun orang lain membantu. Orangtua juga harus konsekuen, tidak memberi pertolongan sekecil apa pun. Walau anak menangis begitu rupa (dan ini sering terjadi!) orangtua harus bertahan. Kalau anak melanggarnya, harus diberi hukuman, misalnya dicabut haknya untuk menonton televisi atau tidak diajak jalan-jalan. Biar anak itu saja yang dihukum, anggota keluarga yang lain boleh tetap nonton televisi dan jalan-jalan.

Kesalahan orangtua, jelas Ita, sering tidak konsisten. Sering kali aturan bisa ditawar karena orangtua berdalih merasa kasihan pada anaknya yang autis, "Sudah autis masih dikerasi pula." Padahal, tindakan memanjakan anak autis ini akan menyulitkan anak di masa depan. Terutama kelak jika orangtua sudah meninggal, sementara anak belum mandiri. Ita mengaku sering menjumpai orangtua yang kebingungan karena anak remajanya sulit diatur, bikin ulah macam-macam, atau malah tantrum (mengamuk). Ternyata, penyebabnya karena anak tidak dilatih sejak kecil.

Ijazahnya untuk apa?
Ketika hari demi hari berganti, di benak para orangtua remaja autis berkecamuk sejumlah pertanyaan: bagaimana masa depan anakku? Dapatkah ia hidup tanpa aku? Bagaimana penghidupannya kelak? Bagaimana, bagaimana....?

Chandra Dewi, ibunda dari Alit, individu autistik berusia 15 tahun, tidak ingin berlarut-larut dalam kegalauan hati semacam itu. Bagi dia, persoalan saat ini adalah bagaimana mendidik anak sulungnya agar mandiri dan menggali potensi yang dapat menunjang kehidupannya kelak. "Kalau soal masa depan dipikirkan nanti saja," tuturnya tanpa bermaksud menghindar dari persoalan.

Saat ini Alit bersekolah di Mandiga (Mandiri dan Bahagia), sekolah yang mendidik anak-anak autis agar mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pelajarannya bersifat praktis, mulai cara menggunakan toilet, mengurus keperluan sehari-hari, sampai baca-tulis. Dengan keterampilan dasar ini diharapkan mereka dapat menjalani hidupnya tanpa menyusahkan orang lain.

Alit bukan tidak bisa mengikuti pelajaran seperti di sekolah-sekolah umum. Ia pernah mengikuti tes dan dinyatakan bisa belajar di sekolah khusus yang pelajarannya seperti sekolah biasa. "Tapi kami (Dewi dan suami, Red) berpikir, terus apa manfaatnya untuk dia," tutur Dewi. Ia meyakini, anaknya tidak membutuhkan pelajaran seperti anak-anak sekolah biasa. "Lebih baik waktunya dipakai untuk belajar yang bermanfaat bagi dia."

Kebetulan Alit yang memiliki dua adik tidak autis menunjukkan minat besar pada elektronika. Senang mengutak-atik komputer dan tertarik pada teknologi ponsel. Ia juga suka sekali mendengarkan lagu-lagu dan bisa memainkan alat musik. Mungkinkah masa depan Alit berawal dari minatnya ini? Dewi sendiri tidak bisa memastikan.

Langkah orangtua seperti Dewi didukung sepenuhnya oleh Ita. Kebetulan sehari-hari ia aktif di Yayasan Autisma Indonesia dan banyak bergelut dengan segala permasalahan individu autistik di masyarakat. "Banyak orangtua yang memaksakan anaknya yang autis untuk bersekolah di sekolah reguler. Untuk mengejar nilai, malah sering harus les sampai malam. Setelah lulus, kira-kira ijazahnya mau dibuat apa?" Ita mengajak para orangtua merenung.

Menurut Ita, banyak orangtua yang masih mengagung-agungkan ijazah. Seolah-olah tanpa ijazah orang tidak bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat. Lebih baik waktu kanak-kanak dan remaja dipakai untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki anak.

"Ada orangtua yang kaget waktu tahu anaknya senang menggoreng. Memangnya kenapa? Biarkan. Mungkin suatu hari dia bisa bekerja di katering. Atau kalau anak senang beres-beres, mungkin bisa bekerja sebagai housekeeping di hotel," tutur ibu yang menuangkan pengalaman mendidik puteranya di buku Warna-Warni Kehidupan ini.
Individu autistik memang punya banyak pilihan, dan tentu saja hak untuk berkembang.


Fakta Terbaru Autisme
- Sepuluh tahun belakangan, autisme meningkat pesat. Saat ini diperkirakan ada 35 juta penyandang autisme di seluruh dunia.
- Setiap 20 menit terdiagnosis satu penderita autisme baru.
- Perbandingan penyandang autis lelaki dan perempuan, 4 : 1.
- Dulu diyakini penyebabnya hanya kelainan gen, sekarang faktor pencemaran lingkungan ikut mempengaruhi gen yang sudah lemah. (Sumber: Dr. Melly Budiman SpKJ)

Setelah Sembuh Jadi Antik?
Hasil riset sejumlah dokter ahli menunjukkan, autisme berpeluang disembuhkan. "Dikatakan sembuh kalau anak autis sudah bisa berbaur, berkomunikasi dan tidak berbuat macam-macam lagi," jelas Dr. Melly Budhiman SpKJ, psikiater yang telah menangani autisme selama puluhan tahun.

Dasarnya, suatu pemikiran bahwa autisme mempengaruhi otak, lalu mempengaruhi tubuh. Jika gangguan di tubuh dapat diatasi, pengaruh positifnya bisa sampai juga ke otak. Misalnya lewat terapi hiperbarik oksigen, terapi terbaru yang memasukkan oksigen ke dalam tubuh hingga ke otak. Kurangnya oksigen di otak memang dapat menyebabkan gangguan fungsi seperti autisme.

Individu autistik yang sembuh dapat hidup normal seperti orang lain, namun sisa-sisa autisme masih akan melekat padanya. Misalnya jika sedang stres ia akan flapping (gerakan seperti burung mengepakkan sayap) sendirian di kamar. Atau saat berbicara ia tidak berani menatap mata lawan bicaranya. "Di sekitar kita 'kan juga ada orang-orang seperti itu. Kita sebut orang yang antik. Bisa jadi dia dulu pernah autis, tapi kemudian sembuh sendiri," kata Dr. Melly.

Dimuat di: Majalah INTISARI, Mei 2008


Catatan Penulis:
Terus terang, menulis tentang autisme dan individu autistik adalah salah satu keinginan saya. Saya pribadi ingin sekali mempelajari tentang gangguan ini dan rasa simpati saya yang begitu besar terhadap orangtua yang memiliki anak seorang individu autistik begitu besar, karena salah satu keponakan saya juga individu autistik yang beranjak remaja. Kebetulan sekali saat mengumpulkan data, bertepatan dengan bulan peduli autisme yang jatuh setiap April.

Satu hal yang menurut saya menarik, pernyataan dari dr. Melly, bahwa mungkin saja rekan2 di sekitar kita yang tingkahnya "antik", adalah penderita autis ketika kecil dan sekarang sudah menyembuh. Dr Melly juga bercerita ada salah seorang yang mengaku padanya bahwa mungkin dirinya dulu autis, tapi karena ayahnya adalah seorang tentara yang keras dan tidak mentolerir kesalahan sedikitpun, maka ia menjadi sembuh. Pertanyaannya: apakah semua anak autis harus diperlakukan demikian agar sembuh?

Tidak ada komentar: