Apa arti kebahagiaan menurut Anda? Untuk pertanyaan sederhana ini saja, jawaban setiap orang bisa berlainan. Ini bukan soal benar atau salah, karena setiap orang memiliki persepsi tentang kebahagiaan, terutama jika menyangkut diri sendiri. Seseorang juga bebas menilai orang lain bahagia atau tidak, tapi tidak ada yang tahu apa yang dirasakan orang itu sesungguhnya.
Mark Twain, penyair Amerika Serikat abad ke-19, pernah mengungkapkan sebaris kalimat yang sangat terkenal perihal kebahagiaan. Katanya, "Kebahagiaan itu seperti Swedish Sunset - ada untuk kita semua, tapi kebanyakan dari kita melihat ke sisi yang lain dan malah kehilangan." Swedish Sunset adalah istilah untuk pemandangan indah kala matahari terbenam, yang sayang jika dilewatkan.
Twain seolah menyindir kita yang terus mencari kebahagiaan setiap hari, tapi ketika sudah mencapainya, kita malah berpaling. Alhasil kebahagiaan malah tidak mampir barang sedetik pun. Padahal, seperti kata orang bijak: bukankah kebahagiaan itu sejatinya ada di hati masing-masing. Tinggal bagaimana kita mensyukuri segala yang telah dimiliki saja. Apa benar begitu?
Seorang tenaga keuangan, sebut saja namanya Adi, beberapa waktu silam memutuskan untuk meninggalkan jabatan dan pekerjaannya di sebuah perusahaan terkemuka. Semua orang terkejut mendengar kabar itu lantaran selama ini tidak ada masalah dengan karir Adi. Malah tahun ini, kabarnya ia akan dipromosikan untuk suatu jabatan yang sangat bergengsi dan diincar banyak orang. Tapi secara sadar Adi meninggalkan semua itu untuk menjadi seorang pelukis.
Kini kanvas dan ceceran cat minyak mewarnai hari-hari Adi di studio lukis, yang dibangun di belakang rumahnya. Kicau burung-burung liar diselingi hembusan angin yang menggoyangkan helai-helai daun, menemaninya berkarya. Benar-benar berubah 180 derajat dengan kehidupannya beberapa waktu sebelumnya. Sementara orang lain yang melihatnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, sambil berbisik, "Kasihan dia, merintis dari nol. Penghasilannya juga tak pasti."
Adi bukan tidak tahu tentang omongan orang pada dirinya. Tapi di usianya yang ke-45, ia telah bertekad bulat untuk merubah hidup dengan persetujuan istri dan seorang putranya yang beranjak remaja. "Hidup hanya sekali, aku ingin menikmatinya," tutur pria yang memang sejak kecil berkeinginan kuat untuk menjadi seniman itu.
Seperti piramid
Dalam kajian psikologi, terminologi kebahagiaan sendiri juga tidak terdefinisikan secara jelas. "Semua tergantung kepada masing-masing orang dalam mengartikannya," kata Ratna Djuwita Chaidir, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Seseorang merasa bahagia atau tidak, hanya dia yang tahu pasti. Sifat dan ukurannya sangat individual.
Namun dalam dunia psikologi, jelas Ratna, terdapat suatu teori yang digagas Abraham Maslow (teori Maslow) tentang hirarki kebutuhan manusia. Dengan teori itu kita bisa melihat hubungan antara tingkat pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda pada setiap orang dengan kepuasan atau kebahagiannya. Jika kebutuhannya terpenuhi, tingkatannya akan naik. Namun jika tidak, maka ada kemungkinan terjadi ketidakpuasan pada dirinya.
Teori Maslow membagi kebutuhan manusia dalam lima tingkat. Pertama, kebutuhan mempertahankan hidup (fisiologis) berupa makan, pakaian, istirahat, seks, dan lain-lain yang merupakan kebutuhan dasar kita sehari-hari. Jika tidak ada masalah dengan hal itu, maka kebutuhan menanjak terus menuju kebutuhan rasa aman, yakni bebas dari bahaya dan ancaman baik fisik maupun psikis.
Tingkat ketiga adalah kebutuhan sosial, yakni rasa memiliki atau dimiliki serta merasa menjadi bagian dari kelompok. Berikutnya atau tingkat keempat, manusia juga membutuhkan penghargaan atas prestasi yang diraihnya. Terakhir atau tertinggi adalah aktualisasi diri berupa pencapaian cita-cita dan perwujudan diri.
Ratna menjelaskan, tidak setiap orang akan terus melaju melampaui semua tingkatan tersebut. Semakin ke atas, akan semakin sedikit orang yang bisa mencapainya. Nah, pemenuhan dari setiap tingkat kebutuhan itu akan berhubungan dengan tingkat kepuasan atau kebahagian. Jika semua terpenuhi, alhasil ia bisa mengaku bahagia.
Contohnya, seseorang dari kalangan ekonomi lemah yang kebutuhannya masih seputar fisiologis, jika makan, pakaian, dan tempat tinggalnya semua sudah terpenuhi, maka ia akan merasa tidak banyak masalah. Lain dengan pegawai kantoran yang mungkin saja kebutuhannya sudah berada pada tingkat penghargaan. Jika di lingkungan pekerjaan atau masyarakat tidak mendapat penghargaan yang selayaknya, maka ia bisa tersiksa.
Bisa jadi, kata Ratna, tingkat kebutuhan ini pula yang menjadi alasan para top management seperti pemilik perusahaan atau eksekutif, menduduki peringkat terbawah dalam Indonesian Happiness Index 2007 (lihat boks "Orang Semarang Paling Bahagia"). "Mereka tidak mendapatkan apa yang dicari, yaitu mungkin aktualiasi diri. Berbeda dengan pekerja di tingkat staf yang kebutuhannya di tingkat life and belongines. Ketika para staf bertemu dengan teman akrab dan bersosialisasi, maka sudah cukup," tutur Manajer Sumber Daya Manusia di Fakultas Psikologi UI ini.
Begitu pula dalam contoh Adi yang banting stir menjadi pelukis. Dalam pandangan Ratna, kemungkinan dia sudah mencapai dalam tahap aktualisasi diri. Di tahap tertinggi ini, manusia umumnya sudah berpikir tentang keinginan terdalam dari dirinya. Perwujudannya bisa dalam bentuk aktivitas yang berhubungan dengan keindahan, seni, atau malah agama.
Rindu bersosialisasi
Khusus situasi di Indonesia ada beberapa catatan unik soal kebahagiaan. Masyarakat kita umumnya memang masih berada pada tingkat kebutuhan dasar, yang besar kemungkinan karena tingkat perekonomian yang lemah. Kondisi inilah yang memunculkan gurauan bahwa orang Barat selalu heran melihat orang Indonesia yang "tahan menderita" dan selalu bisa tersenyum di saat apapun. Padahal yang terjadi, kebutuhan mereka umumnya mudah terpenuhi.
Ratna mengamati, sebagian masyarakat kita yang lain kebutuhannya masih terbatas pada bersosialisasi. Kebutuhan ini pun gampang terpenuhi saat mereka berkumpul dengan teman atau kerabat. Setidaknya kondisi ini berbeda dengan masyarakat Barat yang dikesankan cenderung individualistis.
Tapi akibatnya orang Indonesia akan punya masalah saat hidup jauh dari kampung halaman. Para mahasiswa yang belajar di luar negeri, umumnya mengaku kehilangan rasa guyub yang biasa mereka dapatkan di Tanah Air pada awal masa studinya. Mereka rindu bersosialisasi dengan sesama orang Indonesia. Perasaan itu tidak berhubungan dengan tingkat intelektualitas mereka yang sudah tinggi. "Karena sejak kecil sudah terbentuk seperti itu," tutur Ratna yang menyelesaikan S2-nya di Jerman.
Satu hal lagi, masyarakat kita ternyata juga tidak terbiasa hidup dalam perencanaan. "Mengalir sajalah," begitu jawaban yang terlontar setiap kali ditanya tentang rencana jangka panjang. Mengalir bisa berarti perlahan mengikuti kata hati yang terbaik atau bisa berarti hidup tanpa perencanaan.
"Tentu saja jawaban itu tidak salah," Ratna menanggapi secara hati-hati. "Bahkan bisa membantu seseorang mensyukuri segala hal yang didapat selama ini. Tapi dipandang dari sisi optimalisasi diri pribadi di mana setiap manusia adalah individu unik yang harus berkembang, maka sebenarnya masyarakat kita tidak berkembang."
Untuk membantu mengukur pencapaian hidup, ada baiknya kita memiliki goal, atau tujuan. Semua itu dilakukan dengan menyusun rencana yang terbagi dalam termin tertentu. Misalnya pada usia 23 lulus, usia 27 menikah, umur 30 memiliki rumah sendiri, dan seterusnya. "Jika seseorang punya target, maka dia akan mencapai ke arah itu," tutur Ratna.
Satu kesalahan lain yang sering kita lakukan, adalah memberi cap "tidak bahagia" terhadap orang lain yang hidupnya tidak seperti kita. Misalnya cap kepada orang Barat yang hidupnya kita pandang terlalu kompetitif dan individualistis. Kita merasa cara hidup kita yang paling bisa mendatangkan kebahagiaan.
Padahal dalam penjelasan Ratna, mereka belum tentu tidak bahagia. Tingkat kebutuhan mereka memang berbeda dengan kita, sehingga pemenuhannya pun berbeda dengan kita. Ini juga menjadi satu bukti bahwa kebahagiaan sesungguhnya amat ditentukan juga dengan tingkat kebutuhan masing-masing. Kembali ke teori Maslow 'kan?
Nah, jika Anda sekarang bingung apakah sedang berbahagia atau tidak, cobalah sadari di manakah tingkat kebutuhan Anda. Sudahkah semua itu terpenuhi dan mendatangkan perasaan menyenangkan bagi Anda?
Boks utk testimoni:
Dhany Virdian, 30 th, menikah, senior copywriter
Menikah adalah turning point dalam hidup saya, dan turut mendongkrak karir. My wife brings me luck. Tapi saya belum puas. Rencananya, usia 45 tahun sudah pensiun. Tidak bekerja keras, cukup memutar penghasilan dari investasi dan menikmati hidup bersama keluarga.
Eko prabowo, 29, lajang, peneliti
Saya selalu bersyukur karena bisa menentukan langkah kehidupan sendiri. Bekalnya kekuatan free will yang saya yakini. Pekerjaan, penghasilan, kehidupan sosial cukup menyenangkan. Tapi saya membayangkan mampu meraih kesuksesan ekonomi, sosial, dan pribadi yang lebih baik di masa depan.
Mita Almandari, 30, menikah, desainer grafis
Menyenangkan rasanya bisa bangun pagi bersama suami dan anak. Sejauh ini ada satu pekerjaan dambaan yang belum kesampaian. Kepinginnya bisa berangkat pagi dengan happy, tidak berpikir soal gaji, dan hal-hal semacam itulah. Cara mewujudkannya adalah ditulis di buku harian berulang-ulang supaya selalu ingat bahwa saya punya mimpi.
Dhien Sudarmadi, 26 th, menikah, engineer
Pastinya saya bersyukur banget atas penghasilan yang didapat, dibanding sama saudara, teman, atau warga kolong jembatan yang kurang beruntung. Saya memang sensitif melihat mereka, sebab sedari kecil tumbuh di kawasan kumuh, padat penduduk, kebanjiran pula. Sejauh ini saya punya dua rencana menyangkut masa depan.
Elfida Lubis, 27 th, lajang, editor
Selalu bersyukur karena I've a complete family 'till now. Hal yang sulit dalam hidup adalah ketika harus masuk ke lingkungan baru, tapi lingkungan tersebut tidak bisa menerima secara utuh. Tidak tahu apakah ekspektasi mereka terhadap saya tidak terjawab, atau justru melebihi dari apa yang mereka harapkan, atau justru sebaliknya. Kalau sudah begitu, biasanya saya jadi apatis.
Indeks dihasilkan berdasarkan survei terhadap 1.800 responden berusia 15 - 65 tahun, secara merata pada enam kota besar. Hasilnya wong Semarang mengaku paling bahagia dengan indeks 48,74 dalam skala 0 - 100. Berikutnya Makassar (47,95), Bandung (47,88), Surabaya (47,19), Jakarta (46,20), dan Medan (46,12).
Handi Irawan, chairman of Frontier Consulting Group, menyatakan dalam penelitian ini kebahagiaan didefinisikan sebagai seberapa jauh seorang individu menganggap kualitas hidupnya membahagiakan (favorable). Lebih spesifik, kebahagiaan mengandung persepsi individu mengenai seberapa baik mereka menikmati hidup dan tingkat keberhasilan mereka dalam menggapai hal yang mereka inginkan dalam hidupnya.
Dari survei diketahui pula bahwa kaum profesional mengaku sebagai orang yang paling bahagia. Disusul kemudian middle management, tentara, dan pegawai tingkat staf. Anehnya, jajaran top management yang selama ini sering diidentikkan sebagai kaum the have, justu menduduki tingkat paling rendah atau paling tidak bahagia. Setidaknya ini jadi satu bukti bahwa kaya tidak selalu bahagia.
Agak memprihatinkan mencermati indeks kebahagiaan secara nasional, yaitu hasilnya sebesar 47,96 atau artinya mayoritas responden merasa relatif tidak bahagia akhir-akhir ini. Jika mau dicari pembenarannya, mungkin saja keadaan negeri ini yang tidak kunjung membaik dari berbagai sisi, membuat mereka berpendapat demikian.
Anda mungkin punya pendapat lain?
Dimuat di: Majalah INTISARI, Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar