Sering terjadi, perlakuan orangtua terhadap anak pertama sedikit berbeda dibanding kepada anak-anak berikutnya. Bisa dalam arti positif atau negatif. Ada anak yang bisa menikmati "keistimewaan" itu, tapi tak sedikit pula yang merasa terbebani.
George Walker Bush, presiden AS ke-43 yang sebentar lagi turun tahta itu, pernah "curhat" soal nasibnya sebagai putra pertama keluarga Bush-Walker, salah satu keluarga tersohor di Amerika Serikat. "Tentu beban menjadi anak tertua terasa cukup berat. Tapi aku tidak punya pilihan dan tidak ingin memikirkannya terus," tuturnya dalam First Son - George W. Bush and The Bush Family Dynasty, biografi yang terbit pada awal Bush memerintah.
Sebagai keturunan keluarga kaya, terpandang, dan aktif berpolitik sedari muda, tentu tidak mudah bagi Bush menjalani hidup. Bukan cuma soal dibanding-bandingkan dengan keluarga saja. Ia malah pernah ditolak calon mertua, cuma lantaran dianggap terlalu berat mengemban reputasi keluarga. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga jadi anak pertama, dari keluarga terkenal pula.
Namun, anak pertama pun memperoleh keistimewaan. Anggapan yang berkembang di masyarakat selama ini, anak sulung selalu berkelimpahan kasih sayang. Soalnya, sejak masih di dalam kandungan kehadirannya sudah dinanti-nantikan. Setelah lahir, akan jadi pusat perhatian seluruh keluarga. Segala kebutuhan segera terpenuhi, serta mendapat fasilitas pertama dan terbaik. Konon, foto-foto anak sulung selalu lebih banyak dibanding adik-adiknya.
Lebih tua lebih pintar
Anak sulung pun patut berbangga kalau berkaca pada jurnal ilmiah bergengsi dunia, Science. Dalam edisi Mei 2007 dimuat penelitian Petter Kristensen dari University of Oslo, yang menyatakan kalau hasil tes IQ anak-anak sulung ternyata 2,3 poin lebih tinggi dibanding anak urutan berikutnya.
Penelitian yang sempat bikin heboh itu agak sulit dibantah lantaran dilakukan terhadap 250.000 pemuda wajib militer Norwegia, berusia 18-19 tahun, selama hampir 20 tahun. Akan tetapi Kristensen menekankan, penelitian lebih merujuk kepada kondisi sosial dan bukan biologis urutan kelahirannya. Artinya, bukan selalu anak yang lahir pertama, tapi anak tertua. Anak urutan berapa pun bisa saja mendapat hasil tes tinggi kalau posisinya di keluarga kemudian menjadi anak sulung jika kebetulan kakaknya meninggal. IQ anak pertama lebih tinggi dibanding anak kedua, anak kedua lebih tinggi dari anak ketiga, dan seterusnya.
Kesimpulan senada juga pernah termuat dalam jurnal Intelligence. Penelitian terhadap 600 keluarga dengan empat anak, menghasilkan bahwa setidaknya IQ anak sulung lebih tinggi 2,9 poin dibanding dengan anak keempat. Anda yang anak bukan sulung mau protes? Apa boleh buat, begitulah hasilnya.
Toh tidak semua ahli sepakat dan menerima bulat-bulat kedua hasil penelitian tadi, termasuk Shinto B. Adelar, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. "Statistik-statistik semacam itu seakan-akan membuat kita harus percaya saja apa adanya. Padahal, manusia, dalam hal ini anak, bukan barang yang mati," tuturnya agak geli.
Oke, taruhlah hasilnya seperti tiu, tapi Shinto berharap agar kita melihat latar belakangnya, yaitu soal posisi anak pertama dalam keluarga yang banyak terjadi di sekitar kita. Faktanya, anak sulung umumnya mendapat perlakuan yang lebih baik, sehingga ia tidak merasa heran kalau akhirnya berpeluang untuk lebih "bersinar" dibanding adik-adiknya.
"Mungkin penyebabnya karena anak masih sebagai anak yang 'diinginkan' dalam keluarga. Orangtua masih memperhatikan asupan gizi untuk anak. Karena tanggungan anak baru satu, kondisi finansial keluarga juga biasanya masih baik. Selalu mendapat barang baru yang bagus dan sebagainya," jelas ibu dari tiga anak ini.
Sampelnya penderita gangguan jiwa
Menyoal urutan kelahiran anak, akan membuat kita menengok sejenak pada Alfred Adler (1870 - 1937). Pada awal abad ke-20, dokter dan ahli psikoanalisis kelahiran Austria itu menggagas teori sifat-sifat seseorang berdasar urutan kelahiranya. Teorinya kontroversial dan terus diperdebatkan, tapi anehnya, masih terus jadi pembicaraan sampai sekarang.
Anak sulung, papar Adler, adalah anak yang dibanjiri limpahan kasih sayang. Si sulung benar-benar menikmatinya hingga kemudian lahir anak kedua dan dipaksa harus berbagi kasih sayang dengan adiknya. Nasib anak sulung, gambarannya, seperti raja yang dilucuti mahkotanya.
Jika orangtua tidak mempersiapkan mentalnya, anak sulung akan sulit memecahkan konflik dalam dirinya. Kegagalan untuk memecahkan konflik ini bisa membuatnya menjadi penderita neurosis (gangguan jiwa) tidak bermoral, sulit bertanggung jawab, dan punya kecenderungan depresi. Tapi jika mendapat perhatian yang tepat, ia akan tumbuh menjadi sosok bertanggung jawab dan memiliki insting melindungi.
Sifat-sifat anak sulung, menurut Adler: serius, teliti, mengarahkan, berorientasi kepada tujuan, agresif, sadar aturan, eksak, konservatif, teratur, bertanggung jawab, cemburu, penuh ketakutan, mempunyai target tinggi, kompetitif, kualifikasi diri yang tinggi, dan sering gelisah.
Tapi jangan buru-buru merasa cocok dulu dengan teori Adler. Karena ia pun tak luput dari kritik tajam, terutama generalisasi kesimpulan dari obeservasinya itu. Apalagi sampel dalam penelitian Adler adalah pasien-pasien gangguan jiwa, sehingga teori ini dianggap tidak mewakili populasi secara umum.
Sementara Shinto justru lebih meyakini faktor kelekatan emosional antara orangtua dan anak dalam menentukan sifat-sifat anak. Kasih sayang, hormat, perasaan dekat, perasaan didukung, saling memiliki, niscaya akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang utuh. Tidak peduli dia anak sulung, tengah, atau bontot sekalipun. Semua itu harus dibina dalam lingkungan yang kondusif dan penuh kasih sayang oleh orang-orang di sekitarnya, baik orangtua, nenek, atau pengasuhnya.
Shinto justru khawatir kalau anak sulung diperlakukan beda. Bukan cuma masalah kasih sayang yang berlebih, tapi bisa sebaliknya yaitu tuntutan terhadap anak sulung ketika adik-adiknya sudah lahir. Misalnya, karena dia anak paling besar maka harus mengalah, harus lebih bertanggung jawab, harus membimbing adik-adiknya, harus ini, harus itu. Maksud orangtua mungkin baik, tapi hati-hati ya Bapak-Ibu, tidak semua anak bisa mengemban "tugas" itu.
Orangtua memang harus mempersiapkan mental anak sulung ketika adiknya lahir. Anak harus dididik bahwa kita makhluk sosial yang hidup bersama orang lain. "Caranya tidak perlu terlalu kaku. Santai saja, yang penting anak mengerti bahwa sudah ada orang lain selain dirinya di dalam keluarga," tutur Shinto. Apakah anak akan menyikapinya secara positif atau negatif, berpulang kepada cara orangtua. "Paling penting contoh dan pengertian. Buat supaya anak berpikir 'Oh itu ada adikku, tapi aku juga tetap diperhatikan kok'."
Lelaki blingsatan
Jika ada tuntutan dari orangtua, wajar jika anak sulung merasa lebih terbebani. Padahal tindakan orangtua itu tidak otomatis memunculkan kesadaran dalam diri anak, karena keduanya adalah hal berbeda. "Rasa tanggung jawab itu harus berasal dari dalam dirinya sendiri yang berasal dari contoh orangtua," tekan Shinto.
Alangkah kasihan, tambah Shinto, jika anak sulung terlalu dituntut. Harus mengalah, misalnya. "Saya pikir kok tidak fair ya, karena seumur hidupnya dia akan menjadi anak sulung terus. Kenapa dia harus mengalah? Masalahnya apa dong? Kalau sulung harus mengalah, adiknya tidak akan belajar mengalah."
Begitu pula soal keteladanan yang harus dimiliki anak sulung. Harus dilihat juga, apakah anak sulung tersebut pantas dijadikan teladan. Toh adiknya juga akan melihat pantas-tidak kakaknya dijadikan panutan. Jika tidak pantas, adiknya juga akan mengabaikannya.
Shinto khawatir beban terhadap anak sulung - terutama lelaki - bukan tidak mungkin ujung-ujungnya menjadi gangguan psikologis dan tingkah laku. "Coba saja renungkan," ajaknya, "Mengapa sekarang ini perempuan bisa menikmati jika suami kedudukannya lebih tinggi, tapi kalau perempuannya yang lebih tinggi, kenapa lelaki jadi blingsatan?"
Selain itu, manifestasinya akan menjadi manusia inferior yang akhirnya menunjukkan diri harus lebih kuat. Setelah dewasa, dia akan menuntut istrinya harus selalu menurut. Sesuatu yang menurut Shinto malah membuat anak lelaki sulung, jadi rumit. "Ngapain sih hidup jadi repot begitu. Biasa aja deh," tutur psikolog anak ini mencoba membuatnya lebih sederhana.
Intinya, biarkan anak sulung tumbuh dan menikmati hidup. Menjadi anak tertua bukan kemauan mereka 'kan?
Dari penelitian terhadap 348 orang yang sedang berobat jantung, hasilnya 46,7% pasien jantung adalah anak sulung dan angkanya dua kali lipat dibandingkan dengan keseluruhan populasi. Meski anak sulung dan bukan sulung mempunyai faktor risiko sakit jantung sama, namun ternyata faktor anak tertua yang lebih menentukan.
Maurizio Ferrantini, kepala penelitian tersebut menduga perbedaan psikososial jadi penyebabnya. Keluarga cenderung menekan anak sulung untuk selalu sempurna, bisa memutuskan sesuatu, selalu jadi pemenang, dan agresif. Orang dengan sifat-sifat seperti itu diketahui cenderung terkena gangguan jantung.
Namun Craig Haslop dari British Heart Foundation menyanggah, karena tak ada bukti hubungan sifat tersebut dengan stres atau bagaimana orang-orang tersebut menjinakkan stres. Kemungkinan, kata Haslop, anak sulung lebih cenderung untuk tidak makan makanan yang tepat dan hidupnya cenderung bergelimang stres.
Dimuat di: Majalah INTISARI April 2008
Catatan Penulis :
Saya sendiri bukan sulung (terus emangnya kenapa?)
1 komentar:
ternyata ada ya istilah "harapan" buat yang belum punya keturunan. semoga yang sudah diberikan keturunan diberikan anak yang baik, yang sesuai dengan keinginan orangtua
Posting Komentar