Sama halnya dengan manusia lain, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga mendambakan kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangganya. Namun, impian akan datangnya tangis dan tawa si buah hati selalu dibayangi risiko penularan virus bawaan tubuh mereka. Masih adakah peluang bagi para ODHA untuk melahirkan bayi sehat?
Rasanya, tak ada yang salah dalam imajinasi Cempaka (nama samaran) perempuan berusia 27 tahun yang tinggal di Jakarta. Sejak menikah dengan Arjuna, tiga bulan lalu, keinginan terdalam di hatinya adalah mengajari putrinya sendiri bermain piano. Suatu hari nanti, ia memimpikan bisa bermain four hands (dua pemain di satu piano), menyuguhkan komposisi karya Schubert yang begitu indah jika dimainkan berduet itu.
Jemari Cempaka memang dikenal lincah bila sedang menari-nari di atas tuts piano. Beberapa tahun lalu, namanya sempat dikenal sebagai pianis muda berbakat, sebelum akhirnya tenggelam terkena jerat narkoba. Kini ia pengidap HIV positif.
Bagi ODHA seperti Cempaka, keinginan untuk memiliki keturunan tidaklah sesederhana seperti orang pada umumnya. Meski kemungkinannya tidak mutlak 100%, namun terdapat risiko penularan vertikal dari seorang ibu pengidap HIV ke anak yang dilahirkan. Fakta ini yang membuat Cempaka gundah gulana di saat naluri keibuannya muncul. "Tapi aku tidak berhak membagi deritaku ini kepada calon anakku yang tak berdosa," begitu tekadnya.
Pikirkan hak anak
Keinginan seseorang untuk dapat memiliki keturunan dari darah dagingnya sendiri tentu amatlah manusiawi. Apalagi setelah Cempaka disatukan dengan pasangannya membentuk keluarga. Begitu pula yang dirasakan para ODHA lainnya, terutama mereka yang berusia muda atau masih di usia produktif. Apalagi jika mereka berhasil meninggalkan jalan gelap di masa lalu dan menata hidupnya kembali.
Sebagai tenaga medis yang dekat dengan ODHA, Prof. Dr. Zubairi Djoerban juga memahami keinginan itu. Namun menurut dia, yang juga perlu dipahami, risiko penularan HIV dari ODHA terhadap bayi tetaplah ada. Artinya akan lahir generasi baru yang telah memiliki masalah kesehatan di awal kehidupannya. "Kita juga harus memikirkan hak anak itu untuk hidup sehat," kata dokter yang juga aktivis penanggulangan HIV/AIDS ini.
Tindakan pencegahan dini memang tidak bisa ditawar, mengingat angka penularan HIV setiap tahun juga disumbang oleh kasus penularan dari ibu ke bayinya. Tidak hanya bagi ODHA, tapi juga masyarakat luas. Dari survei Yayasan Pelita Ilmu di Jakarta selama 2003 - 2005, didapati lima ibu hamil yang mengidap HIV positif dari 1.061 orang yang melakukan tes.
Angka tadi turun dibandingkan dengan survei 1999. Ketika itu ada enam ibu hamil yang positif dari 537 orang yang dites. Namun di sini berlaku fenomena gunung es, yang terlihat baru puncaknya saja. Sementara di bawahnya, di masyarakat, jumlahnya tidak diketahui, dan hampir dapat dipastikan lebih besar! Di negara berkembang seperti Indonesia, kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke anak mencapai 20 - 40% dari kelahiran.
Jika hendak dipandang optimistis dari sisi mata uang yang berbeda, fakta tadi juga bisa diartikan bahwa tidak semua ODHA yang hamil pasti akan menulari bayinya. Semua amat ditentukan kesiapan dan pengetahuan tentang proses reproduksi itu sendiri. Pada kehamilan setidaknya terdapat tiga potensi penularan, yaitu saat bayi dalam kandungan, proses kelahiran, dan ketika disusui.
Di dalam kandungan, HIV dapat menginfeksi janin dengan cara menyusup melalui plasenta. Ukuran virus yang superimut, hanya 1/250 mikron, mampu menembus sawar plasenta untuk kemudian mencapai janin. Namun, kemungkinan pada tahap ini amatlah kecil.
Kemungkinan transmisi terbesar adalah pada proses kelahiran, yang mencapai 40 - 80%. Besarnya angka kemungkinan itu karena banyaknya faktor penyebab penularan. Pada persalinan normal, misalnya, bayi dapat terinfeksi dari darah atau cairan vagina yang terpapar pada jalan pernapasan atau tertelan oleh bayi.
Jalannya proses persalinan juga amat berpengaruh seperti adanya perlukaan dinding vagina, penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, atau pemotongan kerangkang untuk melebarkan jalan lahir (episiotomi). Pada kelahiran prematur dan ketuban pecah dini sebelum persalinan juga terdapat risiko transmisi HIV.
Ketika bayi sudah lahir, ancaman datang dari ASI. Dalam cairan makanan utama bayi ini diketahui terdapat HIVl, untuk kemudian bertransmisi melalui peradangan payudara (mastitis), luka di puting, lesi di mukosa mulut bayi, atau lemahnya respons imunitas bayi. Karena itu, tidak bisa ditawar lagi, bayi harus disusui dengan susu formula.
Dr. Valeriane Leroy dari Universitas Victor Segalen, Bordeaux, memperkirakan, transmisi HIV melalui ASI hanyalah sekitar 3,2 per 100 anak per tahun. Tidak terlalu besar, namun Leroy justru menekankan pentingnya kesehatan ibu. Karena ODHA yang menyusui mempunyai risiko kematian lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menyusui!
Cuci sperma
Di tengah kabut yang menghalang, harapan bagi ODHA tidak sepenuhnya pupus. Berkat kemajuan teknologi dan pengetahuan yang kian mendalam tentang HIV/AIDS, risiko penularan dari ibu ke anak dapat diminimalkan. Kini berpulang kepada komitmen ODHA, jika mereka memang bersungguh-sungguh ingin memiliki keturunan dari dirinya sendiri.
ODHA pria bisa menjadi ayah dengan cara inseminasi buatan. Metode pengobatan yang lazim dilakukan bagi pria tidak subur ini telah berhasil dikembangkan di Eropa dalam sepuluh tahun belakangan. Tekniknya berupa intracytoplasmic sperm injection (ICSI) yaitu sperma tunggal diinjeksikan ke sel telur. Namun khusus ODHA, sebelumnya perlu dilakukan pencucian sperma terlebih dahulu, agar sperma terpisah dari cairan semen yang mengandung HIV.
Penelitian terkenal dilakukan dr. Augusto Semprini di Milan Italia pada 1997. Hasilnya, dari 470 inseminasi yang dilakukan, 250 ibu berhasil hamil dan 187 anak dilahirkan. Hebatnya, baik pada ibu maupun anak, semua tidak terinfeksi. Keberhasilan pencucian sperma ini sekaligus membuktikan bahwa sperma bukanlah vektor HIV seperti yang selama ini diperdebatkan.
"Bagi ODHA pria, ini satu solusi. Masalahnya, di rumah sakit pusat nasional belum dilakukan, meski sudah ada permintaan. Karena biayanya mahal," terang Zubairi yang sehari-hari adalah onkologis di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.
Di negeri kita, tindakan yang mungkin dilakukan baru sebatas ODHA yang ingin menjadi calon ibu. Untuk bisa hamil, kesehatan ODHA harus baik. Tolok ukurnya adalah kadar sel CD4 (jenis sel darah putih) yang tinggi atau mendekati normal dalam tes Viral Load (VL) tidak terlihat lagi adanya virus. Dua hal ini dapat dicapai dengan mengonsumsi obat-obatan antiretroviral (ARV) secara rutin. Suatu hal yang tidak terlampau sulit, mengingat di Indonesia ARV bagi ODHA didapat gratis.
Sebelum hamil, calon ibu juga harus disembuhkan dari beberapa penyakit yang kerap ditemukan pada ODHA, seperti toksoplasma, tuberkulosis, atau kandidiasis vulvovaginal. Jika sudah benar-benar beres, barulah dokter mengizinkannya hamil dengan senantiasa melakukan pemeriksaan kehamilan secara ketat. Ketika tiba saat kelahiran, persalinan tidak bisa dilakukan normal, melainkan lewat sectio cesaria dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.
Setelah persalinan, segera bisa dilakukan pemeriksaan HIV terhadap bayi. Salah satunya adalah dengan melihat kultur virus HIV melalui pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Bila hasilnya negatif, pemeriksaan ulang baru dilakukan lagi setelah usia empat bulan.
Pemeriksaan HIV di awal kelahiran begitu penting, karena jika dari rangkaian PCR disimpulkan hasilnya positif, maka bayi harus mengonsumsi ARV yang disesuaikan dengan kondisinya. Tak ubahnya seperti orang dewasa, keberadaan HIV juga dapat merugikan kesehatan bayi dan menghambat pertumbuhannya.
Memupus impian
Memang, tak selamanya kabar gembira bisa membawa bahagia. Segala kemajuan teknologi dalam metode reproduksi bagi ODHA, ternyata punya konsekuensi biaya tidak sedikit. Dalam sebuah seminar untuk ODHA di Jakarta, Juli 2005, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan, total biaya sejak dilakukan inseminasi buatan sampai bayi berumur satu tahun, tak kurang dari Rp 90 juta.
Mahal? Tunggu dulu, angka itu baru pada tingkat standar saja. Besaran biayanya tergantung pula pada jenis rumah sakit, jenis kelas yang dipilih, serta obat-obatan lain. Jumlah itu bisa membengkak jika selama kehamilan terjadi komplikasi atau bayi terserang penyakit.
Bagi sebagian besar ODHA, mendengar jumlah biayanya saja, bisa memupus impian mereka. Ini tampak dari wajah-wajah ODHA terkejut saat mendengar pemaparan biaya di seminar itu.
"Memang terasa berat bagi ODHA," aku Zubairi yang tahu persis kondisi ODHA di Indonesia pada umumnya. "Tapi untuk mendapatkan atau mengasuh anak, sebenarnya masih banyak cara yang bisa dilakukan."
Dengan tujuan pencegahan penularan HIV, sejauh ini bantuan baru diberikan kepada ibu hamil yang didapati mengidap HIV positif. Misalnya, LSM seperti Yayasan Pelita Ilmu yang memiliki program Prevent Mother to Child Transmition (PMTCT). Program ini memberikan bantuan berupa penyediaan obat-obatan kepada ODHA yang hamil, biaya persalinan, dan penyediaan susu formula sampai bayi berumur setahun.
Salah satu peserta PMTCT adalah Intan (nama disamarkan) yang didapati mengidap HIV positif pada saat enam bulan usia kehamilannya. Perempuan 31 tahun yang tinggal di Bekasi ini sebelumnya tidak menduga dirinya mengidap HIV, sampai suaminya kemudian meninggal akibat AIDS pada Januari 2005. Beruntung, berkat penanganan yang tepat, putra kedua yang kemudian dilahirkannya ternyata tidak tertular.
"Yang juga saya syukuri, anak pertama ternyata juga negatif. Sekarang konsentrasi saya adalah membesarkan mereka sebaik-baiknya," kata Intan dengan mata berkaca-kaca. Saat ini ia mengaku tidak berpikir menikah atau bahkan memiliki anak lagi, apalagi jika menyadari risiko serta biaya yang harus dikeluarkan. "Saya termasuk beruntung, masih banyak ibu lain yang terlanjur menularkan ke anak mereka karena faktor ketidaktahuan."
Memang tidak seluruh orangtua "bernasib untung" seperti Intan. Buat ODHA lain, tangis dan tawa buah hati yang lama didambakan mungkin belum bisa datang dalam waktu dekat. Entah suatu hari nanti.
Dimuat di Majalah INTISARI Desember 2005
14 Januari, 2008
Bila ODHA Mengharap Buah Hati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar