14 Januari, 2008

Ajak Mereka Keluar Dari Rumah Siputnya

"Bu Amir, kok sudah lama tidak kelihatan keluar rumah?"
"Saya memang betah di rumah kok, Bu Totok. Ngurus anak sama suami."
"Tapi jangan sama sekali tidak keluar rumah. Nanti akibatnya tidak baik lo!"
"Ah, saya sehat-sehat saja kok. Cuma malas pergi saja. Mmmh... takut kalau ada bahaya. Kalau nanti saya celaka, bagaimana?"
"Hati-hati lo Bu Amir, sepertinya ada tanda-tanda mulai tidak sehat. Coba cari psikolog untuk konsultasi."


Jika didengar sepintas, saran dari Bu Totok itu memang terdengar seperti mengada-ada. Cuma gara-gara selalu ada di rumah saja, langsung dicap "sakit" dan perlu pengobatan. "Memangnya saya gila," ibu dari dua anak itu mengomel, setelah tetangganya berlalu.

Tapi jika direnungkan lebih jauh, rasanya memang wajar jika tetangga kiri-kanan mulai bertanya-tanya tentang kondisi Bu Amir. Bayangkan saja, sekian lama tidak mau keluar rumah, tidak ada niat bergaul dengan masyarakat sekitar, bahkan selalu menghindar dari keramaian. Semua itu jelas bukan sebuah situasi yang normal di masyarakat kita.

Kondisi bisa dikatakan semakin serius seandainya disertai juga dengan perasaan-perasaan tidak nyata, seperti takut dinilai orang lain, takut dicemooh, selalu gelisah jika berada di tengah orang banyak, atau takut celaka saat berada di luar rumah. Jika memang hal-hal itu yang dirasakan, kemungkinan Bu Amir punya gangguan psikologis yang disebut fobia; dan itu memang sudah tidak sehat lagi.

Tidak menikah
Sebenarnya ada banyak alasan yang dapat membuat seseorang merasa malas, malu, atau bahkan takut keluar rumah untuk berinteraksi dengan orang lain. Hidup di tengah masyarakat, sebaiknya kita juga harus menghargai keputusan setiap orang untuk mengatur hidupnya sendiri. Tapi kalau situasinya ternyata persis seperti yang tergambarkan tadi, tak ada salahnya jika ada yang mengingatkan agar mawas diri.

Dalam analisis psikologi, ada dua jenis fobia menyangkut keengganan seseorang keluar dari tempat tinggalnya, yaitu agorafobia (agoraphobia) dan fobia sosial (socialphobia). Manifestasi keduanya tidak jauh berbeda, yakni penderita tidak ingin keluar dari lingkungan tempat tinggalnya karena dibayangi ketakutan-ketakutan dari pikirannya sendiri. Tapi jika ketakutan itu ditelisik lebih dalam, dua jenis fobia itu sedikit berbeda penghayatannya.

Penderita fobia sosial punya ketakutan untuk dinilai oleh orang lain. Mulai soal penampilan, cara berbicara, sampai pemikirannya. Ia selalu merasa tidak nyaman di depan orang lain. Dalam benaknya, ia mengira orang akan selalu memperhatikan segala gerak-geriknya untuk kemudian memberi penilaian yang negatif.

Tapi jangan keliru! Ini berbeda dengan sifat pemalu yang mungkin dimiliki seseorang. Ada sebagian orang yang sangat tidak pede, gemetar, demam panggung jika harus bicara di depan lebih dari dua orang.

Penderita fobia sosial cenderung menghindar jika harus berinteraksi dengan orang lain. Ia menghindari pertemuan, pesta, rapat, atau suasana di sebuah ruang kelas. Saat berada di tempat-tempat umum akan cenderung bersembunyi. Akibatnya jika sudah tidak tahan lagi, penderita bisa saja berhenti sekolah, berhenti dari pekerjaan, tidak mau bertemu orang lain sama sekali, bahkan tidak menikah.

Sedangkan agorafobia, penderita mempunyai penghayatan ketakutan yang berbeda, yaitu takut jika sewaktu-waktu terkena serangan panik (panic attack) saat berada di luar rumah atau di tempat-tempat yang menurutnya tidak aman. Misalnya saat berada di kantor, pasar, bioskop, kendaraan umum atau di dalam kendaraan saat situasi lalu lintas macet.

Serangan panik yang menjadi bagian dari gangguan kecemasan ini terjadi ketika seseorang tiba-tiba merasa cemas, takut, tegang, khawatir, dibayangi perasaan tidak nyata, takut mati, sampai takut "gila". Parahnya, semua itu terjadi tanpa alasan jelas.

Selama serangan 20 - 30 menit itu, jantung penderita berdenyut cepat, berdebar-debar, sesak napas, dan berkeringat. Penyebab "kepanikan" dan berbagai jenis gangguan kecemasan lain sejauh ini memang tidak terlalu jelas. Hanya diketahui, ketidakseimbangan neurotransmiter di otak bisa menyebabkan gejala-gejala seperti kecemasan.

"Di tempat-tempat keramaian penderita agorafobia takut terkena serangan paniknya kambuh, dan takut tidak ada yang bisa menolong. Kadang malah berpikir takut mati di tempat seperti itu," jelas Fitri Fausiah, psikolog dan pengajar di Universitas Indonesia, tentang gangguan psikologis yang dua kali lebih banyak diderita perempuan dibanding lelaki ini.

Fitri memaparkan, agorafobia sebenarnya tidak muncul begitu saja. Penderita biasanya pernah memiliki riwayat gangguan panik (panic disorder). Kondisi serangan panik yang pernah diderita jelas membuat penderita tidak nyaman. Ketika teringat lagi menit-menit serangan itu, ia menjadi takut.

Perasaan takut lalu muncul sebagai agorafobia, yaitu takut serangan panik terjadi lagi serta berusaha menghindari situasi yang bisa mencetuskannya. Penderita akhirnya mengambil jalan yang "aman-aman" saja, yaitu menghindari tempat-tempat umum, karena jika serangan terjadi maka ia merasa aman. Padahal belum tentu serangan akan terjadi lagi. Di Amerika Serikat, satu dari tiga penderita gangguan panik juga mengidap agorafobia.

Maunya tidur terus
Sejauh bisa tinggal di rumah atau lingkungan yang dikenalnya, penderita agorafobia maupun fobia sosial tidak akan merasa punya masalah. Aktivitasnya wajar seperti orang biasa pada umumnya. Riang gembira, bekerja, menonton acara gosip di televisi, dan kehidupan normal lain. Tapi jika mulai disinggung tentang kemungkinan keterlibatannya dengan orang lain di luar rumah, penderita mulai gelisah. Penderita cenderung menghindar jika diajak ke tempat-tempat dengan banyak orang lain. Padahal belum tentu orang lain itu asing baginya. Teman dan sahabat yang sudah dikenal baik atau keluarga besar sekalipun bisa dihindarinya. Bahkan untuk sekadar menelepon seseorang, penderita fobia sosial harus berpikir keras.

"Salah satu ciri yang mulai mengarah agorafobia adalah ketika seseorang mulai minta ditemani kemana pun pergi," jelas Fitri. Kelihatannya memang wajar, terutama bagi anak perempuan yang selalu khawatir jika keluar rumah, namun kecemasan-kecemasan yang tampaknya kecil itu bisa menjadi awal dari fobia.

Penampilan penderita tidak ubahnya seperti orang lain. Bahkan fobia ini menjangkiti pula beberapa orang terkenal seperti Woddy Allen (sutradara film), Stone Cold Steve Austin (pegulat smack down), Darryl Hannah (aktris), serta kakak-adik Jonathan Knight dan Jordan Knight (kelompok musik New Kids on the Block). Kasus terakhir ini yang paling terkenal.

"Situasi itu menyebabkan saya stres dan cemas. Aku ingin berada di rumah. Dari 1994 hingga 1997, aku tidak mengerjakan apa-apa. Aku tidur, tidur, dan terus tidur. Kalau aku bangun, maka aku harus menghadapi sesuatu. Untuk mengindarinya, aku harus terus berada di tempat tidur," tutur Jonathan dalam acara televisi Oprah Winfrey. Adiknya, Jordan, yang terserang gangguan kecemasan bersaksi, "Saat tampil di panggung, saya selalu ingin turun. Jantungku berdebar, suaraku bergetar."

Terungkapnya kasus Jonathan-Jordan kemudian mengesankan bahwa kecemasan erat kaitannya dengan faktor genetik. Apa benar?

Secara proporsional, situs internet dari Anxiety and Stress Disorders Clinic, sebuah lembaga kajian tentang kecemasan di The Ohio State University, menjelaskan bahwa faktor keturunan memang berpengaruh, tapi dalam banyak kasus, faktor lingkungan justru menjadi pemicu gangguan terbesar. Sejumlah ahli meyakini faktor keturunan pada tingkat pertama (keluarga inti) bisa berpengaruh dua sampai tiga kali lipat.

Menurut penelitian Yale University School of Medicine, tahun 2002, keterkaitan genetik ini rupanya terkait dengan kromosom. Faktor pembawa genetik kromosom 3 erat berhubungan dengan agorafobia. Sedangkan dua faktor pembawa genetik pada kromoson 1 dan 11q berhubungan dengan serangan panik. Fobia sosial juga dipengaruhi keadaan gen-gen tersebut, karena fobia ini erat kaitannya dengan serangan panik.

Fitri Fausiah justru mengingatkan faktor perilaku orangtua yang berpengaruh pada anak. Seperti kita tahu, anak merupakan pencontoh ulung dari lingkungannya. "Kalau anak melihat orangtuanya sering cemas, maka dia bisa mencontoh dan menjadi seseorang pencemas pula. Kalau orangtua sering merasa tidak aman saat di luar rumah, anak juga menganggap demikian," tutur psikolog yang baru saja menyelesaikan studinya di International Community Health University of Oslo ini.

Terasa tidak masuk akal
Seorang penderita fobia sosial maupun agorafobia memang tidak banyak menimbulkan masalah bagi orang lain. Ia pun biasanya akan merasa nyaman di dalam "rumah siput"-nya sejauh tidak harus berurusan dengan dunia luar. Namun seperti umumnya penderita gangguan kejiwaan atau psikologis, ia cenderung terabaikan oleh keluarga. Penanganan biasanya juga terlambat.

Fitri mengajak anggota keluarga untuk memahami kondisi penderita semacam ini. Terutama pada agorafobia yang salah satu sifatnya antisipatoris, atau selalu berusaha untuk mencegah kejadian buruk yang hanya didasari ketakutannya sendiri. Bagi orang normal, pemikiran seperti itu tentu tidak masuk akal. Atau malah bikin sebal?

Bagi penderita, persoalan baru muncul jika sudah berbenturan dengan nilai-nilai individual atau lingkungannya. Seorang agorafobia atau fobia sosial yang tidak pernah bergaul tentu akan mengundang tanda tanya besar dari masyarakat sekitar, terutama orang-orang yang pernah mengenalnya. Seperti Bu Totok di atas yang mungkin berniat baik, tapi Bu Amir sudah terlanjur sensitif.

Penderita tentunya juga akan kesulitan jika suatu hari harus keluar rumah untuk suatu keperluan yang sama sekali tidak bisa diwakilkan. Misalnya berobat ke dokter atau rumah sakit. Karenanya, saran Fitri, saat kondisi penderita baru mengarah ke agorafobia, keluarga harus merangkulnya. "Penderita bisa perlahan-lahan diajak keluar rumah dan menunjukkan bahwa di luar sana, segalanya bisa aman-aman saja."

Jika penderita sudah menyadari kondisinya yang tidak wajar, keluarga akan lebih mudah untuk menyelesaikan masalahnya dengan menemui psikolog atau psikiater jika memang ada masalah kejiwaan. Semakin dini, semakin baik untuk orang yang Anda cintai.


Dimuat di Majalah INTISARI Januari 2008

Tidak ada komentar: