14 Juli, 2008

Bertemu Pak Arief Rachman

Untuk ketiga kalinya, dalam pekerjaan saya sebagai pengetik ulung, saya mewawancarai Arief Rachman, orang yang sering disebut media massa sebagai pakar pendidikan itu. Pertama, sekitar 1992, untuk majalah kampus. Kedua, sekitar 1994, untuk sebuah majalah pendidikan di mana saya menjadi reporter freelance. Ketiga, minggu lalu.

Karena sudah tahu reputasi beliau, maka saya berusaha untuk tepat waktu. Ini karena pengalaman wawancara pertama dulu semasa mahasiswa. Sudah mati-matian saya bangun pagi, naik angkot, bus, dan disambung bus lagi, dari Cinere ke Sekolah Labschool di Rawamangun, untuk mengejar janjian jam 06.30. Hasilnya, saya terlambat 10 menit. Dan dengan santainya, Pak Arief meminta saya membuat janji wawancara lagi…

Dalam sekilas pengelihatan saya, sosok Pak Arief masih seperti dulu. Tapi bermenit-menit berbicara, saya baru menyadari beberapa perubahannya. Rambut putihnya sudah semakin merata, gestur senyumnya sudah terlihat seperti senyum para lansia (sulit ya dideskripsikan), serta cara berbicaranya terasa lebih akrab. Entah, karena memang Pak Arief begitu pembawaannya, atau sedang kebetulan saja hari itu sedang ceria.

Selesai wawancara yang cukup bernas itu, kami sempat ngobrol akrab, sambil berkeliling Sekolah Perguruan Diponegoro, sekolah yang saat ini dibawah binaannya. “Orangtua di sini, umumnya penghasilannya di bawah satu setengah juta rupiah. Pekerjaannya serabutan. Ujian nasional SMA di sini tingkat kelulusannya cuma 58%, karena di sini tidak ada yang namanya tim sukses. Saya menekankan kejujuran, konsekuensinya banyak yang tidak lulus,” begitu antara lain kata-kata Pak Arief di sela sapaannya kepada sejumlah orangtua yang mengantar anaknya mendaftar sekolah.

Penjelasan itu seperti hendak menjawab kebingungan saya beberapa puluh menit sebelumnya, tentang mengapa orang sekelas beliau mau membantu sebuah sekolah yang tampak bersahaja itu. “Di sini walau ya keadaannya begini, tapi rasanya lebih hidup,” kata Pak Arief yang sempat meminta agar saya tidak menyinggung-nyinggung soal sekolah yang pernah dibinanya dulu. "Labschool itu sudah meminta uang masuk 17 juta, wa ha ha ha."

Entah saya yang ketinggalan informasi atau memang jarang terpublikasi, tapi beliau ternyata sudah 17 kali masuk penjara karena aktivitasnya menentang rezim Orba. Cerita itu diungkapnya untuk membingkai cerita tentang hubungannya dengan Probosutedjo. Beberapa waktu lalu, beliau membuatkan sebuah acara di sekolah untuk Probosutedjo, setelah pengusaha kerabat Soeharto itu bebas dari penjara. Probosutedjo lalu menyumbang 100 juta untuk perbaikan masjid sekolah.

Kisah itu masih disambung tentang Pak Arief yang mendampingi Soeharto dari masa kritis, meninggal, sampai penguburan di Astana Giribangun. Ya, ya, sekelebat saya ingat menyaksikan di televisi, beliau yang menyembahyangkan jenazah mantan diktator Orde Baru itu. Sesuatu yang menurut beliau, adalah sebuah rangkaian kebetulan. Tapi, bagi saya adalah sebuah pertanyaan: bagaimana bisa?

“Saya anti, anti sekali dengan orang itu. Tapi kita boleh berbeda secara struktural, tapi tidak secara kultural,” begitu Pak Arief menjelaskan posisinya.

Struktural dan kultural? Ah, sebuah penjelasan yang masih sulit saya mengerti. Mudah-mudahan tidak untuk seumur hidup saya.

Tidak ada komentar: