25 November, 2008

Antiseptik Tak Selalu Menang Melawan Kuman

Kecenderungan manusia sekarang untuk hidup terlalu bersih dan steril, membuat produk-produk antiseptik kian marak di pasaran. Dari ujung rambut sampai ujung kaki maunya bebas bakteri. Tapi dari hasil pengujian di sejumlah laboratorium, efektivitas barang-barang ini ternyata juga patut dipertanyakan. Bakteri belum tentu mati, malah semakin kuat. Kapan sebenarnya kita memerlukan produk-produk antikuman ini?

Semula banyak orang mengira memakai sarung tangan putih adalah bagian dari gaya berpakaian penyanyi pop Michael Jackson. Pada masanya, tahun 80-an, sarung tangan yang sering dipakai petugas upacara bendera itu mungkin bisa membuat seseorang lebih keren. Tapi alis bakal langsung berkenyit manakala tahu kalau Jacko - begitu panggilan penyanyi berkulit hitam, eh berkulit putih - memakainya untuk menangkal bakteri, virus, parasit, dan makhluk-makhluk imut lain.

Tak cukup sampai di situ. Di samping kelakuannya yang memang sering nyeleneh itu, sehari-hari Jacko juga sering memakai masker dan menyemprot-nyemprotkan cairan antikuman. Biar tidak ketularan penyakit, mungkin. Sarung tangannya juga tetap dipakai ketika ia bersalaman dengan presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Ronald Reagan.

Jacko sekarang tidak sendiri. Banyak orang yang saat ini semakin parno, istilah anak muda untuk paranoia, terhadap mikroorganisme yang semuanya kemudian dipukul rata sebagai kuman merugikan. Seolah-olah di zaman sekarang ini penyakit akibat infeksi semakin mengganas, dan semua itu cukup diatasi dengan mensterilkan lingkungan sekeliling kita.

Cobalah tengok pasar swalayan. Di sana kita akan melihat label "antiseptik" ditambahkan pada sabun mandi, sampo, deodoran, sabun pencuci tangan, sabun pencuci baju, atau sabun pencuci piring. Produsen barang-barang itu seolah ingin memberi pesan: "Sekarang sudah zamannya memakai yang antikuman agar keluarga selalu terlindungi."

Tak kalah menyesatkan, sebuah iklan cairan pembersih di televisi menggambarkan seseorang yang nyaris pingsan ketika menyadari barang-barang yang disentuhnya ternyata belum bebas dari bakteri. Wah, jika mikroorganisme terus digambarkan bak monster mengerikan, lama kelamaan semakin banyak orang yang takut secara berlebihan. Akan semakin banyak lahir generasi Jacko baru, yang maunya serbasteril itu.

Awalnya di rumah sakit
Kelakuan Jacko, juga ketakutan sebagian besar masyarakat, rasanya memang menggelikan. Masalahnya keberadaan mikroorganisme dalam kehidupan kita sehari-hari sesungguhnya tak terhindarkan. Mereka ada di mana-mana di sekitar kita. Di setiap benda, di makanan dan minuman, di kulit kita, bahkan di udara yang kita hirup setiap saat.

Tubuh kita yang selalu kita rawat dan sayangi ini juga merupakan sarang miliaran mikroorganisme. Salah satunya bakteri, yang berfungsi membantu tubuh bekerja normal. Ada sekawanan bakteri "baik" dan bakteri "jahat", yang keduanya selalu bertempur untuk mencapai keseimbangan. Dalam kondisi seimbang itulah justru tubuh kita akan disebut sehat walafiat tak kurang suatu apa.

Kalau suatu saat tubuh kita sakit, ada kemungkinan penyebabnya bakteri jahat yang menang perang. Sebagai obat, dokter biasanya akan memberi antibiotik yang digunakan untuk membabat bakteri. Tapi harus diingat, antibiotik tidak pandang bulu ketika bekerja, sehingga kadang bakteri baik ikut terbabat juga. Karena itu pemakaian antibiotik harus benar-benar tepat ketika diperlukan dan harus dalam pengawasan dokter.

Antibakteri yang bekerja di luar tubuh manusia sering diistilahkan sebagai antiseptik (untuk membedakannya dengan antibiotik). Biasanya dipakai untuk membersihkan permukaan suatu benda dengan menghilangkan bakteri yang berpotensi membahayakan. Awalnya barang-barang semacam ini hanya dipakai terbatas di institusi kesehatan seperti rumah sakit untuk tindakan medis. Tapi karena muncul generasi Jacko tadi, pemakaiannya meluas ke produk-produk konsumer di rumah tangga.

Jumlah barang-barang pensteril itu di negeri kita, belumlah seberapa. Di Amerika Serikat sepuluh tahun lalu jumlahnya baru belasan produk, tapi kini ada lebih dari 700 jenis barang. Penggunaannya juga semakin meluas ke barang-barang yang berhubungan dengan aktivitas kebersihan manusia sehari-hari seperti sikat gigi, sumpit, sendok, kemasan makanan, jasa pencucian, termasuk barang-barang di kamar tidur seperti bantal, sprei, handuk, bahkan sandal. Janjinya, dengan antikuman, tidak akan ada bakteri yang berani berleha-leha lagi di sekitar Anda.

Sejauh ini lembaga pengawasan obat dan makanan AS (FDA) mengenal dua jenis antimikroorganisme yang dianggap aman dan efektif, yakni alkohol berkadar 60 - 95% serta povidone-iodine 5 - 10%. Keduanya biasa dipakai untuk antiseptik pencuci tangan dan beberapa perawatan kesehatan lain. Sementara bahan-bahan lain sifatnya masih dalam pengaturan khusus seperti benzalkonium klorida, benzethonium klorida, parakloro-meta-xylenol, triklokarban, triklosan, dan beberapa lainnya.

Hampir sia-sia
Di antara sederet nama-nama rumit tadi, yang mungkin sudah akrab dengan telinga Anda adalah triklosan. Zat kimia yang juga dikenal sebagai irgasan DP 300 ini sering disebut-sebut dalam iklan dan seolah sudah menjadi kandungan wajib untuk produk-produk pasta gigi, berbagai jenis sabun, atau kosmetika. Berdasarkan survei di AS, 75% sabun pencuci tangan dan 30% sabun batangan mengandung antibakteri ini. Total lebih dari separuh produk sabun-sabunan di negara maju mengandung triklosan atau saudara terdekatnya triklokarban.

Cuma sayangnya, khasiat dari bahan antikuman ini ternyata tidak selalu seindah janjinya. Seperti dimuat di situs internet Centers for Desease Control and Prevention, Stuart B. Levy, mikrobriologis dari Tufts University School of Medicine, AS, pernah melakukan riset soal ini sepanjang tahun 2005. Levy beserta tim meneliti 224 produk rumah tangga yang dibagi dalam dua kategori, yaitu yang diberi antibakteri dan yang tidak. Hasilnya, tidak ada perbedaan signifikan antara bakteri yang terbunuh oleh sabun antibakteri dengan sabun batangan biasa. Nah lo!

Dua tahun kemudian penelitian diulang, hasilnya tetap sama. Jadi, untuk sementara, bisa disimpulkan penambahan antibakteri pada sabun hampir sia-sia saja. Karena sebenarnya mencuci tangan dengan sabun biasa - asal dilakukan secara benar! - juga dapat membunuh bakteri sama banyaknya.

Bisa jadi ketidakefektifan itu bergantung kepada kadar antibakteri dalam setiap produk. Di situs internet Antimicrobial Agents and Chemoterapy, Allison E. Aiello, peneliti dari University of Michigan School of Public Health, AS, menekankan bahwa kandungan triklosan antara barang yang dipakai di rumah sakit serta produk untuk umum sebenarnya berbeda. Kandungan triklosan di produk konsumer yang berkisar 0,1 - 0,45% sebenarnya tidak cukup tinggi untuk membunuh sejumlah bakteri, misalnya seperti E-coli.

Keprihatinan para ahli bukan cuma soal bakteri yang bertahan hidup tapi juga kepada bakteri yang menjadi kebal (resisten). Bakteri bandel itu justru malah menjadi semakin kuat. Gara-gara pemakaian antibakteri ini, efektivitas beberapa jenis antibiotik juga semakin berkurang, seperti jenis amoksisilin, klorampenikol, ampisilin, tetrasiklin, dan siproflosaksin. Anda mungkin pernah diresepkan salah satu antibiotik ini ketika sakit flu.

Triklosan rupanya membuat bakteri bereaksi mempertahankan keutuhan dinding selnya. Proses mutasi itu akhirnya membuat antibakteri membutuhkan waktu lama untuk mencapai lokasi target. Demikian pula yang dialami antibiotik yang sama-sama menyasar keluarga besar bakteri di dalam tubuh. Tapi sebaiknya jangan keburu panik, sebab kesimpulan ini baru didapat sebatas uji coba di laboratorium, belum di masyarakat.

Penelitian menghebohkan lain dilakukan Peter Vikesland, peneliti bidang teknik sipil dan lingkungan Virginia Tech University, AS, yang mencurigai triklosan justru dapat menyebabkan kanker. Triklosan dalam produk-produk konsumer dapat bereaksi dengan klorin dari air keran sehingga menghasilkan kloroform. Dari proses itu muncul pula senyawa karsinogen, yang sejauh ini dituding menjadi salah satu biang keladi kanker.

Tapi lagi-lagi kita tidak usah senewen, karena hal itu sudah dibantah sejumlah ahli lain yang meneliti untuk asosiasi kosmetik dan parfum di Inggris. Menurut mereka, reaksinya tidak segampang itu. Kalau pun benar terjadi, karsinogen yang dihasilkan jumlahnya sangat rendah. Karsinogen sendiri memang bisa dihasilkan dari air dengan ambang kloroform tinggi, yaitu 600 part per billion (ppb). Standar dari lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat (EPA) triklosan boleh dipakai pada air berkandungan kloroform sampai 300 ppb.

Mungkin yang perlu kita cermati, triklosan sudah begitu menyebar di sekeliling kita. Ada yang ditemukan dalam air minum, limbah sungai, empedu ikan, bahkan ASI. Cuma dampak negatifnya bagi kehidupan kita sejauh ini belum diketahui.

Melatih respons imun
Barang-barang yang kita pakai sehari-hari boleh saja mengandung antibakteri pada kadar tertentu, namun yang paling utama tetaplah menjalankan pola hidup sehat. Para ahli kesehatan mengkhwatirkan, pemakaian produk-produk semacam ini justru akan menimbulkan rasa aman yang semu. Karena orang merasa sudah bersih dan bebas dari kuman, ia bisa saja mengendorkan kebiasaan-kebiasaan baik menyangkut kesehatan.

"Jangan sampai mentang-mentang sudah memakai cairan antiseptik, terus jadi lupa mencuci tangan," tutur dr. Erdina HD. Pusponegoro, Sp.KK, spesialis kulit dan kelamin dari RSUPN Cipto Mangunkusumo. "Menjalankan pola hidup sehat dan menjaga kebersihan diri tetap manjadi yang paling utama. Semua itu tidak cukup digantikan dengan memakai antiseptik saja."

Boleh memakai antiseptik, kata Erdina, sejauh memang diperlukan. Misalnya antiseptik untuk mandi, digunakan ketika muncul penyakit kulit karena faktor luar dan menular seperti scabies. Atau ketika kebetulan kondisi air yang digunakan tidak baik. Cairan pencuci tangan dipakai jika kebetulan tidak ada air untuk membasuh tangan. "Di luar itu, sebaiknya tidak perlu dipakai," menurut pengajar di Universitas Indonesia ini.

Dari hasil penelitiannya, Stuart B. Levy juga melempar isu lain yang tak kalah menarik. Kalau antibakteri dipakai terus menerus, maka bakteri "baik" yang fungsinya mengimbangi ulah bakteri "jahat", justru akan terganggu. Akibatnya bakteri patogen merajalela yang ujung-ujungnya merugikan kesehatan tubuh.

Pola hidup steril banget ini juga bisa merugikan, terutama bagi bayi dan anak-anak. Seharusnya tubuh anak semenjak bayi sudah dilatih untuk menghadapi mikroba yang merugikan agar respons imunitasnya ikut terbentuk. Kalau sedikit-sedikit dicegah dengan antibakteri, bagaimana sistem imun tubuh dapat mematangkan diri? "Respons imun seperti apa yang mereka bisa bangun?" Levy bertanya.

Sistem imun tubuh kita memang mirip serdadu. Jika tidak pernah dilatih berperang, maka daya tempurnya juga akan lemah. Kata orang, ada baiknya hidup jangan terlalu steril dari kuman, tapi juga tidak lantas bebas berbuat jorok. Yang sedang-sedang sajalah.


Dimuat di: Majalah INTISARI edisi November 2008



Tidak ada komentar: