20 November, 2008

Ketika Perkawinan Diuji Oleh Waktu

Seiring berlalunya waktu, cinta dalam perkawinan bisa tak lagi semanis madu. Rutinitas pekerjaan, urusan rumah tangga, atau karier yang tengah menanjak, bisa merusak pelangi kebahagiaan yang dulu senantiasa dirasakan. Bagaimana agar hubungan suami-istri tak menjadi menjemukan?

Nuri (bukan nama sebenarnya) perempuan 37 tahun, eksekutif di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta, mengeluhkan kehidupan perkawinannya yang telah memasuki tahun ke-8 kepada seorang konsultan perkawinan.

"Setahun belakangan ini perkawinan kami terasa hambar. Suami saya sering tugas ke luar kota, atau kadang ke luar negeri, sampai berhari-hari. Saya kadang juga harus kerja sampai larut malam. Tapi kami tidak pernah bertengkar hebat. Walau jarang bertemu, kami masih sering berkomunikasi lewat telepon atau SMS, terutama untuk urusan anak-anak. Sayangnya, kami belum pernah punya waktu khusus untuk membicarakan masalah ini.

"Kami dulu berpacaran tiga tahun, dan rasanya cukup untuk mengenalnya secara dekat. Kehidupan seksual kami pun awalnya sangat menggebu. Tapi beberapa tahun belakangan, berangsur menjarang. Bahkan kadang hanya dua atau tiga kali dalam sebulan. Entah, apakah ini pertanda kami mulai saling jenuh. Saya akui, saya sering tidak bisa melayaninya, karena kadang merasa lelah setelah seharian bekerja. Apa saya yang salah ya?"

Penuturan Nuri sesungguhnya keluhan dari seseorang yang peduli kepada perkawinannya. Ia menyadari, masalah yang kini sedang dihadapinya berpotensi menjadi bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan memporak-porandakan keutuhan rumah tangganya. Namun, untuk menyelesaikan persoalan itu sungguh tidak mudah. Pola rutinitas sehari-hari seakan telah menjebaknya dan membuatnya tidak bisa keluar sejenak untuk memperbaikinya.

Masa rawan
Pasangan suami-istri mana pun pasti berharap perkawinannya langgeng dan diliputi kebahagiaan selamanya. Mirip ending dalam dongeng pada masa kecil dulu tentang bersatunya seorang pangeran dan putri. Namun, untuk membuat visi itu dapat terus bertahan, dibutuhkan upaya terus-menerus dan tak kenal lelah dari pasangan. Apalagi jika di kemudian hari perkawinan menemui masalah yang bahkan tak terbayangkan di saat pasangan memutuskan untuk menikah.

Ada teori yang menyatakan, suatu perkawinan menghadapi masa rawan hingga usia sepuluh tahun. Entah, apa dasar teori itu. Bisa jadi, lantaran pada masa ini dua insan yang mempunyai perbedaan latar belakang tengah disatukan. Seandainya terjadi ketidakcocokan, bukan tidak mungkin tergelincir dalam perceraian.

Padahal, meski usia perkawinan telah melebihi batas sepuluh tahun, ancaman kerawanan tetap ada. Untuk mudahnya, ambil saja contoh dari kalangan selebritis. Pada 1994, pernikahan aktor Hollywood, Kevin Costner dengan Cindy Silva harus berakhir setelah berjalan 16 tahun. Bahkan pernikahan Michael Douglas dengan Diandra Lurker yang dikaruniai satu anak, kandas setelah 23 tahun. Aktor gaek itu langsung menikahi aktris Catherine Zeta Jones dan kini mempunyai dua anak.

Nanna Machdi, psikolog dari Universitas Indonesia, tidak setuju pada teori masa rawan perkawinan. Menurut dia, "Masa rawan dalam perkawinan tidak bisa ditentukan. Tergantung bagaimana kita menghayati perkawinan itu sendiri. Kalau ada saling pengertian, saling mencintai, saling menerima pasangan, harusnya rasa jenuh dan ketidakcocokan bisa 'dialihkan' sehingga tidak akan muncul lagi."

Menghayati perkawinan. Ungkapan itu terasa amat ideal. Mudah diucapkan, tapi bagi sebagian orang mungkin sulit untuk dijalankan. Nanna tak menampik kemungkinan adanya rasa jenuh dalam kehidupan berumah tangga. "Bahkan kejenuhan itu sangat manusiawi," katanya. Namun, pada saat perasaan itu muncul, hendaknya setiap pasangan mengingat kembali apa yang dulu telah membuat keduanya saling mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan.

Kejenuhan bisa muncul akibat berbagai hal, baik yang berasal dari dari pasangan itu sendiri maupun yang datang dari luar. Salah satu yang mengemuka di zaman ini (karena mulai berani dibicarakan) adalah problem seksual. Namun, jangan terlalu risau, problem ini belum menjadi penyebab utama perceraian di Indonesia. Menurut data dari Klinik Pasutri, sebuah klinik di Jakarta, yang dikelola pakar masalah seks dr. Boyke Dian Nugraha, perceraian yang disebabkan oleh masalah seks tidak lebih dari 30%. Yang terbesar justru akibat masalah komunikasi antarsuami-istri (56%).

Meski bukan utama, bukan tidak mungkin problem seks menjadi ganjalan, terutama bagi pasangan usia produktif yang masih memiliki vitalitas tinggi. Apalagi dalam hubungan perkawinan, seks menempati dimensi relasi, yaitu seks berfungsi sebagai pengikat yang mempererat hubungan batin suami-istri. Frekuensi hubungan seksual yang baik akan berpengaruh terhadap keintiman pasangan dan keharmonisan rumah tangga.

Sayangnya, tidak semua pasangan dapat menjalankan tugas mulia itu secara sempurna. Terutama bagi pasangan yang tinggal di perkotaan. Pekerjaan atau aneka kegiatan lain telah banyak menyita waktu, energi, dan konsentrasi mereka. Senada seperti keluhan Ibu Nuri tadi, yang bahkan jarang punya waktu yang tepat bersama suami untuk sekadar berduaan tanpa dibebani kesibukan masing-masing. Belum lagi ritme hidup di kota besar yang ikut menyita energi secara psikis.

Penyebab lain yang tak terelakkan adalah masalah usia yang terus merambat. Tak dapat disangkal, seiring melajunya usia, kemampuan seksual seseorang menurun. Tim peneliti dari Texas Tech University (www.hs.ttu.edu) memaparkan, pria mengalami perubahan berupa penurunan respons organ seks dan waktu yang dibutuhkan untuk terangsang. Ada guyonan, pada masa seperti ini, pria telah memasuki masa "pegangan hidup" atau "perjuangan hidup", dan telah meninggalkan masa "pandangan hidup".

Bagi perempuan, dampak seksual terutama disebabkan penurunan produksi hormon estrogen. Sejumlah pakar memang berpendapat, perubahan ini sebenarnya tidak mengurangi gairah seksual sama sekali. Namun, perempuan merasakan perubahan organ reproduksi, berkurangnya lubrikasi pada vagina, berbagai masalah fisik seperti cepat lelah, kesulitan tidur, atau banyak berkeringat, serta masalah emosi seperti terlalu sensitif dan menurunnya rasa percaya diri. Keluhan ini semakin menjadi manakala memasuki masa pascamenopause.

Terakhir, problem seks yang juga mengancam kehidupan perkawinan justru dari derit ranjang sendiri, yaitu hubungan seksual yang monoton dan nyaris tanpa variasi. Hubungan yang pada awal perkawinan selalu difantasikan agung dan indah, bisa berubah menjadi sekadar rutinitas. Kegairahan yang spontan seolah menjadi kewajiban. Sementara untuk mencoba variasi baru, seperti saran para seksolog, sungguh tidak semudah menjentikkan jemari tangan.

Kuncinya pada komunikasi
Seks yang bermasalah memang bisa mempengaruhi perkawinan. Begitu juga sebaliknya, perkawinan yang bermasalah bisa mempengaruhi kehidupan seksual. Maka sebenarnya yang perlu disadari, seks untuk keharmonisan harus dipelajari dan dibina oleh suami-istri.

Nanna Machdi tidak setuju jika dikatakan hanya satu pihak saja yang berpotensi mengalami kejenuhan akibat adanya problem seks. Misalnya, istri dianggap tidak lebih berminat kepada seks karena sehari-hari sudah sibuk dengan urusan pekerjaan dan rumah tangga. Sementara lelaki yang dimitoskan dominan dalam sebuah hubungan seks, lebih membutuhkan penyaluran. "Semua membutuhkan, karena itu keduanya bisa juga mengalami kejenuhan," tandasnya.

Karena menjadi kebutuhan dua pihak, persoalan seks menjadi sensitif manakala menyangkut frekuensi hubungan seksual. Berapa kali sebenarnya suami-istri harus melakukannya?
Dalam sebuah seminar seksologi di Jakarta beberapa waktu lalu, dr. Boyke Dian Nugraha memberikan angka ideal hubungan seksual, yaitu satu sampai empat kali seminggu. Jelas, itu angka minimal, meski praktiknya tidak harus seperti itu. Masalahnya, tidak semua pasangan bisa memenuhi kuota itu.

Nanna berharap, "angka ideal" itu tidak menjadi patokan baku, agar jangan malah menjadi beban. Jika bisa dijalankan, memang lebih baik. Hanya saja kalau salah satu tidak bisa memenuhi, pasangannya diharapkan membuka pengertian yang seluas-luasnya. Apalagi jika memang ada problem yang tak terhindarkan, terutama kesehatan. "Contohnya saja jika pasangan menderita suatu penyakit. Misalnya, penderita diabetes jelas mengalami penurunan minat seksual," tutur Nanna, konsultan perkawinan ini.

Jika seks ternyata memang dianggap bermasalah, hendaknya setiap pasangan bisa menelaah, apa yang menyebabkan salah satu atau mungkin keduanya tidak bisa menjalankan hubungan seksual secara baik. Pada istri yang bekerja untuk menopang ekonomi keluarga, misalnya, wajar jika terkadang mengalami kelelahan. Suami harus dapat mengerti. Begitu juga sebaliknya istri terhadap suami yang telah bekerja sepanjang hari.

Agar didapat pengertian yang baik, perlu dibangun komunikasi. "Di sinilah yang justru rawan dalam rumah tangga," papar Nanna. "Komunikasi yang tidak efektif, atau malah tidak jalan sama sekali, bisa mengakibatkan keretakan dalam perkawinan. Di sini 'orang ketiga' justru bisa masuk."

Menurut Nanna, komunikasi yang baik adalah bagaimana kita menyampaikan maksud hati dan dapat dimengerti pasangan. Namun yang terpenting, pasangan meresponsnya. Jika tidak ada kelanjutan, komunikasi hanyalah sekadar komunikasi, dan sebenarnya itu tidak berhasil. "Harus dicari apa penyebabnya," sarannya.

Begitu pun terhadap masalah seks, termasuk rasa jenuh, tetap harus dikomunikasikan segamblang mungkin. Apalagi sekarang sudah bukan zamannya lagi main rahasia untuk urusan kebutuhan ranjang ini. Terhadap pasangan, satu pihak harus mengungkapkan problemnya jika sudah tidak nyaman dengan kehidupan seksual dengan pasangannya. Jika tidak terbuka, dikhawatirkan masalahnya tidak akan selesai dan timbul praduga yang justru bisa merugikan perkawinan itu sendiri.

Keberhasilan berkomunikasi sangat tergantung pada komitmen bersama setiap pasangan. Jika salah satu harus mengalah terus, tentunya tidak adil. Semuanya harus terungkap dan jelas masalahnya. Seketika itu juga dicari jalan keluarnya, apakah perlu dilakukan langkah-langkah perombakan total atau cukup dilakukan bertahap.

Perlu 'orang ketiga'
Demi keberhasilan komunikasi dalam kehidupan perkawinan, Nanna Machdi mengingatkan juga agar kedua pihak mengalahkan ego masing-masing. Jangan pernah ingin mengubah seseorang, walau kelihatannya ada "peluang" untuk itu.

Menurut psikolog yang juga berpraktik di Lembaga Psikologi Terapan UI ini, pada hakikatnya perkawinan adalah penyatuan dua orang dengan kepribadian yang sama sekali berbeda. Perkawinan adalah penyesuaian terus-menerus selama hubungan itu masih terjadi.

"Kepribadian merupakan satu hasil dari pengalaman masa lalu kita. Bagaimana pola asuh orangtua terhadap kita, bagaimana orangtua mendidik, pendidikan, dan bagaimana kita bergaul," papar Nanna. "Apakah itu akan bisa diubah dalam sekejap pada masa perkawinan? Tentu tidak."

Dalam sebuah komunikasi adakalanya salah satu pihak tidak bisa menempatkan diri pada posisi yang kondusif terhadap perbaikan situasi. Misalnya, suami yang ingin menang sendiri, atau istri yang dirasakan terlalu banyak menuntut. Jika kebuntuan itu berlangsung terus-menerus, tidak ada salahnya meminta bantuan pihak ketiga, yaitu profesional konsultan perkawinan. Bukan sekadar "pihak ketiga" seperti teman dekat atau malah keluarga.

Memanfaatkan jasa konsultasi perkawinan bisa diibaratkan seperti hubungan pemain dan pelatih dalam permainan sepakbola. Saat berada di lapangan, pemain kadang tidak menyadari posisinya atau tindakannya yang salah, sehingga perlu diingatkan oleh pelatih. Seorang profesional yang ahli bisa melihat letak permasalahan dalam perkawinan, sehingga bisa memberi saran-saran untuk menyelesaikannya.

Guna menghindari kejenuhan seksual, bagi pasangan yang telah menikah bertahun-tahun, sebenarnya dianjurkan untuk selalu memperbarui kemesraan. Mungkin bagi banyak orang, hal ini terasa aneh dan sulit. Dalih seperti, "Ah, sudah tua kok macem-macem, malu ah sama anak-anak!" masih saja terdengar. Itu karena pasangan terbawa pada pemikiran lama yang berpendapat bahwa kemesraan hanyalah milik kaum muda yang sedang dimabuk asmara.

Memperbarui kemesraan bukanlah sekadar lewat kata-kata verbal yang diucapkan tanpa makna. Ada banyak cara sederhana yang bisa dilakukan, seperti perhatian yang tidak biasa dalam bentuk pujian, memberi bunga, memberi hadiah spesial pada saat ulang tahun perkawinan, atau sekadar menelepon atau mengirim SMS dengan kata-kata mesra di waktu-waktu tertentu.

Nanna berkisah, salah seorang temannya yang bekerja sebagai dokter spesialis di Jakarta dan telah menikah 30 tahun, kadangkala mengajak istrinya ke luar rumah untuk sekadar jalan-jalan berdua atau makan sup kaki di warung kaki lima. "Waktu mereka pacaran, karena kantung pas-pasan, mereka sering makan sup di tempat itu. Hal itu mengingatkan masa-masa pacaran dan apa yang membuat mereka akhirnya menikah dulu," kata Nanna.

Dengan selalu memperbarui kemesraan, problem dalam perkawinan memang tidak akan sirna begitu saja. Namun, dari tindakan-tindakan kecil penuh makna, pengertian dari masing-masing pasangan akan tumbuh. Cinta dalam perkawinan akan kembali semanis madu.


Dimuat di majalalah INTISARI edisi Healthy Sexual Life Agustus 2005



Tidak ada komentar: