Konon, umur kejahatan sama tuanya dengan peradaban manusia. Sepanjang waktu itu pula para pakar mencoba mencari musabab manusia terjerumus ke dalam jurang tindak kriminal. Beraneka teori muncul silih berganti. Adakah yang sanggup menjawab?
New York City, 24 Mei 2000. Malam belum terlalu larut saat dua lelaki berjalan tenang menuju sebuah restoran cepat saji Wendy's di Kawasan Queens. Di tempat yang lumayan ramai pengunjung itu, tiba-tiba keduanya mencabut senjata genggam dan berteriak-teriak dengan maksud merampok.
Keduanya mengancam para pekerja restoran. Tujuh pekerja digiring ke lantai bawah tanah, diikat, dan dibaringkan ke lantai. Peristiwa berikutnya sungguh tak terbayangkan! Satu per satu sandera tak berdaya itu dihabisi. Lima orang tewas, beberapa lainnya terluka.
Beberapa hari kemudian polisi menahan John Taylor (32) dan Craig Godineaux (36). Salah seorang tersangka diciduk saat bersembunyi di rumah neneknya, di mana ditemukan juga uang recehan lebih dari AS $ 2.000. Taylor mungkin akan menjadi orang pertama yang dihukum mati di Negara Bagian New York dalam 40 tahun terakhir.
Ketika darah telah membanjir dan korban berjatuhan, orang baru akan bertanya: mengapa kejahatan ada?
Berwajah seram
Hampir 2.000 tahun lalu, orang-orang Romawi telah mencurigai fase Bulan penuh sebagai faktor yang mempengaruhi manusia berbuat jahat. Dari sini muncul istilah lunatic atau kegilaan. Berasal dari bahasa Latin luna berarti Bulan, yang gaya tariknya dicurigai mempengaruhi dorongan manusia untuk berbuat kejahatan.
Teori bulan menghilang. Pada abad ke-19 marak pelbagai teori mengaitkan sifat jahat dengan keadaan fisik seseorang. Seperti menilai seseorang berdasarkan wajah dan air mukanya. "Dia kelihatan baik kok", "Wajahnya serem, ah", "Kelihatannya dia berniat jahat", dsb.
Adalah fisikawan Austria, Franz Gall (1758 - 1828) yang memperkenalkan frenologi (phrenology) hingga menjadi teori paling masyhur dan ilmiah saat itu. Gall berpendapat, otak dan tengkorak dapat menggambarkan kepribadian seseorang dan perkembangan psikologisnya.
Frenologi yang kemudian berkembang pesat, membagi otak dalam 27 - 38 bagian untuk dihubungkan dengan ciri kepribadian tertentu. Misalnya, sifat agresif, permusuhan, merusak, atau suka main rahasia (sekretif). Seseorang dengan bagian otak tertentu yang menonjol dibandingkan dengan ukuran "normal", diyakini mempunyai kepribadian tertentu sesuai skema frenologi.
Bentuk tubuh juga pernah menjadi penanda kejahatan. Dari pengamatan ratusan foto telanjang, seorang dokter Italia bernama Cesare Lombroso (1835 - 1909) menemukan, penjahat ternyata punya ciri fisik sama. Misalnya, batas rambut, kerutan dahi, wajah tidak rata, hidung lebar, bibir gemuk, garis bahu miring, atau lengan panjang. Karakteristik itu dikatakan mirip manusia primitif (atavisme) yang cenderung berbuat jahat.
Psikolog Amerika William Sheldon (1898 - 1977) juga percaya bahwa bentuk tubuh seseorang mencerminkan perilakunya. Dari studi terhadap para pelaku kriminal di penjara Boston, Sheldon membagi manusia dalam tiga kategori: mesomorphs (berbadan tegap dan kuat), ectomorphs (tinggi dan kurus), serta endomorphs (gemuk dan pendek).
Dengan skala kuantitatif Sheldon lalu menyusun kombinasi setiap individu. Mesomorph murni 7-1-1, ectomorph murni 1-7-1, atau kombinasi dua ciri menjadi 2-6-1. Angka itu dikombinasikan dengan tiga tipe kepribadian. Endotonia, menyukai kenyamanan fisik, suka makan dan bersosialisasi. Mesotonia, banyak tindakan fisik, tidak sensitif, dan berambisi. Sedang ectotonia, lebih sensitif, mudah tersinggung, dan tidak suka bersosialisasi.
Sheldon menemukan korelasi kuat antara mesotonia dan mesomorphs. Tipe kurus dan berotot serta berkepribadian agresif yang disebut mesotonic ini dianggap cenderung terlibat kriminalitas. Ciri lain, mereka tidur lebih sedikit, bertekanan darah tinggi, dan asertif terhadap orang lain.
Psikopat tak selalu jahat
Setelah era teori biologis, muncul teori psikologis. Orang lalu sering mendengar istilah psikopat, sebagai bentuk gangguan jiwa, yang menimbulkan bayangan pembunuh kurang waras seperti di film. Orang akan terbayang sosok Alan Bates, karakter pembunuh dalam film Psycho (1961) serta pembunuh pada puluhan film lain bertema serupa produksi Hollywood.
Masih ingat Robot Gedek? Julukan bagi Siswanto, pelaku penyimpangan seksual dan pembunuhan terhadap enam bocah, itu juga digolongkan dalam psikopat. Penyimpangan seksual dan sadisme merupakan kecenderungan perilaku dari gangguan kepribadian ini. Atau O.J. Simpson, bintang olahraga Amerika, yang dituduh membunuh istrinya pada pertengahan 1990-an.
Kartini Kartono dalam Patologi Sosial (Mei, 2003) menjelaskan, psikopat adalah bentuk kekalutan mental yang ditandai tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi. Penderitanya tidak pernah bisa bertanggung jawab secara moral dan selalu berkonflik dengan norma sosial serta hukum dan biasanya bersifat immoral. Ciri khasnya, amat fanatik dan egoistik, menentang norma etis, dan lingkungan, aneh, sering kasar, kurang ajar, ganas dan buas tanpa sebab jelas, serta bertindak kriminal.
Faktanya, tak semua psikopat bertingkah seperti Alan Bates, Siswanto, atau Simpson. Sedikit sekali yang terlibat dalam pembunuhan keji, bahkan mereka bertahan dalam kehidupan normal dan tidak berbuat jahat. Meski potensi untuk berbuat kekerasan tetap ada karena "standarnya" dalam melakukan sesuatu, berbeda dengan manusia normal.
Gangguan psikologis saat pre-menstrual syndrome (PMS) dan post-partum depression syndrome (PPDS) pada kaum perempuan juga ditengarai dapat memicu kejahatan. Adalah Cesare Lombroso yang memulai miskonsepsi tentang kriminalitas oleh perempuan yang dihubungkan dengan faktor hormonal dan ketidakseimbangan kimiawi dari pola menstruasi. "Tamu bulanan" disebutkan bisa mengakibatkan kecenderungan migren, epilepsi, kleptomania, pyromania, bunuh diri, dan pembunuhan.
Penelitian Lombroso pada 1945 menyebutkan, 84% kejahatan oleh perempuan dilakukan dalam masa pra-menstruasi dan awal menstruasi. Meski belakangan kesimpulannya kian diragukan, gangguan psikologis pascamelahirkan (PPDS) digunakan dalam pembelaan di pengadilan Amerika. Seperti pembelaan Andrea Yates yang didakwa membunuh lima anaknya di Houston, Texas, 1996, serta Susan Mooney yang membunuh bayinya di New York 2001. Namun, keduanya tetap dinyatakan bersalah.
Meski jumlah perempuan lebih dari 51% populasi umum, pembunuh berdarah dingin berjenis kelamin ini seseungguhnya tak sampai 10%. Studi terakhir menyebutkan, perempuan pembunuh ternyata berusia lebih tua dari pasangannya dan terlibat penyalahgunaan obat atau alkohol. Mereka mengalami gangguan psikologis berulang-ulang. Sementara pria cenderung lebih sosiopatik. Dalam beraksi, perempuan pembunuh biasanya meracun atau membekap korbannya.
Penjahat besar Amerika
Teori-teori "lama" tentang kejahatan mulai runtuh saat sosiologi ikut mengurainya. Sosiologi meyakini, struktur sosial sebuah masyarakat dapat mempengaruhi perilaku manusia, seperti dikatakan Emile Durkheim (1858 - 1917). Kejahatan dirumuskannya sebagai perilaku alamiah yang tak lepas dari pelbagai dorongan di masyarakat.
Teori yang populer sejak 1930-an itu kian berkembang saat dunia menghadapi depresi ekonomi yang menghasilkan pengangguran dan masalah sosial. Masyarakat dianggap embrio perbuatan kriminal. Bahkan masyarakat Amerika yang saat itu membenci simbol-simbol pemerintah dan pengusaha kuat, seolah "mengagumi" penjahat besar seperti John Dellinger, Bonnie dan Clyde, atau Pretty Boy Floyd.
Pendekatan sosiologi semacam ini terus berkembang dan berlaku sampai sekarang. Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala meyakini, peran dan harapan seseorang serta masyarakat dapat mendorong seseorang menjadi jahat. Pelbagai faktor luar menyebabkan seseorang merasa tujuan-tujuan duniawinya dapat lebih mudah diperoleh melalui kejahatan.
"Ibaratnya, seperti seseorang memilih permen. Saat ini bukan semata-mata karena keinginannya sendiri, tapi karena adanya dorongan dan persuasi luar. Misalnya, dari iklan," jelas Adrianus.
Teori-teori dengan pendekatan biologis, kata Adrianus, sebenarnya tetap berlaku untuk kasus-kasus kejahatan yang tidak terbayangkan. Misalnya, analisis terhadap kasus pembunuhan sadis dan berantai. Atau, terhadap kasus-kasus yang motifnya tak beralasan (motiveless), yaitu jika suatu saat ada seseorang tiba-tiba mengamuk dan membunuh orang tanpa sebab yang jelas.
Masyarakat lembek
Adakah penjahat sadis tanpa motif di Indonesia? Adrianus menggeleng. Bahkan Robot Gedek, atau Sumanto sekalipun, tidak termasuk di dalamnya.
Sejauh pengamatan pengajar Pascasarjana FISIP UI itu, kasus kejahatan di negeri ini masih dalam batas wajar. "Kejahatan kekerasan biasa," katanya tanpa bermaksud mengecilkan arti. Suatu kali Adrianus pernah menantang mahasiswanya (beberapa adalah sipir lembaga pemasyarakatan) untuk mencari kasus kekerasan paling aneh dan ia akan memberi mereka nilai A+. "Hasilnya, enggak ada yang motiveless."
Kenyataan itu, menurut Adrianus, tak lepas dari teori Gunnar Myrdal, pemikir ekonomi politik peraih Hadiah Nobel, yang menggolongkan masyarakat kita sebagai masyarakat lembek (soft society). Dalam bertindak, seseorang sangat memperhitungkan reaksi yang akan diterimanya dari orang lain. Kebaikannya, jika seseorang punya kecenderungan jahat, dia akan menekan dirinya demi mencegah omongan orang.
"Tapi antitesanya, akan muncul kejahatan seperti membunuh karena alasan sepele. Mencuri biar kelihatan kaya, dan seterusnya. Kejahatan yang merupakan akibat dari lingkungan juga," papar peraih gelar doktor dari University Queensland yang pernah menjadi wartawan itu.
Dari segi kejahatan sadistis, negeri kita memang relatif aman. Tapi soal kejahatan di jalan, tentu lain lagi ceritanya. Apakah dari sini bakal muncul teori baru lagi?
Studi pada 1983 menemukan adanya hubungan antara fase bulan dan tingkat pembunuhan di Miami. Pola serupa juga ditemukan di Cleveland. Studi lain pada tahun yang sama juga mengungkap, orang yang masuk penjara meningkat saat bulan purnama.
Dimuat di: Majalah INTISARI, Maret 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar