12 Mei, 2009

Narsisisme Yang Bukan Sekadar "Narsis"

Mencintai diri sendiri adalah tindakan yang wajar. Namun kalau porsinya berlebihan, bisa-bisa menjelma menjadi narsisisme. Hati-hati! Perasaan semacam ini bisa menjadi gangguan manakala seseorang menganggap dirinya adalah segalanya, sementara orang lain bukanlah apa-apa. Dalam kadar yang wajar, narsisisme perlu bahkan dibutuhkan untuk mengembangkan diri.

Tidak jelas bagaimana awalnya, tiba-tiba saja kata "narsis" sering terdengar di mana-mana di sekitar kita. Pengertiannya, orang yang begitu suka memamerkan dirinya sendiri, terutama lewat foto. Gambar dirinya sengaja dipasang di benda-benda seperti di sampul buku, agenda, baju, dibingkai di dinding, sampai layar komputer untuk wallpaper.

Orang yang begitu senang mejeng dikatakan narsis. Pasalnya ia begitu percaya diri memasang foto dan menunjukkannya kepada orang lain, sambil dibumbui segala macam cerita tentang dirinya. Jika kebetulan ada suatu perubahan dalam penampilannya, seperti misalnya potongan rambut baru, kacamata baru, atau memakai lensa kontak seperti mata kucing, maka dia akan memotret dan segera memajangnya.

Kelakuan narsis ini semakin menjadi-jadi, apabila kebetulan banyak orang yang menaruh perhatian. Entah karena ia cantik atau gagah. Maka makin bersemangatlah ia memperbarui foto-foto terbarunya. Dengan tindakannya ia mengharapkan pertanyaan, pujian, atau sekadar komentar. Padahal, jauh di dalam hatinya, ia ingin menikmati segala kekaguman itu.

Ada pula jenis kelakuan orang yang disebut narsis itu untuk tidak malu-malu menambah label pada dirinya. Seperti "manis", "cantik", "imut", "charming", dsb. Biasanya kata ini dipakai sebagai identitas di dalam komunikasinya dengan orang lain. Jadi kalau namanya misalnya Tukul, ia akan menyebut dirinya Tukul Ganteng atau Tukul Imut. He-he-he, ... ini sekadar contoh saja lo!

Merasa nyaman dengan diri
Hati-hati, jangan keliru! Narsis seperti yang sering diucapkan orang selama ini tidak sama persis dengan narsisisme (narcissism) dalam pengertian ilmu psikologi. Intinya memang sama, yakni perasaan mencintai diri sendiri, tapi narsisisme lebih mengarah kepada kecenderungan cinta diri yang kadarnya berlebihan. Dari perasaan itu kemudian muncul masalah dengan orang lain.

Narsisisme juga bukan eksklusif milik orang-orang tertentu yang sering kita cibir dan sebut sebagai Si Tukang Pamer. "Karena kita semua punya kecenderungan narsis lo," kata Roslina Verauli, psikolog keluarga dari Jakarta. Menurut Vera, begitu psikolog muda ini disapa, narsisisme itu bahkan perlu untuk membentuk konsep diri yang positif. Proses pembentukan konsep diri ada pada masa anak-anak sampai remaja, dan mulai matang saat dewasa.

Meminjam pengertian dari Carl Rogers (1902-1987) psikolog Amerika Serikat, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap mengenai pengalaman yang berhubungan dengan "Aku", untuk membedakan "Aku" dari yang bukan "Aku". Nah, saat pembentukan konsep diri itu, kita butuh narsisisme untuk mengakui siapa diri kita dengan segala kapasitasnya. Misalnya, kita perlu untuk tahu bahwa kita berbakat di bidang seni, olahraga, atau dapat memimpin dengan baik. Dari kesadaran itu, kita tahu siapa sebenarnya diri kita.

Sejak usia anak-anak seseorang dituntut untuk berprestasi. Dari sanalah segala kelebihan dan kemampuannya ditonjolkan, yang sebenarnya bisa diarahkan menuju pencapaian (achievement) pada usia dewasa. Pada usia remaja, konsep diri ini mulai berjalan sesuai proses. "Ia menyadari segala kemampuannya hingga membuat konsep diri positif. Dari sanalah ia nyaman dengan dirinya dan tahu mengembangkan diri ke arah mana," kata Vera.

Sebaliknya konsep diri bisa menjadi negatif, bila misalnya orangtua menanamkan segala yang dimiliki si anak adalah segala-galanya. Anak lalu akan mengira bahwa orang menilai dirinya dari apa yang dimilikinya itu, seperti wajah, kemampuan, atau bahkan materi. Apalagi kalau sejak dini ia biasa diperlakukan berlebihan, misalnya selalu dipuji bahwa dirinya yang paling cantik atau paling pintar.

Karena kondisi itulah akhirnya ia tidak bisa mengembangkan konsep diri yang positif. Ia gagal melihat kemampuan yang objektif dari dirinya, baik kelebihan maupun kekurangannya. Lalu muncul narsisisme seiring matangnya konsep diri seseorang, yakni ketika ia memasuki masa dewasa muda, atau sekitar usia 20 tahunan.

Aku yang paling penting
Narsisisme bisa menjadi gangguan ketika seseorang sudah merasa "paling" dibandingkan dengan orang lain. Sehingga ia merasa begitu penting, dan tidak ingin dikalahkan oleh orang lain.
Misalnya ia merasa begitu penting sehingga jika turun dari mobil harus dibukakan pintunya, disambut, dicium tangannya, dan dipersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Atau dia merasa begitu pintar, kharismatis, terpandang, sehingga tidak ada orang yang melebihi dia, dan hanya dialah yang berhak menjadi nomor satu.

Orang-orang dengan gangguan narsisisme merasa semua berpusat kepada dirinya. Ia tidak merasa harus dianggap aneh, ketika semua orang harus maklum atas tindakannya yang salah. Atau tidak merasa harus meminta maaf meski sudah banyak orang yang menunggunya berjam-jam lantaran dia terlambat datang. "Buat apa minta maaf, 'kan aku yang paling penting?" begitu ia berkilah.

Bukan hanya orang-orang yang kita pandang aneh di sekeliling kita saja yang mengalami gangguan narsisisme. Para entertainer (yang biasa disebut "artis"), politisi, pemimpin organisasi, bahkan tokoh agama sekalipun bisa mengalami. Aktivitas sehari-hari mereka tidak terganggu. Mereka tetap bekerja, berkarya, atau berprestasi seperti biasa.

Khusus entertainer, menurut Vera, justru narsisisme dapat menunjang prestasi. Karena orang dengan pekerjaan seperti itu butuh perhatian ekstra dari masyarakat untuk menunjang kariernya di dunia hiburan. Terhadap klien yang memiliki potensi narsisisme, Vera malah selalu menyarankan untuk memasuki dunia hiburan saja.

Begitu pula kliennya yang sudah telanjur jadi artis, Vera tidak pernah menyarankan untuk mematikan kecenderungan narsisisme. "Dengan narsisismenya, mereka malah akhirnya mendapat peran-peran yang bagus di film atau sinetron," kata Vera, bersunguh-sungguh. Jadi kecenderungan narsisisme tidak selalu salah.

Para pemimpin juga membutuhkan narsisisme untuk mendorong diri mereka berprestasi. Mereka sering harus tampil dan diperhatikan orang. Karena kalau mereka ingin besar, harus melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk membuat dirinya terkenal. Meski ada pula kenyataan bahwa ada tokoh-tokoh yang lebih mengutamakan karyanya dan tidak ingin populer untuk menjadi pemimpin sejati.

Begitu pula dengan orang biasa, seperti kita. Bila menyadari ada potensi narsisisme, perasaan itu bisa diarahkan untuk memacu prestasi. Misalnya untuk membuat kita mampu tampil di muka umum secara lebih baik. Bisa juga dipakai agar kita bisa mengerti hal-hal yang harus dipacu dalam keunggulan kita.

Sebagai psikolog, Vera mengakui dirinya memiliki narsisisme, walau sedikit. Potensi itu digalinya untuk bisa tampil di muka umum secara baik, seperti saaat harus tampil di seminar dan mengajar di depan mahasiswanya. Menurutnya, dengan arah yang positif, kondisi itu malah membuatnya semakin percaya diri.

Tidak bisa berempati
Gangguan narsisisme muncul karena terjadi malfungsi secara individu. Yaitu ketika seseorang gagal mengembangkan diri karena melihat prestasinya sudah begitu canggih. Dia merasa paling pintar, cantik, cerdas, pokoknya segala yang serba oke. Namun akibatnya dia juga memiliki harapan yang tinggi untuk selalu diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Pembawaan seperti itu akan terlihat manakala tindakannya terlihat menonjol di tengah orang lain. Ia selalu berusaha menonjolkan diri saat berada di depan publik semata untuk tujuan pamer. Misalnya dia seorang yang kaya, maka dia akan memiliki bodyguard di sekelilingnya. Padahal tujuan sebenarnya bukan untuk menjaganya (karena memang tidak ada ancaman yang nyata) melainkan untuk sekadar menegaskan bahwa dia orang penting.

Parahnya, pengidap gangguan narsisisme tidak pernah menyadari perilakunya yang terkadang merugikan orang lain. Dia tidak merasa keliru, sampai ada orang atau masyarakat yang berbenturan dengan dirinya. Bisa jadi saat orang mengoreksi sekalipun, ia tetap tidak akan merasa bersalah. "Dia tidak bisa berempati karena gagal melihat dari sudut pandang orang lain. Karena dia tidak merasa harus berubah," jelas Vera, alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 1995 ini.

Gangguan narsisisme juga bisa membuat orang tidak bisa mengakui keunggulan orang lain. Walau mungkin faktanya ada orang lain yang unggul dalam sebuah kompetisi yang fair. Tapi ia akan tetap menolak hasil itu dan mencari bermacam alasan sebagai pembenaran untuk dirinya. Perasaan semacam ini tentunya akan sangat merugikan jika ternyata diidap oleh mereka yang menjadi panutan masyarakat, seperti misalnya tokoh-tokoh politik nasional.

Istilah pinjaman
Perihal kata "narsis" yang kini banyak dipakai dalam masyarakat, menurut Vera, hanya sebatas istilah yang dipinjam saja. Kecenderungan untuk sekadar pamer dan berani tampil di muka umum belum tentu narsisisme, sampai dia menunjukkan tingkah laku seperti yang sudah tergambarkan sebelumnya. Ketika istilah narsis ini jatuh di tangan anak muda dan dipergunakan dalam bahasa gaul sehari-hari, maka jadi populer.

Kebetulan, adanya berbagai kemajuan teknologi dapat menyokong kecenderungan masyarakat dapat memuaskan diri sendiri atau untuk tampil berlebihan di depan umum. Seperti adanya fotografi digital yang memungkinkan untuk memotret dirinya sampai puas. Atau saat dia harus tampil di poster-poster produk barang dagangan, spanduk warung makan, sampai pada saat tampil mengkampanyekan diri dalam rangka pemilihan umum legislatif.

Begitu pula dengan munculnya situs jejaring sosial seperti Friendster, Multiply atau Facebook. Kesempatan mejeng lewat cerita, foto, atau video dimanfaatkan betul oleh kaum muda. Kelakuan seperti ini menurut Vera terlalu dini kalau dikatakan terkena gangguan narisisme. "Kecuali kalau dengan foto-foto itu dia ingin menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang paling cantik dan tidak ada orang lain yang seperti dia," katanya.

Jadi, silakan nikmati kenarsisan dengan memajang foto di internet, seperti Facebook. Asalkan tak ada perasaan yang menyimpang, kita mungkin bakal bisa lebih populer. Narsis ah!


Nasib Tragis Narcissus
Dalam mitologi Yunani, tersebutlah kisah tentang Narcissus, anak dari Dewa Sungai Cephissus dan Peri Liriope. Sebagai anak dewa dan peri, tak heran kalau hasil "cetakannya" ganteng banget. Gadis-gadis banyak yang tergila-gila padanya.

Salah satu cewek yang naksir berat adalah Echo. Gadis yang sebenarnya cantik ini bahkan rela menguntit kemanapun Narcissus pergi. Ketika akhirnya Echo nekat "menembak" Narcissus, ternyata yang didapatnya hanyalah penolakan. Cinta bertepuk sebelah tangan. Dengan perasaan sedih, Echo akhirnya pergi ke gunung dan menghilang. Sekilas info, dari sinilah muncul istilah suara echo.

Melihat nasib Echo, Dewi Nemesis ikut sedih. Ia lalu menghukum Narcissus agar jatuh cinta pada dirinya sendiri. Narcissus kena batunya waktu melintas di sungai Styx dan melihat bayangan wajah dirinya di sungai. Ia jatuh cinta dan terus memandangi wajahnya sendiri. Ketika nekat hendak mencium bayangannya sendiri, Narcissus jatuh ke sungai dan mati. Dewa-dewa yang menemukan mayatnya menjadikannya bunga Narcissus. Dari sinilah kata Narsisisme berasal.


Dimuat di: Majalah INTISARI April 2009

Catatan Penulis:
Saat menggarap tulisan ini, tiba2 saya sadar, bahwa salah satu tokoh politik nasional kita juga mengidap narsisisme. Celakanya, dia juga ngotot mencalonkan diri di Pilpres 2009.

Tidak ada komentar: