16 Mei, 2009

Nostalgia: Telepon Genggam

Sebuah catatan tentang masa2 awal ponsel memasyarakat

Saya ingat…

Ketika telepon seluler atau ponsel (pakai istilah ini saja ya) pertama-tama kalinya muncul dan masih hangat-hangatnya, sekitar tahun 97-99, benda ini sempat dinamai telepon genggam.

Terus terang, awalnya saya bingung, kenapa dinamai begitu. Sampai kemudian saya perhatikan, bahwa orang2 memang sering menggenggam ponsel kepunyaannya. Dimain-mainkan. Dilihat layarnya (mungkin takut ada panggilan yang tak didengar). Diusap-usap. Diganti-ganti nada deringnya. Dipencet-pencet tombolnya. Lalu dilihat layarnya lagi. Terus digenggam lagi.

Tidak cukup begitu. Kalau sedang berjalan, ponsel juga terus digenggam. Sambil ngobrol dengan teman, ponsel selalu ada di tangan. Bahkan kalau kebetulan perlu menunjuk ke suatu arah, ia akan menggunakan tangan yang berponsel. Jari telunjuk digantikan oleh antena ponsel yang waktu itu umumnya masih nongol.

"Wah, udah ada henpon ya pak. Berapa nomernya?"
"He-he. Kosong delapan satu, …"
"Bentar, bentar, bentar, … saya miskol aja ya."

Ketika menghadiri seminar, pertemuan, meeting atau sekedar makan bersama, biasanya ponsel ditaruh di meja. Meja yang sudah penuh dengan berbagai macam barang atau makanan, masih ditambah lagi dengan ponsel yang berjajar-jajar. Di sini sering terjadi ponsel basah terkena kopi, kuah soto, keselip, atau malah hilang digondol maling.

"Bukan soal henponnya Pak. Tapi nomernya itu loh yang penting," biasanya orang yang kemalingan berucap begitu ke teman-temannya atau ke kepala sekuriti setempat. Padahal ponselnya juga panting kaleee.

Kalau kebetulan suatu saat ada dering masuk ke salah satu ponsel, bisa dua tiga orang yang melirik ponselnya. Maklum nada dering waktu itu masih terbatas, monophonic pula. Jadi banyak yang mirip settingannya.

Kalau ada satu orang yang terlanjur refleks mengambil ponselnya - tapi ternyata itu bukan panggilan ponselnya – trik menghapus malu adalah dengan memencet beberapa tombol. Lalu pelan2 (pelaaan2 sekali) dikembalikan lagi ke meja dan memasang tampang "tak berdosa".

Saat itu sinyal masih terbatas. Istilahnya, naik-turun. Sering terdengar percakapan saling bertukar informasi: "Lu dapet berapa batang?"

Celakanya, tanpa perlu paham lebih jauh soal teknis persinyalan, soal "batang" ini sering jadi ukuran kualitas ponsel atau providernya. "Indosat kan? Sama dong. Tapi kalau pakainya Motorolla emang suka jelek sinyalnya." Atau "Kalau Indosat jelek di sini. Bagusnya Telkomsel, apalagi kalau di Nokia."

Karena alasan sinyal ini juga, orang jadi maklum atau minta dimaklumi kalau dia menjawab telepon dengan suara keras: "HALOOOWW!" Di warung bakso yang padat pengunjung, panas, pengap, dan banyak orang yang megap2 kepedesan, dia juga akan cuek saja berhalo-halo.

Kalau ternyata masih merasa kurang jelas, penjawab akan berdiri terus mondar-mandir di ruangan atau malah keluar ruangan untuk mencari area sinyal yang bagus. Tapi seringkali, walau sinyalnya sudah bagus, dia tetap akan mondar-mandir. Mungkin sudah kebiasaannya.

Begitulah yang saya ingat...


Ditulis untuk Notes Facebook saya

1 komentar:

Anab Afifi mengatakan...

Begitulah memang ceritanya. Apalagi waktu itu, kalau orang sambil nyetir mobil, bila telponnya bunyi ato sengaja menelpon sambil nyetir, kaca mobil dibuka... Jadi biar keliatan, itu bagian dari status sosial.

Pada tahun2 yang sama, 1997, kebetulan saya ke Singapore. Di sana menelpon pake hp tidak boleh sembarang tempat. Kalau nyetir sambil nelpon, maka akan terkena levi (denda). Dan, orang sayaa memang patuh sekalii.

Di restoran juga dilarang nelpon.

Nah pada tahun-tahun itu, kalau ada seminar di hotel, seminar jadi ramai, sebab bentar-bentar peserta berdiri karena ada panggilan telpon.

Tapi sekarang sudah berubah. Telpon bukan alat nelpon lagi. Tapi sering buat merekam gambar-gambar "milik pribadi" bahkan "main film sendiri".

LANJUTKAN!!