04 September, 2009

Kemeriahan Pesta Budaya di Jantung Asmat

Oktober menjadi bulan yang dinanti warga Suku Asmat, khususnya para pengukir tradisional. Pada minggu kedua bulan itu, berlangsung Pesta Budaya Asmat, sebuah acara budaya tahunan yang dipusatkan di Distrik Agats. Ratusan pengukir dari pelosok kampung di Papua Selatan datang membawa karya-karya terbaik mereka untuk dipamerkan, dinilai, lalu pada puncaknya dilelang. Intisari melihat langsung kemeriahan pesta yang tahun ini telah memasuki usia perak itu.

"Ayo, lima juta rupiah!" Teriakan petugas lelang membahana di alun-alun kota Agats. Di depan mikrofon, ia seperti tak kenal lelah menawarkan sebuah patung ukiran yang dibawa sendiri oleh pengukirnya di hadapan pengunjung. "Ayo, naik lagi sepuluh juta. Oh, ada yang dua belas juta! Tepuk tangan!"

Kemeriahan itu sekilas tidak jauh beda dengan suasana lelang benda-benda seni yang sekarang sedang menjamur di kota-kota besar. Hebatnya, acara ini berlangsung jauh di pedalaman, tepatnya di Agats. Ukiran-ukiran tradisional dilelang kepada turis, pejabat setempat, juga warga sekitar. Lokasi boleh terpencil, tapi jangan terkejut kalau harganya berjut-jut seperti itu.

Agats? Silakan membayangkan, untuk menuju ibukota distrik (setingkat Kecamatan) di tengah belantara rawa-rawa Papua Selatan itu, ditempuh dari Timika selama 40 menit dengan pesawat jenis Twin Otter (18 penumpang). Kalau mau bisa juga dari Merauke selama 1,5 jam. Mendarat di lapangan terbang Ewer. Perjalanan masih dilanjutkan ber-speedboat, 10 menit saja, untuk merapat ke kota yang berdiri di atas lahan gambut itu.

Acara lelang ukiran memang jadi semacam puncak acara pesta tahunan ini. Karena di sinilah ukiran-ukiran Asmat sebagai buah tradisi turun temurun selama ratusan tahun bisa dihargai sepantasnya. Selama tiga hari acara lelang saja, terjual 203 ukiran yang totalnya Rp 1,5 miliar. Harga tertinggi mencapai Rp 32 juta untuk ukiran juara pertama yang dibeli Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebse. Angka penjualan ini termasuk tinggi dibandingkan dengan pesta budaya tahun-tahun sebelumnya.

Tak heran jika selama pesta, wajah para pengukir dari tujuh distrik di Kabupaten Asmat itu selalu berseri-seri. Bolehlah sejenak mereka melupakan kenyataan hidup pada hari-hari biasa, saat pedagang perantara masuk ke kampung dan menjemput ukiran-ukiran serupa dengan harga seratus atau dua ratus ribu rupiah saja. Demi tuntutan perut, para pengukir seringkali harus menyerah pada komersialisasi.

Status sosial tinggi
Pengukir atau wowipits dalam bahasa setempat, sebenarnya bukanlah profesi utama. Sehari-harinya mereka tetap bekerja memenuhi kebutuhan hidup, seperti mencari sagu, berburu, menangkap ikan, atau berkebun. Ketika waktu sudah agak senggang, biasanya sore hari, disempatkanlah waktu untuk mengukir.

Juga tidak semua orang Asmat ahli mengukir. Diyakini ada garis keturunan tertentu yang mampu melakukannya. Dalam satu keluarga sekalipun hanya satu atau dua anak saja yang akhirnya mewarisi kemampuan ayahnya.

Kalau memang ada anak berbakat, kaderisasinya diadakan di rumah laki-laki (disebut rumah jew) semacam balai adat tempat anak lelaki akil balig ditempa menjadi dewasa. Maka kemampuan khusus ini pun dipandang istimewa di masyarakat. Status sosial pengukir juga tinggi, lantaran ukiran berhubungan dengan ritual agama asli setempat.

Alphonse A. Sowada, OSC, rohaniwan Katolik dan antropolog, dalam Asmat Images (1985) mencatat adanya hubungan timbal balik antara manusia Asmat dengan roh-roh dalam kehidupan sehari-hari. Dongeng dan mitos Asmat juga banyak berkisah tentang benda mati, manusia, binatang, serta roh, yang saling berinteraksi dan memberi kekuatan. Mitologi ini memang tidak pernah membawa alam gaib secara nyata, tapi kehadirannya selalu tampak dalam benda-benda kesenian.

Masyarakat Asmat juga sangat terkait dengan roh para leluhurnya. Harmoni itu dijaga dan selalu diseimbangkan melalui praktik kekuatan magis, upacara pemujaan, dan pesta yang menggunakan benda-benda mati. Biasanya benda-benda berukir dibuat masyarakat yang tinggal di tepian sungai. Seusai upacara, patung akan ditinggal di rawa-rawa, sebagai persembahan bagi arwah-arwah yang menjadi pohon-pohon sumber makanan sehari-hari.

Bukan sekadar piranti ritual, patung-patung juga merupakan cerminan keinginan pembalasan dendam dari nenek moyang yang mati dalam perang. Pantang jika generasi penerus tidak melanjutkan amanat kemarahan itu. Karena itulah di masa silam perang suku dan kanibalisme yang tingkat kekejiannya sulit kita bayangkan, jadi peristiwa berkelanjutan.

Ketika pemerintah Indonesia masuk ke Asmat, tradisi upacara dan pembuatan patung sempat dilarang untuk memutus mata rantai perang dan tindak kekerasan lain. Larangan baru dicabut setelah Misi Gereja Katolik dan International Labour Organization (ILO) memprakarsai penjualan patung-patung Asmat sebagai barang seni, di Agats serta Rotterdam.

Misi juga melanjutkan upaya itu dengan mendirikan museum yang mengoleksi benda-benda seni dari berbagai penjuru Asmat. Kurator pertama dari museum yang kini bernama Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat ini adalah Yuvens Biakai, putra asli yang kini menjabat Bupati Asmat. Museumlah yang lalu memprakarasi acara pesta budaya dan jadi agenda tetap tahunan bidang pariwisata.

Upaya Misi menyelamatkan tradisi Asmat bukan tanpa kritik. Ada yang berpendapat, patung dan bermacam tradisi masa silam penuh daya magis yang bertentangan dengan ajaran agama. Lha, ini kok malah dilestarikan para pastor?

Menanggapinya, Pastor Virgil Petermeier, OSC, rohaniwan dari Keuskupan Agats menjelaskan, dukungan Gereja Katolik didasari pemikiran bahwa Tuhan bersama manusia menciptakan suatu budaya. "Betul ada yang menyimpang. Tapi ada pula budaya yang bagus untuk menunjang hal-hal bagus pula. Pantaslah kalau kesenian yang baik, ritus-ritus yang baik harus dapat penghargaan," tutur pastor yang berkarya di Asmat sejak 1974 itu.

Ancaman kebutuhan ekonomi
Empat hari berlangsungnya pesta budaya (9/10 - 12/10) bagaikan magnet yang begitu kuat menyedot perhatian seluruh warga Asmat. Suasana Agats begitu meriah karena lebih dari 200 orang pengukir dan 100 penari yang berpartisipasi. Mereka berpesta seni dengan mengukir, menari, bernyanyi, dan melaksanakan ritual-ritual adat.

Tak kalah meriahnya rombongan turis yang datang menggunakan penerbangan reguler, beberapa penerbangan tambahan, serta kapal wisata yang sengaja datang menyesuaikan jadwal di kalender wisata. Di antara tamu, terdapat Duta Besar Vatikan, Mgr. Leopoldo Girelli, yang sengaja datang menyambut 25 tahun penyelenggaraan pesta budaya.

Berkumpulnya ratusan pengukir pada saat bersamaan, sempat membuat pengunjung pesta budaya kesulitan mengenali ciri khas masing-masing ukiran. Baru ketika digelar demonstrasi mengukir massal, kemampuan masing-masing pengukir bisa dilihat. Menariknya bagi pengunjung, ukiran-ukiran pada sebongkah kayu putih sepanjang 50 cm itu dikerjakan seketika, dalam waktu sekitar empat jam saja.

Terkumpulnya ratusan ukiran juga membuat pengunjung bisa membedakan kekhasan motif dari setiap daerah yang sebenarnya terbagi berdasarkan asal etnisnya, yaitu: Joerat, Bismam, Bacembub, Safan, Kenok, Simai, Jupmakcain, Unir Sirau, dan Aramatak. Setiap etnis memiliki spesialisasinya masing-masing dalam menggarap bentuk-bentuk ukiran patung, patung cerita, patung bis (patung roh), panel, alat musik tifa, atau dayung perahu.

Di tengah ingar-bingarnya pesta budaya, siapa mengira jika ukiran-ukiran tradisional yang terasa begitu murni itu sesungguhnya terus terancam. Bukan cuma kapak, beliung batu, serta kerang yang mulai jarang digunakan dalam mengukir. Atau tulang kasuari yang telah tergantikan pahat baja. Ancaman terjadi karena interaksi pengukir dengan dunia luar yang lalu berpengaruh pada hasil karyanya.

Erik Sarkol, Kurator Museum Asmat dan juri dalam pesta budaya, mengakui kuatnya pengaruh ukiran-ukiran Jawa dan Bali pada beberapa jenis ukiran Asmat belakangan ini. Misalnya adanya bentuk-bentuk tiga dimensi pada ukiran panel. Hasilnya memang menjadi lebih variatif, tapi menurut Erik, itu bukan murni kreasi orang Asmat. Contoh-contoh perubahan evolutif itu bahkan bisa dilihat pada koleksi di Museum Asmat.

Ancaman lain yang tak kalah dahsyat, apalagi kalau bukan persoalan ekonomi. Wowipits yang dulu berkarya untuk ritual, lalu melestarikan seni, kini tampaknya mulai sadar akan potensi ekonominya. Malah ada pula yang mulai mengerti arti "selera pasar". "Dulu, kalau setiap ada bentuk tertentu yang menjadi juara di pesta budaya, tahun depannya akan banyak yang meniru bentuk tersebut," kata Pastor Virgil menyayangkan.

Tidak boleh meniru
Di mata para pengukir, pesta budaya berarti sebuah kesempatan untuk beradu kreasi. Karena pesta ini sesungguhnya juga sebuah ajang lomba ukiran tradisional dari seluruh penjuru Asmat. Tiga bulan sebelum acara, juri sudah mulai menyeleksi karya-karya ukiran langsung di kampung mereka untuk kemudian berlomba di pusat.

Ratusan karya dari tujuh distrik itu terbagi dalam kategori-kategori seperti Kategori Patung Kecil, Patung Sedang, Patung Besar, Kategori Cerita Rakyat, Kategori Tradisional, dan Kategori Panel. Pemenang akan mendapat hadiah uang, selain ukirannya akan dilelang. Di sinilah para pengukir bisa banjir uang.

Selama pesta berlangsung, beberapa pengukir mengaku merasa senang karena dapat saling melihat karya sesama pengukir dan menjadi pelajaran bagi kemajuan diri sendiri. "Kita bukan meniru. Ada aturannya tidak boleh meniru punya orang lain," kata Paskalis Osakat, pengukir dari Kampung Ats, menyinggung etika di kalangan pengukir tradisional Asmat. Masalahnya, apakah etika itu ditaati semua orang, dia cuma angkat bahu.

Berbeda pada kenyataan sehari-hari, Paskalis mengakui memang ada ukiran-ukiran yang dibuatnya untuk "komersial". Ukiran dijual kepada pedagang yang langsung masuk ke kampung mereka. Soal harga memang sulit untuk diukur mahal-murahnya. Misalnya ukiran panel ukuran 50 - 100 cm dengan lama pengerjaan 2 bulan, dihargai sekitar Rp 200 ribu saja. Di kota, harga itu bisa menjadi tiga sampai lima kali lipatnya.

Paskalis berkisah, banyak pengukir yang tidak punya pilihan karena didesak kebutuhan hidup. Terutama barang-barang yang tidak dihasilkan oleh alam, seperti pakaian, kebutuhan anak sekolah, dan kebutuhan rumah tangga lain. Harga-harga di kampungnya yang harus ditempuh delapan jam dari Agats dengan kapal kayu bermesin 15 PK (setara 30 l bensin) sudah berlipat-lipat dibandingkan dengan di kota. Sepotong baju kaus sederhana di Jakarta yang hanya Rp 20 - 30 ribu bisa menjadi hampir Rp 100 ribu. Bensin, jikalau ada, bisa Rp 10 - 15 ribu per liter.

Maka jangan kaget, ketika menjelang ditutupnya pesta budaya, kemeriahan pun berpindah ke pasar Agats. Para pedagang barang-barang kelontong kebanjiran pembeli, tak lain para paitua wowipits yang sedang berkantung tebal.

Sejenak kemudian berkardus-kardus belanjaan berpindah tempat ke kapal-kapal kayu yang umumnya sudah sarat muatan. Di antara barang kebutuhan pokok, terselip juga
barang-barang modern seperti tape recorder, speaker aktif, televisi 29 inci, yang semuanya tentu lengkap dengan generator set-nya.

Ah, bukannya pesta budaya pestanya para pengukir 'kan?

Dimuat di: Majalah INTISARI, November 2008

Catatan Penulis:
Perjalanan ke Asmat merupakan salah satu liputan saya yang paling berkesan. Mungkin, karena saya merasa berada sangat jauh dari rumah, di suatu daerah yang sama sekali lain dibanding kawasan mana pun di Indonesia (yg pernah saya datangi). Tapi terlebih lagikarena saya berada di antara saudara2 saya yang sangat sangat sangat tidak beruntung, di tengah alam mereka yang kaya raya. Siapa yang salah dalam hal ini? Begitu saya merenung sampai hari ini.


Tidak ada komentar: