05 Februari, 2010

Teori Konspirasi, Hidup Di Antara Dugaan dan Kenyataan

Ketika masyarakat tidak puas dengan kenyataan yang mereka saksikan, mereka cenderung membuat penjelasan-penjelasan sendiri sesuai pemikiran masing-masing. Lahirlah teori konspirasi, yang meyakini suatu peristiwa ganjil pasti dilatar belakangi persekongkolan kuat di belakangnya. Tapi harus berhati-hati, karena tidak selalu apa yang kita pikirkan itu benar.


Hanya satu jam, setelah Presiden Amerika Serikat ke-35, John F. Kennedy, mati terbunuh, 22 November 1963, polisi berhasil menangkap pelakunya. Lee Harvey Oswald, demikian nama pria 24 tahun yang dituduh menembakkan senjata laras panjang dari lantai enam sebuah gedung di Dallas, Texas. Dua peluru menembus leher dan kepala belakang Kennedy yang kala itu sedang berada di sebuah mobil atap terbuka.

Benarkah dia pelakunya? Tak ada jawaban pasti, lantaran Oswald juga mati terbunuh dua hari kemudian. Ketika akan dipindahkan dari kantor polisi ke penjara, Jack Ruby, seorang pemilik klab malam yang mengaku marah atas kematian Kennedy, menembak Oswald. Pembunuhan terjadi di hadapan puluhan polisi dan disaksikan jutaan pemirsa karena disiarkan langsung oleh televisi.

Kelanjutan kisah dari peristiwa pembunuhan Presiden AS paling menghebohkan itu kemudian mirip film-film spionase. Pemerintah AS sempat dianggap tidak serius menanganinya. Apalagi tersiar kabar burung tentang saksi-saksi yang meninggal atau hilang. Termasuk "Babushka Lady", julukan sesosok wanita misterius berjas panjang warna coklat dengan scarf di kepala (babushka – dalam bahasa Rusia berarti nenek-nenek yang biasa memakai scarf) yang terlihat terus memotret di lokasi.

Dari sini mulai muncul dugaan bahwa pasti ada "sesuatu" di balik pembunuhan Kennedy. Ada yang berteori, peristiwa ini adalah buah persekongkolan di pemerintahan AS sendiri. Kemudian Uni Soviet, lalu Mafia Italia, malah belakangan Kuba sempat disebut-sebut mendalanginya. Tapi ada juga yang percaya, ehem jangan tertawa, Kennedy tidak mati. Melainkan dibawa oleh makhluk luar angkasa. Jadi, ada apa sesungguhnya?

Berawal dari dugaan
Wajar jika segala misteri di balik pembunuhan Kennedy kemudian memunculkan penjelasan-penjelasan, lebih tepatnya dugaan-dugaan, tentang segala kemungkinan di balik semua itu. Penjelasan yang dalam istilah populer sekarang disebut teori konspirasi itu, sekilas terkesan ilmiah. Masuk akal karena masyarakat melihat keping-keping kebenaran di dalamnya.

Situs internet Wikipedia, menjelaskan bahwa teori konspirasi adalah upaya-upaya untuk menjelaskan bahwa penyebab utama dari satu atau rangkaian peristiwa sebenarnya sudah direncanakan diam-diam oleh orang-orang, kelompok atau organisasi yang sangat berpengaruh. Biasanya terkait peristiwa-peristiwa politik, sosial, atau sejarah.

Negeri kita juga bertabur peristiwa besar atau kecil yang kemudian melahirkan teori-teori itu. Seperti misalnya peristiwa G30S (1965), Malari (1975), Tanjung Priok (1984), serta beraneka konflik seperti di Ambon, Poso, atau kerusuhan Mei 1998. Meski ada penjelasan dari pemerintah atau para pelakunya sudah masuk penjara, tapi di masyarakat tetap beredar versi tidak resmi. Kisah ini malah lebih seru karena komplit dengan bermacam bumbu.

Iqrak Sulhin, pengajar di Departemen kriminologi FISIP Universitas Indonesia, mengakui teori konspirasi sangat menarik disimak karena bisa menjelaskan apa saja. Secara metodologis, teori ini juga bisa menghubungkan banyak faktor. Ketika dihubung-hubungkan, faktor-faktor itu terasa begitu logis dan seakan-akan layak dipercaya. Orang Jawa punya istilah: uthak athik gathuk, artinya setelah diutak-atik ternyata pas. "Karena itu masyarakat menyukainya," katanya tentang teori yang sifatnya tidak akademis ini.

Untuk membuktikan teori konspirasi tidaklah mudah, kalau memang tidak bisa dikatakan tidak mungkin. Sebab rujukannya hanyalah rumor-rumor yang beredar di masyarakat juga. Perkiraan-perkiraan ini tidak jelas dasarnya. Lebih parah lagi jika sumbernya berupa ramalan-ramalan dari mulut seseorang yang melakoni kehidupan klenik alias paranormal.

Rumit jadi sederhana
Teori konspirasi menjadi pembicaraan serius tatkala AS kecolongan oleh serangan teroris, 11 September 2001, yang merobohkan dua gedung kembar WTC di New York. Peristiwanya cuma beberapa menit, tapi dampak masih terasa sampai hari ini, setelah Presiden George W. Bush menggali kapak perang dan memburu kalangan yang disebutnya "teroris". Perang yang berlangsung di hampir seluruh belahan bumi itu (termasuk Indonesia) malah menyulut munculnya teori konspirasi bahwa Bush mencari pembenaran dari peristiwa 9/11 untuk menjalankan agendanya sendiri.

Teori ini menjadi pembahasan serius setelah Mathias Brockers, seorang jurnalis dan editor dari Jerman menulis buku Conspiracies, Conspiracy Theories and the Secrets of 9/11 (2001). Meski tidak hadir dari kalangan akademisi, pemikiran Brockers sempat menjadi perdebatan sengit kala itu. Sebagai seorang wartawan, ia memang memiliki idealisme bahwa jika tidak ada bukti yang definitif, maka kebenaran harus diuji berulang-ulang.

Dipicu pemikiran Brockers, masyarakat AS mendengar suatu informasi liar.Konon, saat terjadinya serangan teroris, banyak pekerja yang terlambat datang ke kantor atau malah tidak masuk kerja. Beberapa agenda pertemuan penting di WTC juga ditunda. Ternyata hal itu telah menyelamatkan mereka dari serangan. Apalagi dibumbui bahwa mereka berhubungan langsung dengan kepentingan Yahudi di AS. Jadinya, warga keturunan Yahudi dicurigai.

Kondisi itu seperti apa yang dikatakan Brockers, bahwa teori konspirasi cenderung membuat masalah yang rumit menjadi lebih sederhana. Karena itu teori konspirasi ideal sekali untuk dipakai sebagai propaganda atau agitasi. Apalagi ada kecenderungan untuk melempar masalah yang rumit dan menyengsarakan merupakan ciri perilaku manusia. Jadi wajar jika ada orang yang percaya bulat-bulat rumor yang beredar, terutama yang di luar jangkauan pemikirannya.

Gugur dan muncul
Teori konspirasi muncul begitu ada sedikit indikasi. Ketika mulai muncul kecurigaan atau ada sedikit saja suatu petunjuk, maka mulailah orang berteori. "Jangan-jangan karena ini... Jangan-jangan karena itu..."

Tapi sifat teori ini tidaklah abadi. Ketika suatu saat ditemukan bukti yang definitif, maka konspirasi akan berakhir. Masalahnya, mendapatkan bukti semacam ini bukan perkara gampang. Paling tidak butuh waktu panjang, bisa puluhan atau ratusan tahun. Itu pun bukan jaminan bahwa persoalannya akan menjadi terang benderang. Malah mungkin akan melahirkan teori konspirasi baru.

Semasa Orde Baru, masyarakat umumnya percaya, peristiwa G-30S 1965 terjadi karena Partai Komunis Indonesia (PKI) hendak merebut kekuasaan sebelum Bung Karno menjadi berhalangan tetap karena sakit. Setelah Soeharto tidak berkuasa, lebih dari 32 tahun kemudian, masyarakat mulai mendapat alternatif pemikiran bahwa PKI mungkin bukan satu-satunya pemain kala itu. Andai penjelasan resmi pemerintah adalah sebuah konspirasi, maka ia telah gugur, dan lahir teori konspirasi baru.

Kita tahu tidak mudah melaku verivikasi terhadap bukti-bukti adanya konspirasi. Kecuali mereka yang berada di lingkaran dalam pada saat peristiwa itu terjadi. Dalam peristiwa G-30S itu misalnya, mereka adalah para pelaku sejarah, yakni pihak politisi dan militer. Itu pun kalau mereka mau berbicara terus terang.

Jika kita menariknya dalam skala mikro, ilmu kriminologi menyatakan bahwa seorang pelaku kejahatan akan selalu berlaku rasional. Iqrak Sulhin menjelaskan, mulai dari penjahat white collar sampai tingkat "maling ayam", pelaku kejahatan pasti akan berpikir agar kejahatan yang dilakukannya berlangsung lancar sesuai harapan. Ia juga akan berusaha menghindari dari penegak hukum dan membuat alibi agar tidak mudah terlacak.

Pelaku kejahatan membuat alibi agar dirinya berada sejauh mungkin dari peristiwa kejahatan. Misalnya, ia tidak akan melakukan pembunuhan sendiri, tapi menyewa orang bayaran. "Biasanya jarak antara pemesan dengan eksekutor ini sangat jauh," kata Iqrak.

Orang yang mampu mendesain secara rapi dan menyusun alibi yang kuat umumnya terkait dengan kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan, seperti dikatakan Iqrak, tidak melulu soal jabatan atau kekuasaan politik, tapi juga soal uang. Bisa saja ia memiliki relasi ke penegak hukum atau kejahatan terorganisir. Dengan kekuasaannya, pelaku akan membuat dirinya aman. Bukan semata-mata karena intelektualitas. Dia bisa saja tidak pintar, tapi kekuasaannya besar.

Suara Tuhan?
Negara sebenarnya memiliki "penjelasan" resmi terhadap suatu permasalahan. Sistem peradilan misalnya, adalah suatu cara untuk menyelesaikan masalah hukum. Di sanalah berbagai fakta dan temuan diungkap kepada publik, berdasarkan hasil penyidikan aparat penegak hukum. Jika pengadilan memutuskan seorang terdakwa terbukti bersalah atau sebaliknya, maka demikianlah sikap negara terhadap kasus itu.

Sayangnya, pengadilan tidak selalu dapat memuaskan rasa keadilan masyarakat. Dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, misalnya, masyarakat meyakini ada suatu kekuatan besar yang berkonspirasi di balik peristiwa itu. Kenyataannya, pengadilan hanya dapat menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto, pelaku yang divonis 20 tahun penjara. Terdakwa lain dalam kasus ini, mantan pejabat di Badan Intelijen Negara, Muchdi PR, dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus Munir yang dianggap tidak tuntas membuat teori konspirasi tentang kasus ini terus hidup di masyarakat. Pengadilan dianggap tidak sejalan dengan dugaan-dugaan yang ada di benak mereka. Menurut Iqrak, ini bisa saja mengusik rasa keadilan di masyarakat. Rumor yang berkembang di masyarakat akan memunculkan beraneka teori konspirasi. Suara masyarakat dalam hal ini diwakili media massa, kalangan LSM, perguruan tinggi, dan elemen-elemen sosial lain.

Bisa jadi inilah wujud dari adagium vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan. " Jika ada suara-suara ketidakpuasan, merupakan suatu indikasi. „Negara harusnya merespons. Jika ada bukti baru maka harus membuka kasus itu kembali di pengadilan," kata iqrak.

Penghakiman instan
Lahirnya teori-teori konspirasi bukanlah skenario terburuk. Wujud ketidakpuasan masyarakat bisa saja muncul dalam bentuk lain, yakni pembangkangan sipil (civil disobedience). Dalam bidang hukum, mereka bisa menjadi tidak percaya lagi terhadap perangkat yang ada, mulai dari polisi, kejaksaan, sampai pengadilan. Situasi ini pernah muncul di Indonesia, antara 1999-2003.
Iqrak Sulhin pernah mengadakan studi khusus tentang itu. "Mungkin kita ingat, antara tahun 1999-2003, reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan begitu anarkis dan masif. Mereka langsung dihakimi di jalanan, dikeroyok, dibakar dan sebagainya. Tanpa menunggu polisi untuk menanganinya," katanya dengan nada prihatin.

Kondisi pembangkangan itu menurut Iqrak terjadi karena masyarakat skeptis terhadap perangkat hukum yang ada. Jika pelaku kejahatan diserahkan ke polisi, masyarakat menilai malah akan memberi keuntungan kepada polisi. Karena perkara kejahatan bisa diselesaikan di bawah tangan. Akibatnya masyarakat kemudian langsung memberi hukuman "instan". Padahal hukum jalanan ini sangat menakutkan, karena sangat mungkin terjadi kesalahan.

Kini situasi itu sudah mereda. Namun ketidakpuasan masyarakat masih bisa ditemukan dalam letupan-letupan kecil. Seperti pemunculan grup "Tolak Mafia Peradilan", "Gerakan 1.000.000 Facebookers Untuk Tempatkan Polri Di Bawah Depdagri", atau "Selidiki Kasus Bail Out Bank Century" yang terdapat di Facebook, bisa menjadi indikasi adanya ketidakpuasan itu. Pihak penguasa, seperti kata Iqrak, jangan mengabaikan kenyataan ini.



Boleh Percaya Boleh Tidak
Dalam skala besar maupun kecil, dunia melahirkan jutaan teori konspirasi yang hidup dan berkembang di masyarakatnya. Kita seakan diberi pilihan, ingin percaya atau tidak. Boleh berpikir kritis asal tidak membuat bodoh diri sendiri.

Beberapa teori yang pernah hangat menjadi pembicaraan:

1. Pendaratan manusia di bulan
Sebagian kalangan meyakini pendaratan di bulan tidak benar-benar dilakukan oleh NASA. Pendaratan ini cuma sekadar film yang dibuat untuk menunjukan keunggulan AS atau Uni Soviet kala itu.

2. Tsunami 2004
Bencana gempa bumi dan tsunami, 26 Desember 2004, dipercayai sebagai akibat percobaan nuklir India. Akibatnya sebagian wilayah Asia Selatan dan Tenggara tersapu tsunami yang menewaskan ribuan orang.

3. Kematian Lady Di
Kematian istri Pangeran Charles ini dipercaya sebagai persekongkolan pihak dinas rahasia Inggris yang malu karena tokoh monarki mereka berpacaran.

4. Virus pembunuh
Virus-virus yang berjangkit di dunia saat ini, seperti HIV, SARS, flu burung, dsb'; diyakini sebagai buah dari percobaan senjata biologi

5. Serangan 11 September 2001
Peristiwa serangan teroris 9/11 dipercaya sebagian orang merupakan rekayasa dari Pemerintah AS sendiri untuk melegitimasi rencananya melakukan suatu operasi militer di wilayah Timur Tengah.


Boleh Berharap Tapi Realistis
Masyarakat berhak punya suatu pendapat, tapi bukan berarti mereka tidak bisa „salah“. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog, menilai suatu saat masyarakat bisa saja tidak dapat berpikir jernih. Mereka cenderung mempercayai kebenaran yang diyakininya sendiri. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, sesungguhnya pemikiran mereka tidak selalu benar. Minimal ada sisi-sisi yang ngawur.

Mengutip pemikiran intelektual asal Inggris, Francis Bacon (1564-1626), Sarlito mengatakan bahwa masyarakat bisa saja menghadapi suatu rintangan dalam berpikir sehingga sasaran yang dituju akan tersendat. Malah bisa-bisa mereka tersesat! Salah satu penyebabnya adalah adanya idola dalam pemikiran berupa idola teatri (idols of theatre).

Teori menyebutkan, idola teatri merupakan pengaruh dan faktor keterikatan manusia pada partai, dogma, filsafat, agama, ideologi, dan sekeranjang isme-isme lain yang membuat kita menciptakan dunia sendiri. Sikap itu akan terasa wajar jika banyak penganutnya. Tapi ketika kita mencoba untuk keluar, maka kita akan dicap sesat. Padahal belum tentu kita sesat. Mungkin saja saat berada di sistem itu justru kita tersesat.

Dalam kasus pembunuhan Nazarudin Zulkarnaen misalnya, begitu contoh dari Sarlito, masyarakat cenderung melihat terdakwa, Antasari Ashar adalah pihak yang teraniaya. „Karena kebetulan kasusnya bersamaan dengan perseteruan antara KPK dan Polisi,“ duga Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu. Jadi seakan-akan mantan Ketua KPK itu adalah korban dari konflik antarlembaga negara itu. Padahal kasusnya sederhana, yakni Antasari didakwa melakukan rencana pembunuhan.

Dengan pemikirannya, masyarakat sebenarnya memiliki harapan-harapan tertentu yang antara lain terwujudkan dalam teori konspirasi. Tapi mereka juga harus sadar bahwa antara harapan dan kenyataannya juga harus seimbang. Karena bisa saja ketika melihat realitasnya, masyarakat akan kecewa dan berpotensi menimbulkan deprivasi relatif.

Dalam ilmu psikologi, deprivasi relatif dikatakan lebih dahsyat dari frustrasi. Frustrasi bisa terjadi pada siapapun, sewaktu-waktu karena ada faktor objektif yang menghalangi tujuannya. Sedangkan pada deprivasi sudah ditanamkan suatu gagasan yang melambungkan harapan ke tempat yang relatif lebih tinggi. Ketika harapan itu tidak terpenuhi, terjadilah deprivasi.

"Saat ini masyarakat kita sudah terjadi situasi itu," kata Sarlito. Misalnya harapan terhadap demokrasi, yang berlebihan. Padahal kenyataanya sulit dicapai yang diharapkan. Bukan tidak mungkin suatu saat akan meledak menjadi aksi massa, revolusi, dan tindakan perlawanan lainnya.

Dimuat di: Majalah INTISARI, Februari 2010


Catatan Penulis:
Artikel ini ditulis ketika pemberitaan media massa tengah diramaikan 2 kasus: Bank Century dan Antasari Azhar.

Tidak ada komentar: