20 Februari, 2010

Senjatanya Dua Martil (Kisah Sejati Rio Martil)


Jumat, 12 Januari 2001, suasana di Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah, tampak seperti hari-hari biasa. Belum ada keramaian terlihat di daerah wisata berhawa sejuk itu. Pada akhir pekan, biasanya wisatawan lokal dari Banyumas dan kawasan lain di Jawa Tengah, banyak melewatkan waktunya untuk tetirah atau sekadar menikmati pemandangan kaki Gunung Slamet itu.

Begitu pula suasana di Hotel Rosenda, salah satu hotel di tengah kawasan wisata, siang itu juga tak ada yang terlihat mencolok. Belum banyak tamu memenuhi salah satu hotel terbaik yang terletak 20 km dari kota Purwokerto itu.

Di Kamar 135 Hotel Rosenda, dua orang sedang berbincang santai. Rio, pengusaha asal Jakarta, berbicara panjang lebar tentang minatnya menanamkan modal di bisnis perumahan di Baturaden. Menurut Rio, prospeknya cerah. Di hadapannya, Jeje Suraji, mendengar saja sambil sesekali mengamati gambar contoh-contoh rumah yang berserak di meja.

Jeje sebenarnya tidak terlalu berminat. Kedatangannya semata untuk menyopiri mobilnya yang disewa Rio untuk berkeliling. Selain menjadi pengacara, lelaki 40 tahun itu juga menjalankan bisnis persewaan mobil. Hari itu ia bahkan sempat menemani Rio berkeliling untuk menunjukkan lokasi-lokasi di sekitar Baturaden yang kira-kira potensial didirikan kawasan perumahan. Di kamar itulah pembicaraan lalu dilanjutkan.

Obrolan sebenarnya juga tidak terlalu serius, karena suara dari televisi yang menyala juga cukup keras. Jeje meladeni pembicaraan itu semata untuk menyenangkan hati kliennya saja. Matanya sesekali melirik ke arah televisi sambil menyimak Rio yang berjalan mondar-mandir di kamar.

Kepala langsung remuk
Tiba-tiba saja, bug! Jeje merasakan sebuah pukulan benda keras menghantam kepalanya. Begitu keras, hingga darah mengucur dan membuat ia tak sadarkan diri lagi. Pukulan yang dilakukan berkali-kali oleh Rio itu menggunakan dua martil, satu di tangan kiri, satunya di kanan.
Dalam beberapa pukulan saja, kepala Jeje sudah remuk. Darah dan isi kepala berhamburan. Percikannya mengenai kursi, meja, kasur, bahkan sampai ke dinding.

Tubuh ayah tiga anak yang sudah berusia belasan tahun itu akhirnya tergolek bersimbah darah di kursi. Melihat itu, Rio langsung membuang martil di lantai. Ia meraih selimut dan sprei kasur untuk mengelap tangannya yang belepotan darah, lalu kain yang merah basah itu digunakan untuk menutupi tubuh korbannya. Merasa kurang bersih, Rio menuju kamar mandi dan cuci tangan di wastafel.

Tok, tok, tok! "Pak Jeje! Pak Jeje!"

Terdengar pelayan hotel memanggil-manggil sambil mengetuk pintu kamar. Suara yang sempat membuat Rio terkejut. "Sebentar, saya masih ngobrol-ngobrol," katanya menjawab sambil terus membersihkan tangannya. Mendengarnya, pelayan segera meninggalkan kamar dan berjalan ke arah depan hotel.

Merasa situasi sudah aman, Rio bergegas. Ia mengemasi barang-barangnya yang sebenarnya tidak terlalu banyak, lalu mencari kunci mobil di saku celana Jeje. Sebelum keluar kamar, sempat diliriknya arloji milik korban, dilepas dan ditaruhnya dalam saku celanya.
Di luar kamar, Rio mencoba bersikap tenang dan langsung melangkah menuju ke depan hotel. Tapi rupanya beberapa langkah menjelang lobi, seorang pelayan yang mengenalinya langsung menyapa, "Mana Pak Jeje, Pak?"

"Oh dia di kolam renang," jawab Rio sekenanya. Seolah tanpa mau berpanjang lebar ia terus melangkah ke depan hotel, arah parkir mobil.

Jawaban itu mengagetkan pelayan. Masalahnya, hotel tempatnya bekerja tidak ada kolam renang. Apalagi Rio terlihat agak terburu-buru menuju mobil Toyota Kijang seri LGX bernomor polisi R 7078 EA. Pelayan itu juga merasa janggal, karena tidak biasanya mobil milik Jeje dilepas begitu saja kepada penyewanya.

"Pak, Pak, tunggu Pak!" Pelayan itu berteriak agak keras, untuk menghentikan Rio sambil berusaha menarik perhatian sekitarnya. Ia langsung menyusul Rio ke parkiran.

Dikira maling
Teriakan itu rupanya membuat Rio panik. Ia berusaha memasuki mobil. Tapi para petugas keamanan hotel yang sudah curiga ada ketidakberesan sudah lebih sigap dan memburunya. Rio terpancing melawan mereka dengan kekerasan. Ia mengamuk membabi-buta, menyerang petugas satpam. Timbul kegaduhan di ruang parkir, yang segera menarik banyak orang di sekitar hotel untuk menengok.

Melihat ada seseorang yang berkelahi dengan satpam, lebih banyak orang yang akhirnya berdatangan dan membantu. Dalam waktu singkat, Rio berhasil diringkus. Semula orang-orang mengira yang dibekuk adalah maling, sehingga Rio langsung dikeroyok tanpa ampun. Wajahnya babak belur.

Rio akhirnya diamankan dengan cara diikat di pos keamanan. Tapi ia tetap berusaha kabur dengan meronta-ronta. Seluruh petugas bersiaga sekaligus emosi, karena tidak setiap hari mereka menghadapi kondisi itu.

Sejumlah pegawai hotel segera tersadar, mereka tidak melihat Jeje, yang memang mereka kenal baik karena biasa menyewakan mobil kepada tamu-tamu hotel. "Pak Jeje mana? Cari Pak Jeje." Beberapa orang bergegas berlari menuju kamar 135. Pintu dibuka dengan kunci cadangan.

Saat dibuka, pemandangan di dalam sungguh mengenaskan. Tubuh Jeje ditemukan terduduk di kursi hotel dalam keadaan tidak bernyawa lagi, ditutupi seprai dan selimut. Kepala bagian belakang terlihat hancur. Darah berceceran di lantai dan dinding. Para pegawai hotel merasa tegang melihat kenyataan itu terjadi di tempat mereka bekerja.

Tak lama Polisi yang dikontak, segera datang dan memeriksa TKP. Melihat kejahatannya serius, dengan korban tewas bersimbah darah, mereka segera mengontak kantor di Polsek Baturaden untuk menurunkan tim yang lebih lengkap. Hari itu Baturaden yang sehari-harinya adem ayem, mendadak gempar.

Pergaulan preman
Semula para petugas kepolisian di Polsek Baturaden tidak pernah menyangka jika tersangka pelaku pembunuhan di wilayah mereka adalah Rio alias Toni, buronan yang dicari setidaknya oleh tiga Kepolisian Daerah: Polda Jawa Barat, Polda Jawa Timur, dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Segera setelah mereka mendapat kepastian tentang status Rio, proses hukum selanjutnya dilakukan di Polres Banyumas.

Tak banyak yang bisa diketahui dari Rio Alex Bullo, kelahiran Sleman 2 Mei 1978. Lelaki bertubuh kecil ini dikenal pendiam dan tertutup. Sehari-hari ia dikenal tak banyak bicara, meski juga tidak terkesan menyeramkan bagi orang lain.

Walau lahir di Sleman, Yogyakarta, Rio bukan keturunan Jawa. Alex, nama tengahnya diambil dari nama ayahnya yang berdarah Maluku. Sedangkan Bullo, diambil dari marga ibunya yang berasal dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan.

Di lingkungan tempat tinggalnya, di kawasan Senen, Jakarta Pusat, juga tak banyak yang mengenal pribadi Rio. Asal-usulnya juga tidak jelas. Kepada keluarga istrinya, ia hanya bercerita kalau dirinya sudah merantau sejak usia 8 tahun. Dititipkan ke kakak sulungnya di Jakarta, pernah pula ikut kakaknya yang lain di Medan.

Pada usia 12, Rio terusir dari rumah, akibat konflik dengan orangtuanya. Kabarnya, Rio tidak mau mengikuti agama orangtuanya sehingga ayahnya marah dan tidak mengakuinya sebagai anak. Ia lalu hidup bersama ibu angkat, Ibu Ina, yang berjualan sayur di Pasar Senen.

Kawasan Pasar Senen di Jakarta, dikenal sebagai daerah rawan. Di sini terdapat stasiun kereta api, terminal bus, pusat perbelanjaan, pasar loak, dan pemukiman padat di tepi rel. Tumbuh besar di kawasan semacam itu membuat tingkah laku Rio tidak terkendali.

Kabarnya Rio tetap bersekolah, malah pernah berkuliah di sebuah akademi bahasa asing. Tapi ia akhirnya bekerja sebagai pedagang, sopir taksi, berlanjut ke sebuah percetakan. Tempat bekerjanya yang terakhir itu rupanya merupakan tempat pembuatan surat-surat kendaraan palsu, seperti STNK dan BPKB. Suatu kali polisi menggerebek tempat itu yang membuatnya menganggur.

Dari pekerjaannya di percetakan, Rio berkenalan dengan jaringan pemalsu surat kendaraan, lalu beberapa waktu kemudian meningkat menjadi komplotan pencuri mobil. Akhirnya ia terjun sebagai pencuri dan berhasil menggasak sejumlah mobil di berbagai tempat di Jakarta, seperti di sekitar Bandara Soekarno Hatta, daerah Daan Mogot dekat Studio Indosiar, juga di kawasan Senayan. Rio dikenal sebagai pencuri ulung. Dalam sehari pernah dua mobil "dipetiknya".

Rio sempat tersandung masalah ketika bos penadah mobil curiannya melaporkan dirinya ke polisi lantaran melarikan mobil setorannya. Akibatnya ia tinggal setahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Sekeluarnya dari LP, pekerjaan lamanya sebagai pencuri terpaksa dilanjutkan karena ia terlanjur menerima uang muka dari aksi pencuriannya terdahulu. Selain itu, bisnis surat palsu kendaraan tetap berjalan, hingga membuatnya harus berurusan dengan polisi sekali lagi.

Lazimnya kehidupan para kriminal, Rio juga akrab dengan dunia malam dan narkoba. Uang hasil kejahatannya juga banyak yang habis untuk sekadar berfoya-foya. Tapi gaya hidup itu mulai berubah perlahan-lahan saat ia memutuskan untuk berkeluarga.

Selalu berpindah kota
Tingkah laku Rio berbeda di mata keluarga dari istrinya. Rio bertemu Tuti Alawiyah tahun 1994 yang langsung dinikahinya. Kepada keluarga, ia hanya bercerita sudah dibuang orangtuanya yang kini juga tidak diketahui keberadaannya. Di mata mertuanya, Rio juga terlihat sangat sopan. Antara lain selalu mencium tangan saat hendak pergi ke luar rumah.

Rio juga begitu sayang terhadap ketiga anaknya, dua perempuan dan satu lelaki. Tuti mengaku, suaminya tidak pernah bercerita tentang pekerjaan yang sebenarnya. Hanya bilang kalau berdagang. Meski tidak hidup mewah, Rio selalu berusaha mencukupi kebutuhan mereka.

Namun di luar rumah, sikap Rio berbeda. Dalam catatan polisi, sebelum Jeje, setidaknya ia pernah tiga kali melakukan pembunuhan. Polisi juga telah menetapkannya sebagai buronan. Tapi keberadaannya selalu tidak diketahui karena selalu berpindah-pindah kota.

Rio selalu bergerak untuk menghindar dari kecurigaan polisi setempat. Namun modus kejahatannya selalu sama, yaitu awalnya berlagak seperti tamu hotel yang bermaksud menyewa kendaraan, tapi kemudian mobil dibawa kabur. Belakangan naluri kekejamannya muncul. Aksi kejahatan yang dibarengi dengan kekerasan berlangsung dalam rentang waktu September - November 2000.

Di Bandung Rio beraksi setelah terlebih dulu menginap di Hotel Naripan, lalu menggasak sedan Timor setelah terlebih dulu memukul sopirnya hingga tewas. Aksi berikutnya di Semarang, menginap di Hotel Adem Ayem, lalu menyikat mobil Panther berwarna abu-abu dan membunuh sopirnya. Kemudian di Surabaya ia menginap di Hotel Mirama dan membawa kabur sedan Mercy berwarna putih, lagi-lagi sopirnya ditemukan tewas.

Pernah juga Rio beraksi di Yogyakarta, dengan menginap di Hotel Ibis. Tapi aksi pembunuhannya gagal gara-gara saat hendak memukul, gagang martilnya terlepas. Sopirnya hanya terluka lalu kabur sambil kesakitan. Konon peristiwa itulah yang membuat Rio selalu membawa dua martil, satu buat cadangan sekaligus alat keduanya.

Dalam aksi kejamnya, Rio selalu memukul kepala korban, tepatnya di bagian belakang sebagai sasaran paling mematikan. Umumnya korban tewas akibat trauma benda keras. Belakangan media massa menjulukinya sebagai "Rio Martil" atau "Martil Maut".

Kekejaman Rio dipadu juga dengan rumor tentang kesaktian yang didapat dari neneknya. Konon ia bisa melepas borgol. Soal benar-tidaknya, masyarakat yang menangkapnya di Baturaden bersaksi, "Badannya memang kecil, tapi tenaganya kuat sekali." Tapi rumor yang telanjur bergulir di ruang tahanan ini cukup membuat nyali narapidana lain menjadi ciut.

Pranoto SH, pengacara Rio, tidak melihat sifat kejam pada kliennya. Ia hanya melihat Rio tidak banyak bicara. Tapi temperamennya tinggi. Ia sendiri mengaku jarang berhubungan dengan kliennya itu, terutama setelah Rio dipindahkan ke Pulau Nusakambangan.

Pernah suatu kali Pranoto bermaksud menemui Rio di Nusakambangan. Perjalanan cukup berat, harus mengurus perizinan, naik kapal, dan menempuh perjalanan ke LP. Tapi Rio malah tidak mau dijenguk. Kata petugas, Rio marah-marah karena petugas dianggap mengganggu tidur siangnya. Dari situ saya menyimpulkan, dia tidak boleh tersinggung," tutur pengacara yang juga pengajar di Universitas Jenderal Soedirman ini.

Hanya karena tersinggung
Persidangan atas terdakwa Rio Alex Bullo yang digelar di Pengadilan Negeri Banyumas berjalan lancar. Rio yang didampingi pengacara dari Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Jenderal Soedirman, tampak tenang dan pasrah menjalani setiap tahap persidangan. Tidak ada keluarganya yang hadir, mengingat jarak Jakarta - Purwokerto yang 445 km itu termasuk jauh.

Jaksa mendakwa Rio telah menganiaya hingga menyebabkan kematian Jeje Suraji. Tindakan itu juga dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, karena Rio terbukti telah lebih dulu menyiapkan senjata dua buah martil. Kejahatannya ditambah lagi dengan usahanya merampas harta korban.

Di persidangan juga terungkap, Rio setidaknya sudah membunuh tiga orang di berbagai kota. Semua dilakukan dengan motif perampasan kendaraan milik korban. Kekejaman saat membunuh korban-korbannya, juga menjadi catatan tersendiri dalam persidangan.

Berdasar bukti-bukti itu, 14 Mei 2001, Rio divonis mati. Mendengar keputusan hakim, ia mengaku pasrah. "Saya bersyukur karena tidak mati saat sedang melakukan kejahatan. Tetapi mati dalam hukuman, mati dalam bertobat," katanya kepada para wartawan sesaat setelah vonis dijatuhkan.

Meski begitu, upaya banding tetap dilakukan para pengacara. Sementara Rio terus menjalani hukumannya di LP Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke LP Permisan di Pulau Nusakambangan. LP yang terletak di sebuah pulau di selatan Cilacap ini terkenal sebagai tempat para narapidana yang menjani hukuman berat atau hukuman mati.

Di LP Permisan, Rio bertingkah laku baik. Tak ada peristiwa menonjol, meski di kalangan napi namanya sudah terkenal sebagai pembunuh kejam. Selain para pembunuh, perampokan dengan kekerasan, serta koruptor, di LP itu ditempatkan juga terpidana mati Kasus Bom Bali I, yakni Amrozi, Mukhlas, dan Abdul Aziz alias Imam Samudera.

Kelakuan Rio semakin bertambah baik, terutama setelah mendapat teman satu sel, Iwan Zulkarnain. Kabarnya Rio mudah akrab dengan Iwan lantaran merasa sama-sama berasal dari Sulawesi, walau latar belakang kejahatan mereka jauh berbeda. Bekas pegawai PT. Pos Indonesia itu adalah terpidana kasus korupsi bilyet giro setoran pajak PT. Semen Tonasa senilai Rp 42 miliar yang divonis 16 tahun di penjara.

Iwan pula yang menuntun Rio belajar membaca Alquran. Hidup di penjara memang membuat Rio banyak beribadah. Kitab suci Alquran dimilikinya beberapa buah, selain ada pula buku-buku keagamaan lain. Kabarnya, ia tidak pernah lupa menjalankan salat wajib, termasuk salat malam.

Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. LP gempar setelah pada 2 Mei 2005, Iwan ditemukan tewas di kamar mandi sel. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tulang tengkorak retak dan kulit kepala sobek sepanjang 5 cm, lebar 0,5 cm. Di dinding dekat tempatnya jatuh bersimbah darah, ada noda-noda percikan darah. Tampak Iwan mati dibunuh seseorang dengan cara dibenturkan ke dinding. Tudingan langsung mengarah kepada Rio, karena saat itu sel hanya dihuni tiga orang.

Awalnya Rio berkelit. Polisi sampai harus merencanakan tes mendalam terhadap noda-noda darah di sarung milik Rio. Tapi dengan sejumlah pendekatan, akhirnya ia mengaku telah membunuh Iwan lantaran kesal.

Pada malam kejadian, sekitar pukul 21.30, Rio memanggil Iwan untuk mengajarinya mengaji. Tapi acara itu harus terganggu karena hujan membuat atap bocor dan airnya menggenangi lantai. Iwan lalu mengepel lantai, sementara Rio hanya duduk-duduk saja di dipan. Saat itulah Iwan sempat mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan Rio. Kata Iwan, Rio boleh saja ditakuti di luar, tapi di dalam LP tidak punya jalu.

Merasa tersinggung, Rio langsung menyerang. Iwan dibekap dengan sarung, mulutnya disumpal kain. Kepalanya dibenturkan ke dinding berkali-kali. Suasana sel sempat gaduh, tapi petugas saat itu mengaku tidak mendengarnya lantaran hujan turun sangat deras.

Setelah kegaduhan di sel semakin menjadi, petugas langsung berkoordinasi dan segera menyerbu masuk ke dalam sel nomor 6. Di sana Iwan sudah ditemukan tergeletak bersimbah darah. Di beberapa bagian kepala ada luka memar, kelopak mata dan dahi kiri bengkak, serta tiga giginya patah.

Setelah malam itu, Rio dipindah ke sel khusus untuk diisolasi dan untuk memperlancar pemeriksaan. Iwan adalah korban Rio yang kelima. Dan tragisnya, Rio melakukan pembunuhan itu tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-27!

Jadi sorotan media massa
Peristiwa pembunuhan di LP Permisan segera menjadi berita panas di media massa. Masyarakat kembali teringat akan Rio "Si Martil Maut" yang beraksi kembali, tapi kini dengan tangan kosong. Sistem pengamanan LP yang dinilai lemah, kelengahan petugas, sampai penanganan negara terhadap para narapidana di lembaga pemasyarakatan jadi sorotan di media massa.

Di media juga sempat terjadi polemik tentang kelanjutan proses hukum terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terpidana mati. Maklum, untuk memprosesnya bukan hal mudah, karena TKP di sebuah LP yang punya banyak keterbatasan. Menanggapinya, polisi berkomitmen untuk tetap melakukan penyidikan terhadap Rio.

Sementara itu, kelanjutan proses hukum terhadap kasus Rio sebelumnya masih terus bergulir. Namun hasilnya, mulai dari tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), Grasi, sampai Peninjauan Kembali (PK) tidak menguntungkan Rio. Ia tetap harus menghadapi regu tembak. 1 April 2008, surat penolakan PK dari MA diterima Kejaksaan Negeri Purwokerto. Artinya Rio harus segera dieksekusi dalam waktu dekat.

Situasi dunia hukum di Indonesia sendiri, pertengahan 2008 itu, kebetulan tidak berpihak bagi Rio. Ketika itu ada beberapa terpidana mati yang eksekusinya sudah jatuh tempo. Sorotan media begitu gencar, karena tahun itu saja Kejaksaan punya agenda menembak mati 8 orang terpidana. Jumlah yang tinggi, di tengah negara-negara di dunia yang umumnya telah menghapus hukuman mati demi alasan HAM.

Rio tak berkomentar tentang eksekusi yang akan dilaksanakan di Purwokerto, sesuai lokasi terjadinya tindak kejahatan. Situasi haru justru terjadi lantaran pihak keluarga, yakni istri dan tiga anaknya yang belum lagi berusia sepuluh tahun, sulit untuk sekadar menengok Rio. Berkali-kali permohonan untuk bertemu di Nusakambangan tidak mendapat izin.

Baru setelah Rio dipindahkan ke LP di Purwokerto, kurang dari sepekan menjelang eksekusi, keluarga kecil itu bisa berkumpul. Kesempatan itu pun terjadi untuk memenuhi satu dari tiga permintaan terakhir Rio. Kehadiran Tuti dan ketiga anaknya juga tak lepas dari usaha sebuah stasiun televisi yang juga berkepentingan soal pemberitaan terpidana mati itu.

Pertemuan selama sekitar empat setengah jam, pukul 17.00 - 21.30, pada 4 Agustus 2008, berlangsung mengharukan. Untuk terakhir kali, Rio bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah terasa semakin tumbuh besar sejak terakhir kali ia memeluk mereka.

Sebenarnya, sejak kasus hukum Rio bergulir, ia enggan melibatkan keluarganya. Kepada pengacaranya, ia selalu berpesan untuk tidak membawa-bawa mereka. Malah ia sebenarnya minta agar eksekusinya dirahasiakan saja dari keluarga. "Biar ini semua saya tanggung sendiri," ujar pria yang baru sepuluh tahun menikah itu. Seusai pertemuan terakhir dengan suaminya, Tuti yang terlihat tak henti menangis tidak memberi komentar apa pun kepada puluhan wartawan yang menunggunya.

Tiga permintaan terakhir
Wartawan mungkin adalah pihak yang paling resah menanti pelaksanaan eksekusi mati Rio. Seperti biasa, Kejaksaan tidak pernah mengumumkan secara pasti tentang waktu dan tempat pelaksanaannya. Berita-berita media massa rupanya ikut memancing masyarakat Purwokerto mendatangi LP dan berharap dapat melihat terpidana. Masyarakat juga menduga-duga tempat pelaksaan eksekusi dan menunggu di sana.

Sementara itu di dalam LP, menjelang hari-hari terakhirnya, Rio memilih untuk menyendiri. Sifat tertutupnya mulai muncul. Ia tak mau ditemui oleh siapapun. Termasuk Pranoto, pengacaranya, yang bahkan mengaku tak tahu tentang kepastian waktu eksekusi karena tidak kunjung menerima surat dari Kejaksaan.

Pranoto berkisah, ada tiga permintaan terakhir Rio. Pertama, bertemu keluarganya. Kedua, ia meminta maaf kepada seluruh keluarga korban. Ketiga, ia ingin memberikan Alquran kepada keluarganya, termasuk satu buah diberikan juga kepada pengacaranya. Rio juga sempat berpesan agar baju-bajunya diberikan saja kepada napi yang membutuhkan.

Kematian akhirnya menjemput "Si Martil Maut", 8 Agustus 2008, pukul 00.30. Rio dieksekusi oleh 12 orang anggota regu tembak di Desa Cipedok, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Karena sejak semula istri Rio sudah menyatakan tidak sanggup memakamkan jenazah suaminya lantaran ketiadaan uang, Kejaksaan yang akhirnya mengurus. Keluarga dari pihak Rio sendiri sudah tidak diketahui keberadaannya.

Sesaat setelah eksekusi, sejumlah media massa sempat memberitakan penolakan sejumlah warga di Kelurahan Berkoh, Purwokerto, jika Rio dimakamkan di wilayah mereka. Tapi akhirnya Kejaksaan berhasil mendapatkan tempat di TPU Sipoh, Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, di blok makam orang-orang tak dikenal.

Dimuat di: Majalah INTISARI Maret 2009

Catatan Penulis:
Saya terhitung jarang menulis untuk rubrik Perkara Kriminal (dulu Cerita Kriminal, yg merupakan rubrik favorit pembaca INTISARI). Tapi saya begitu tergelitik utk menulis tentang Rio, karena menurut saya kisahnya begitu menarik dan membumi. Bahan saya kumpulkan dari kliping koran, tayangan televisi, dan internet. Sempat saya menghubungi pengacara Rio, Pranoto, utk bercerita tentang situasi di TKP di Baturaden. Menurut Pranoto, situasinya lebih kejam dari yg saya gambarkan di cerita di atas. Martil ditemukan tertancap di kepala! Tapi atas berbagai pertimbangan, fakta ini tdk saya tulis.

Saya sempat begitu terharu saat menuliskan paragraf tentang pertemuan terakhir Rio dengan istri dan ketiga anaknya yg masih kecil2 (saya juga merahasiakan nama dan usia mereka). Suasana itu begitu hidup sekali, sehingga sempat saya terbata-bata saat mengetik kata-katanya. Semoga Tuhan memberkati keluarga itu. Amin.

3 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Terimakasih atas tulisannya. tapi kenapa mas sangat berminat untuk menulis cerita ini kalau boleh saya tau?

Unknown mengatakan...

kejadiannya th 2001 ditulis th 2010 koq lama jarak nya. apa baru tahu di th 2010 ?