Foto ini saya ambil di Agats (Oktober 2008), kota setingkat kota kecamatan di Kabupaten Asmat. Mama - begitu wanita dewasa di sana dipanggil - ini sedang menjajakan dagangannya yang cuma seekor ikan. Harganya Rp 20 ribu. Mahal? Awalnya saya mengira begitu, tapi pandangan itu berubah karena mereka memang hanya mengenal dua harga: 10 ribu dan 20 ribu. Daerah Agats yang sangat terpencil di tengah rawa Papua Selatan, membuat harga barang apa pun terasa mahal. Lagi dong, Boss...
15 September, 2009
Mama dan Seekor Ikan
Foto ini saya ambil di Agats (Oktober 2008), kota setingkat kota kecamatan di Kabupaten Asmat. Mama - begitu wanita dewasa di sana dipanggil - ini sedang menjajakan dagangannya yang cuma seekor ikan. Harganya Rp 20 ribu. Mahal? Awalnya saya mengira begitu, tapi pandangan itu berubah karena mereka memang hanya mengenal dua harga: 10 ribu dan 20 ribu. Daerah Agats yang sangat terpencil di tengah rawa Papua Selatan, membuat harga barang apa pun terasa mahal. Lagi dong, Boss...
20 Agustus, 2009
Semata Karena Sotoy
Jika Anda tidak termasuk dalam golongan pengikut agama "minoritas" di negara ini, mungkin sesekali Anda pernah geli ketika mendengar kami (non-muslim) secara sotoy (alias sok tau) memakai istilah2 dalam agama Anda, pada percakapan kami sehari-hari.
Istilah2 itu memang sekadar kami comot saja dari pembicaraan di antara kita sehari-hari. Yang bodohnya, kami tidak berusaha menelusuri arti sebenarnya. Padahal tanpa pengetahuan yang cukup atau cuma ikut-ikutan mengucap belaka, penggunaan istilah2 tersebut kadang tidak tepat. Atau malah menjadi rancu.
Pertama, saya ambil kata yang populer: Insya Allah.
Untuk artinya, mari kita merujuk kepada Wikipedia yang menulis: Insya'Allah adalah ucapan seseorang yang menyertai pernyataan akan berbuat sesuatu pada masa yang akan datang. Dengan mengucapkan perkataan ini seorang muslim telah berjanji untuk melakukan perbuatan tersebut kecuali tidak memungkinkan pada saat akan dilakukan. Lihat QS 18:24.
Situasi "enggak berani janji, tapi akan diusahakan sebaik mungkin atas seizin yang Di Atas" jelas bukan milik orang Islam saja. Tapi sungguh mulia, umat muslim mempunyai istilah yang bisa mengakomodasinya. Akhirnya kami pun merasa cocok dan ikut memakainya. Padahal jika direnungkan benar, istilah itu bukan hanya tidak tepat jika diucapkan oleh non-muslim, tapi alangkah tercela jika kami kemudian merasa "aman" berlindung di balik kata itu.
Kedua, istilah yang tidak kalah populer: Almarhum.
Untuk artinya, saya mencoba merujuk kepada arsip milis Assunnah. Kalau boleh saya rangkum: almarhum merujuk kepada sebutan untuk seseorang yang meninggal dan dirahmati Allah. Biasanya ini diucapkan sebagai doa dan harapan agar Allah mengampuni dosanya dan merahmatinya. Dengan catatan, ini diucapkan bergantung kepada niat si pengucapnya. Dalam pemahaman itu, jelas kami tidak berhak menggunakan almarhum untuk orang2 yang sudah meninggal dan mereka bukan muslim.
Ketiga, istilah yang digunakan setahun sekali: Minal 'Aidin wal-Faizin.
Untuk artinya, saya merujuk kepada Wikipedia yang menuliskan: ucapan ini adalah sebuah doa yang bila diterjemahkan menjadi "Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan berhasil (dalam latihan menahan diri)".
Namun situasinya, dilandasi niat baik, kami sering mengucapkan kata itu saat menyalami Anda pada hari Idul Fitri. Maksudnya agar bisa turut melebur dalam kegembiraan, tapi malah salah kaprah, karena mengira Minal 'Aidin wal-Faizin artinya "mohon maaf lahir batin". Bisa jadi selain sifat sotoy tadi, itu disebabkan kami terpengaruh rima "in" pada akhir masing-masing kata 'faizin' dan 'batin'.
Pengucapan itu jelas tidak tepat. Bagaimana bisa mengucapkannya jika kami tidak melakukan puasa Ramadhan? Jika umat muslim telah berpuasa dan meminta maaf atas kesalahannya, tentu kami akan memaafkan. Kalau pun akhirnya kami juga ikut menumpang meminta maaf pada momen itu, saya kok yakin, dengan hati yang telah terlahir kembali, saudara-saudara kami umat muslim akan memberi maaf.
Selamat berpuasa Ramadhan.
30 Juli, 2009
Orang-Orang Pilihan (Noordin)
Sehabis Marriot ancur gara2 bom mobil, 6 tahun lalu, saya beruntung bisa ketemu dan wawancara dengan tim penjinak bom Polri, yang kita kenal dengan nama "Gegana". Di markasnya di Kelapa Dua sana. Biasalah, dalam rangka penugasan untuk pembuatan artikel.
Tim penjinak bom yang dipimpin perwira berpangkat mayor ini orangnya asyik2, kalau gak bisa dibilang rada2 gokil. Sayang banget, mereka gak mau dikutip namanya (kecuali komandan tentunya) apalagi dipotret. Eh, bentar, ini tim penjinak bom beneran ya! Bukan sekedar tim penjinak bom "ria jenaka" yang datang kalau ada laporan ancaman bom doang. Dua tim itu rupanya beda.
Secara bercanda komandan mereka akan selalu bilang: "Jadi anggota tim penjinak bom adalah sebuah kesalahan. Jadi jangan buat kesalahan kedua!" Artinya ketika mereka menjinakkan bom, jangan sampai ada kesalahan, misalnya salah "potong kabel", meremehkan, kurang teliti, dsb. Soalnya kalau sudah... buuum! Nyawa gak ada yang jual, Man!
Tapi ternyata, mereka yang hasil dari seleksi psikologis yang ketat ini ternyata punya kekaguman sendiri sama para pelaku pengeboman. Soalnya para teroris itu harus melakukan tiga pekerjaan: bikin bom, membawa, dan meledakkan. Bandingin sama polisi yang cuma menjinakkan saja. Kalau di film, kerjaan kayak gini keliatannya nyantai aja (bahkan keliatan cool). Tapi di dunia nyata, butuh mental yang super duper baja. Kalau seandainya saya yang bawa bom, mungkin di tengah jalan, saya bawaannya udah kebelet pup duluan.
Dari ngobrol2 sama sang komandan, saya baru sadar, apa yang kita bayangin soal bom, sebenernya beda sama yang ada di kejadian nyata. Soal kabel contohnya. Enggak ada tuh kabel yang merah, kuning, atau biru kayak di film. Semua kabelnya item. Terus enggak semua bom tunduk sama aturan. Kapan aja dia bisa meledak. Lagi dirakit juga bisa meledak. Atau malah sebaliknya, dia bisa enggak meledak. Bayangin aja kalau gak meledak. Udah misi gagal, eeh malah nanti cuma bonyok digebukin satpam.
Antara penjinak bom dan pembuat bom, sebenernya ada semacam "kontak batin". Karena pelaku pembuat bom bisa diketahui dari hasil karyanya. Setiap bom meninggalkan ciri dari pembuatnya. "Jadi kita bisa tau itu bom buatan siapa dari kelompok mana," begitu kata sang komandan yang menurut saya ketawanya agak aneh ini. Soalnya waktu itu enggak semua bom buatan "pabrik mercon dan bom tjap noordin emang top", tapi ada juga bom buatan kelompok2 lain.
Belakangan dengan adanya tren bom bunuh diri, tentu kerjaan para teroris itu nambah. Mereka gak cuma harus merekrut orang yang bermental baja, tapi juga siap mati. Kalau yang bermental baja, mungkin banyak orang yang masuk kriteria. Tapi kalau siap mati, kandidatnya bakal makin sedikit.
Kandidat bakal makin berkurang lagi, karena katanya, ada tiga "syarat" buat pelaku bom bunuh diri yang biasanya diincer Noordin alias masuk ke seleranya dia untuk dibina, yaitu: miskin, taat beribadah, pendiam. Bayangin aja, gimana susahnya nyari orang dengan kriteria plus plus plus kayak gitu. Pantaslah kalau mereka itu kita katakan orang-orang pilihan. Minimal, pilihannya Noordin.
Anda termasuk?
08 Juli, 2009
Mitologi Yunani: Narcissus Si Brondong Ganteng
Saya tidak bisa membayangkan, kira2 kayak apa tampangnya anak dewa yang namanya Narcissus. Dalam mitologi Yunani dikisahkan, dia begitu ganteng, cakep, keren,cool, … ah pokoknya semuanya deh. Sampai cewek2 pada naksir berat.
Seperti pada umumnya cewek2, kalau ngeliat cowok yang superganteng, mereka cuma bisa sebatas kagum, terus heboh sendirian. Ada juga sih, sebagian kecil yang akhirnya nekat untuk nyoba ngecengin. Harapannya si cowok bakal ngelirik, terus nyamperin.
Tapi khusus kasusnya Si Nar ini, cewek2 nekat itu akhirnya tahu diri. Soalnya yang dikecengin cuma (tak) acuh beibeh. Mau cakep kayak apa, mau montok kayak apa, tetep aja Si Nar pandangannya lempeng. Enggak tergoda.
Tapi rupanya tidak begitu dengan Echo. Saya juga susah membayangkan kayak apa tampang Echo ini, sampai dia begitu pede dan niat banget kepingin ngegebet Si Nar. Malah dia sampai nekat ngikutin ke mana aja Nar pergi. Kelakuannya bener2 kayak cewek kegatelan. Ibu saya di Cinere sana bakalan “marah” banget nih sama cewek kayak beginian.
Menurut salah satu versi, bisa jadi Echo yang sebenernya cantik ini, enggak dilirik sama Nar, gara-gara dia punya cacat. Dia sebenernya enggak bisa ngomong. Bisanya cuma mengulang apa yang dikatakan orang. Aneh gak sih?
Mungkin begini kali ya:
Misalnya, suatu hari Echo mau jajan somay. Terus dia panggil abang somay yang kebetulan lewat di depan gang.
Dengan senyum2, si abang dateng. Markir sepedanya yang butut, buka dandang, terus nanya, “Campur Neng? Pake pare gak?”
Eeeh, tiba-tiba tampang Echo malah jadi kayak kebelet pup gitu. Terus dengan agak terbata-bata dia berbisik ke abangnya, “Pake pare gak, pake pare gak. Gak, gak, gak...”
Abangnya bingung. “Lah iya, ini somaynya, Neng. Mau campur semua, apa cuma somaynya doang?”
Echo jadi resah. Dia sadar kecacatan dia, dan berusaha keras ngomong sejelas-jelasnya. Tapi tetap saja yang keluar dari mulutnya, “Apa somaynya doang, apa somaynya doang. Doang, doang, doang...”
Setiap kali abangnya ngomong, Echo selalu ngikutin kalimat2 akhirnya. Diulang2.
Berkali-kali begitu, terang aja lama2 abangnya kesel. Capek deh. Cakep sih cakep, tapi kalau gokil begini, ya ilfil deh gue, begitu batin si abang. Dan endingnya, si abang somay akhirnya kabur sambil agak2 merinding gitu.
Kasihan. Mungkin si abang juga enggak tahu kalau dia tukang jualan yang ke dua ribu tiga ratus sekian yang kabur dari Echo...
Balik ke Si Nar, ….rupanya kali ini Echo bener2 mau nekat ngejar. Suatu hari dia melihat Nar lagi jalan, Echo langsung nempel. Pokoknya mulai hari ini, ke mana aja Nar pergi, dia terus nempel. Begitu janjinya. Modalnya berani malu aja deh, batin Echo.
Dasar cuek, Nar tidak peduli dikuntit Echo. Sampai suatu kali dia lagi kemping (camping, maksudnya) sama temen2 sekolah, Nar terpisah sama rombongan dan tersesat. Karena bingung dan kecapekan, dia akhirnya cuma duduk aja di pinggir danau.
“Wooy, ada siapa di sini!” Nar mencoba teriak2 cari bantuan.
Tiba2 terdengar jawaban: “Ada siapa di sini, ada siapa di sini…”
Ealah, taunya si Echo muncul dari balik pohon. Sambil senyum2 gak jelas, gitu. Rupanya sedari tadi itu cewek terus ngikutin Nar. Terang aja dia juga ikutan tersesat.
Tapi bedanya, kali itu rupanya Echo sudah 100% nekat. Dia pikir, udah capek ngikutin cowok ganteng ini terus, tapi dianya cuek2 aja. Sekarang kesempatannya gue nembak. Carpe diem! Yang artinya kesempatan (mungkin) enggak datang dua kali. Mumpung sepi. Pinggir danau lagi.
Tiba-tiba aja Echo “menyerang” Nar dan memeluknya. Pelukannya kenceng banget. Terang saja Nar yang tidak siap dan memang lagi enggak hasrat buat peluk-pelukan, jadi rada jijay bajay. Ih, ngapain sih nih cewek?!!! Nar meronta-ronta mencoba melepaskan pelukan Echo.
Karena Nar begitu merinding, gerakannya sangat spontan dan kuat. Akibatnya Echo terpelanting dan jatuh ke tanah. Gedubrak!
Sadar kalau dirinya jatuh, Echo malu bukan main. Mukanya merah. Soalnya baru kali itu dia ngerasain ditolak cowok. Selama ini dia seringnya nolak cowok. Alasannya adaaa aja: kurang cakeplah, kurang tajirlah, kurang jago basketlah, kurang ajarlah, dsb. Dan penolakan kali ini dirasakannya benar2 merupakan peristiwa yang hina dina.
Gue enggak bisa ngebayangin hidup setelah penolakan ini, batin Echo yang udah gak merasa betah dengan status "high quality jomblo" itu. He-he-he, hukum karma kali ya.
Saking malunya Echo lari dan terus lari. Dia masuk ke sebuah gua. Di dalam dia nangis terus dan tidak mau keluar2. Kabarnya dia mati merana di sana. [makanya kalau ada suara yang bergema di gua, disebut suara echo]
Rupanya kejadian penolakan oleh Nar itu dilihat sama Maiden, seorang peri penunggu danau. Maiden marah banget sama kelakuan Nar yang kasar. “Nyateee aja, Men. Jangan kasar sama cewek!” Sebagai hukuman, dia menyihir air kolam menjadi sejernih kaca.
Nar kaget setengah mati melihat air danau begitu bening. Ia lalu melongok dan melihat wajah seorang cowok ganteng di sana (tampang dia sendiri!). Tiba-tiba saja dia merasa jatuh cinta. Idiiih, jijay. Ketahuan deh sebenernya kayak apa seleranya si Nar. Lu lekong apa pewong siiy! Jadi rupanya selama ini dia sukanya sama sesama jenis. Parahnya, Nar sukanya sama diri sendiri! Hiiiy!
“Aku cinta padamu. Aku kagum pada parasmu,” begitu kata Nar berulang-ulang sambil melihat tampangnya.
Nar enggak bias lepas dari cermin air itu. Dia terus memandang dan mengagumi wajahnya. Sampai saking penasarannya, dia akhirnya terpeleset dan jatuh ke danau. Karena tidak bisa berenang, akhirnya dia mati. Mayatnya dibawa arus sungai. Oleh para peri, mayatnya kemudian dirubah menjadi bunga narcissus.
Nah, dari kisahnya narcissus ini muncul istilah narsisisme dalam psikologi. Alias orang yang suka mengagumi diri sendiri dalam kadar berlebihan. Anak2 gaul sekarang juga suka menyingkatnya jadi narsis. Narsis luh!
Sekian.
Demikian semoga membawa manfaat dan diambil hikmahnya. Wassalam.
Catatan:
Saya tulis untuk Note Facebook saya
19 Mei, 2008
Sang Idola
Pemuda itu menangis tersedu. Butir-butir air mata membanjiri wajahnya yang terlihat kuyu. Langkahnya gontai tak bersemangat. "Aku serasa lumpuh kehilangan panutan," bisiknya lirih. Perjalanan jauh ditempuhnya dari rumah hanya untuk menjumpai seseorang yang selama ini dipanggilnya Bapak. Pemimpin, guru, tokoh idolanya itu telah memberi banyak inspirasi dalam kehidupannya selama ini. Kepergiannya untuk menggenapi kekaguman pada panutan hidupnya itu.
Tapi apa yang disaksikannya? Beberapa hari mondok dan berguru, ternyata Bapak tidak seperti yang diharapkan. Kehidupannya sama saja seperti semua manusia lain. Bahkan sebenarnya tak lebih dari manusia biasa yang penuh alpa. Semakin hari, semakin terlihat segala perbuatan yang tidak sesuai ajaran-ajarannya selama ini. Yang membuatnya semakin kecewa, Bapak telah menyelingkuhi Ibu, istri yang sekian lama mendampingi dalam susah dan senang.
Seorang tua dan bijaksana yang ditemui dalam keputusasaannya, mengajaknya memetik hikmah: "Itulah jadinya jika kita mengidolakan �siapa� dan bukan �apa�-nya. Selama dia masih berwujud manusia, hendaknya kita bisa membedakan. Karena semakin kau merasa mengenalnya, maka dia akan semakin jauh dari citra yang sesungguhnya kau buat sendiri dalam pikiran-pikiranmu."
Mungkin kita juga pernah mempunyai perasaan serupa. Kekaguman kita pada pemimpin, guru, senior, sahabat - bahkan mungkin orangtua kita sendiri - yang semula terlihat begitu sempurna, pupus seketika karena sesuatu hal. Namun yang sebenarnya terjadi adalah: cinta kita yang buta tidak memberi ruang sedikitpun kepada sisi kemanusiaan mereka � yang mungkin tidak pernah lebih sempurna dari siapapun.
"Sebentar, anak muda!" Orang tua bijaksana mencekal bahu pemuda itu sebelum melangkah pergi. "Hendaknya peristiwa ini menjadikanmu semakin dewasa. Dan hendaknya, segala hal-hal baik yang orang lihat pada dirimu, sesungguhnya seperti itulah adanya dirimu."
Pemuda tegar itu mengangguk mantap. (Tj)
Dimuat di: Majalah INTISARI
Catatan Penulis:
Tulisan pertama untuk rubrik Renungan di majalah INTISARI ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi mengagumi sejumlah tokoh yang kemudian saya jadikan idola. Namun dalam perjalanannya kemudian, saya selalu menemukan hal2 yang membuat rasa kagum saya runtuh. Tak ada manusia yang sempurna, apalagi yang mengetik naskah ini.
22 November, 2007
Seksi Penari, Tak Seksi-Seksi Amat
Coba perhatikan gambar berikut ini:
Apa yang ada dalam pikiran Anda?
Entah kapan sebenarnya semua ini dimulai. Yang jelas, secara subjektif saya amati, pertunjukan sexy dancer kok belakangan semakin marak saja ya. Bagi mereka kaum kelayapan, tentu sering menemui pertunjukan seperti ini pada acara-acara pesta berkenaan dengan produk seperti otomotif, rokok, majalah pria, handphone, jamu, kondom, sampai buku (ingat kasus peluncuran Jakarta Undercover 2?).
Tarian seksi ini juga menjadi menu penghangat acara-acara pribadi lain seperti pesta ulangtahun, perpisahan sekolah (ee... belum dengar ya?), acara kantor, dst. Pembukaan turnamen futsal dalam rangka tujuhbelasan di kantor saya dua tahun lalu, diselipkan juga acara sejenis ini. Mungkin benang merah dari semua itu adalah keriaan-keriaan di mana di sana akan ada banyak mata lelaki.
Apa ini tanda standar moral kita sudah bergeser? (Halah, tahu apa kamu tentang moral nak!)
Beberapa kali menyaksikan pertunjukan tarian pembangkit hasrat ini, sengaja saya tidak memperhatikan tariannya (sebenarnya sih, cuma karena enggak kebagian tempat saja, karena para pertunjukan semacam ini biasanya semua orang berebut mendekat, hehehe...). Tapi saya mencoba mengamati tingkah polah kerumunan massa penonton. Penilaian saya, banyak di antara mereka yang sepertinya cuma kepingin heboh-hebohan saja. Mereka mungkin cuma ingin menikmati atmosfir erotis yang ingin dibangun para penari. Malah tingkah laku beberapa penonton terlihat over, untuk sebuah tontonan yang sering saya nilai "biasa-biasa" saja.
Yang agak memprihatinkan (bagi saya loh!) sebenarnya penampilan para penari itu juga tidak wah betul. Wajah mereka standar saja tapi dengan make-up yang ampun deh tebalnya, tarian nya tidak terlalu menakjubkan, pakaian juga tidak terbuka-buka amat. Cuma karena sudah kadung diberi judul sexy dancer, fantasi liar penonton akan tersulut.
Dalam sebuah acara syukuran gedung baru di kantor saya (wah, sebenarnya malu nih, kesannya kantor saya cuma mengundang yang beginian melulu) rombongan sexy dancer ditanggap. Wajah, ya seperti kata saya: standar. Cuma pakaiannya memang diusahakan setengah mati hot dan dandanan menor. Sepuluh menit mereka bergoyang-goyang, penonton cukup dibuat heboh dan terhibur. Flash dari kamera-kamera digital berkilatan.
Kehebohan jilid kedua baru berlangsung besoknya. Ketika foto-foto para penari itu diamati betul, beberapa di antara mereka tertangkap menyimpang pisang beberapa senti di bawah pusarnya. Astaga, mereka ternyata bencong waria!
01 Maret, 2007
Lewat Sosok Niman Ke Masa Silam
Hembusan angin kencang malam itu tidak terasa dingin. Sedikit di luar kebiasaan memang, lantaran saat itu Januari. Musim penghujan, kata orang. Tapi setidaknya sudah lebih dari sepuluh hari, tak ada curahan air dari langit. Tidak juga di Desa Limo, Cinere, tempat orangtua saya tinggal, sekaligus tempat saya menghabiskan masa remaja. Padahal biasanya, curah hujan daerah ini lebih tinggi dibanding Jakarta.
Di antara hembusan angin kering dan gelap malam itulah, saya berpapasan dengan Niman. Ia salah seorang tenaga satpam perumahan Griya Cinere, tempat orangtua saya tinggal. Saat itu agaknya ia akan memulai patroli malamnya.
“Bang!” saya menyapa sambil melambaikan tangan. Niman yang saya panggil sebagai Bang, balas melambai, tapi terus berlalu dengan sepedanya. Tidak ada tegur-sapa lebih lanjut atau saling basa-basi menanyakan kabar. Padahal sudah hampir lima tahun kami tidak pernah berbincang-bincang, atau semenjak saya kos di Jakarta Barat.
Tapi memang begitulah Niman yang saya kenal. Orangnya lurus, tanpa basa-basi, dan tegas. Kumisnya baplang walau tubuhnya kecil. Tapi sekaligus penakut dan "lugu", kalau tidak bisa disebut kurang berwawasan.
Bertemu Niman membawa angan saya melayang ke lebih dari lima belas tahun silam. Saat ketika saya dan beberapa teman sebaya sering menghabiskan malam-malam panjang kami di pos kamling, tempat para satpam bermarkas. Dan Niman menjadi salah satu teman setia walau tidak harus selalu berkata-kata.
“Pernah jadi pamsung pemilu ya, Bang,” kami bertanya dengan niat sekadar menggoda Niman. Pamsung singkatan dari pengamanan langsung, sebuah satuan tugas yang dibentuk Lembaga Pemilihan Umum (sekarang Komisi Pemilihan Umum) dalam hal keamanan.
“Pemilu 92,” Niman menjawab tegas dengan nada khas aparat.
“Tugasnya dulu di kabupaten?”
“Bukan.” Mata Niman mendelik. “Di kabupati!”
Tawa kami meledak. Meninggalkan Niman yang cuma bisa menebak-nebak letak kelucuannya, tapi tak kunjung menemukan. Kami sebenarnya sudah sering menggodanya perihal “kabupaten” dan “kabupati” seperti itu, tapi Niman selalu saja terjebak di dalamnya.
“Jadi pamsung tugasnya berat, Bang?” kami mulai iseng lagi.
“Ya jelas. Begadang semaleman. Waspada.”
“Emangnya, njagain apa bang?”
“Kotak suara.”
“Ada isinya?”
“Ya kagak. Kosong. Lah pemilunya baru besoknya.”
Tawa kami kembali meledak.
Ada banyak dialog tidak serius semacam itu antara kami dengan Niman, yang dilakukan cuma dengan niat menggoda atau ketika kami sekadar ingin tertawa.
Bukan hanya dialog. Di saat tertentu, Niman sering jadi korban keisengan kami. Di saat ia tertidur saat harus jaga malam, sepedanya sering kami pindahkan sampai 300 meter jauhnya. Atau ketika sedang berpatroli di kegelapan, kami sering menakut-nakutinya dari balik semak. Niman yang terkenal takut setan, pasti bakal langsung mengayuh sepedanya kencang.
Tanpa berniat berbincang-bincang kembali dengan Niman, ternyata saya bertemu lagi dengannya malam Januari itu di warung rokok dekat pos kamling. Kali itu bukan hanya menyapa, tapi saya juga menjabat tangannya. “Masih betah jadi satpam, Bang?” saya berbasa-basi.
Niman tersenyum. “Mau kerja apa. Bisa kerja udah bagus. Daripada pusing nganggur,” tuturnya sambil menyalakan sebatang rokok yang saya berikan padanya.
“Udah lima belas tahun kali ya.”
“Gitu dah. Lebih kali.”
Saya terdiam, dan mengisi kekosongan dengan mengisap rokok dalam-dalam. Saat itulah, dari bias lampu bohlam di depan warung, dapat saya lihat wajah Niman yang tidak muda lagi. Kumis baplangnya kini sudah mulai tipis dan memutih. Dugaan saya, usianya sudah lebih dari 50 tahun. Tubuhnya juga sudah tidak setegap dulu. Gerakannya melamban.
“Anak-anak masih sering pada nongkrong?” saya bertanya sambil menyebut beberapa nama teman di masa lalu.
“Nggak lah. Udah pada pindah. Jarang nongol.”
“Kayaknya banyak satpam baru, Bang.”
Niman menatap saya. Lama dia terdiam. “Siapa yang baru?”
Disitulah baru saya tersadar, bahwa “baru” yang saya maksudkan sebenarnya sudah berjalan setidaknya lima atau tujuh tahun. Satpam paling baru saja, kata Niman, sudah lima tahun bekerja. Ah, rupanya otak saya masih hidup dalam kenangan masa lalu setelah bertemu Niman.
“Gitu dulu dah, Bang. Ntar kapan ngobrol lagi.” Saya berpamitan dan melangkah pulang.
Niman melambai, lalu melangkah menuju ke posnya untuk menyambut sepinya malam.
Di tengah langkah-langkah kaki pulang ke rumah, sejenak saya renungkan peristiwa yang baru terlewatkan. Tentang sosok Niman yang bertahun-tahun masih setia pada pekerjaannya meski dengan gaji tidak seberapa dan kondisi kesehatan yang hampir melampaui batasnya. Juga tentang hidup yang terasa begitu cepat ketika kita sejenak kembali ke masa silam.
Dibuat untuk tugas Kursus Jurnalisme Sastrawi Angkatan XI