Tampilkan postingan dengan label profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label profil. Tampilkan semua postingan

11 November, 2009

Mengapa Saya Bernama Gempar Soekarno Putra

"Soekarno" dalam nama panjangnya jelas merujuk kepada nama Presiden I Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Lebih dari 50 tahun lalu, saat masih berkuasa, Sang Proklamator jatuh hati dan menikahi ibunda Gempar, Jetje Langelo, di Manado. Namun asal-usul dan "darah biru" yang diwarisinya malah membuat jalan hidup Gempar penuh liku.

Mei 1998, ketika iklim politik Indonesia memanas dan pemerintahan Soeharto memasuki senja, Jetje Langelo (dibaca: Yece) melihat sesosok wajah yang amat dikenalnya di antara para demonstran yang menduduki Gedung DPR/MPR. Charles Christofel, salah satu putranya, terlihat di antara ratusan massa mahasiswa berjaket kuning yang tengah meminta Soeharto turun takhta. Ketika itu Charles adalah mahasiswa Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Indonesia.

Fenomena itu membut Jetje gundah. Putranya itu dipanggil pulang ke Manado. Tapi karena berbagai kesibukan pekerjaan, Charles baru muncul Desember 1999, sekalian merayakan Natal. Charles tidak pernah menyangka, apa yang kemudian terjadi di rumah ternyata mengubah jalan hidupnya. Di dinding rumah Jetje telah terpasang foto-foto ibunya semasa muda yang tampak berdiri akrab dengan seorang pria yang dikenalknya sebagai Ir. Soekarno."Kamu adalah anak Soekarno." Begitu kata-kata Jetje yang terasa bagai petir di telinga Charles. Ibundanya yang dipanggil mami, juga menerangkan bahwa ini sengaja dirahasiakan, lebih dari 40 tahun, tak lain karena amanat Soekarno sendiri yang menginginkan anaknya diamankan, jika sewaktu-waktu kekuasaannya jatuh. Apalagi pada awal-awal pemerintahan Orde Baru, kata Jetje, ada operasi militer yang hendak menumpas sisa-sisa rezim Orde Lama. Ia takut terjadi sesuatu pada dirinya dan Gempar.

Bukan sekadar ucapan, Jetje juga mengeluarkan sejumlah dokumen yang selama ini disembunyikan. Antara lain berupa foto, surat-surat, tongkat komando, keris, serta amanat yang ditulis oleh tangan Soekarno sendiri. Dalam amanat tertulis permintaan agar anak yang lahir pada 13 Januari 1958 itu, kelak pada saatnya ia sudah dewasa berpolitik, dinamai: Muhammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra. "Kutitipkan bangsa dan negara kepadanya!"

Jadi kondektur bemo
Kenyataan ini memang tidak serta merta mengubah hidup Charles yang kemudian menyandang nama baru: Gempar Soekarno Putra. Ia tetap seorang pengusaha yang juga berprofesi sebagai konsultan hukum di Jakarta. Namun ada niatannya untuk lebih mengenal ayah biologis yang tidak pernah diingatnya itu. Langkah awalnya mengunjungi makam Soekarno di Blitar. Lalu dengan penuh kesadaran, di sebuah masjid di kawasan pemakaman raja-raja Jawa, di Imogiri, ia memeluk agama Islam.

Dengan identitas dan legalitas baru, Gempar melanjutkan hidupnya yang saat itu sudah tergolong mapan. Pekerjaan dan karir cerah, materi cukup, serta sudah berkeluarga dengan seorang istri (Jeane Augusta Lengkong) dan seorang putra (Yohanes Yoso Nicodemus). Segala pencapaian ini terus disyukurinya mengingat jalan hidupnya yang penuh onak dan duri.

Pada usia SD, Gempar sudah dititipkan di rumah kakak dari suami pertama Jetje. Meski ikut famili, ternyata ia tidak diperlakukan sebagai anak biasa dan harus bekerja keras hingga mirip seperti pembantu. Perlakuan keluarga itu, menurut Gempar, juga sangat menyakitkan. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia harus berjualan es. Pada usia belasan, ia juga pernah menjadi kondektur bemo. Tapi sekolahnya tidak pernah berhenti, hingga tamat dari SMA Negeri 1 pada 1977 dengan prestasi lima besar.

Beberapa bulan setelah tamat sekolah, Gempar merantau ke Jakarta dan tinggal dengan keluarga pihak ibunya. Namun ia maklum, jika perlakuan keluarga-keluarga itu juga tidak ramah kepadanya. Ia sering diperlakukan kasar sehingga harus terusir dan berpindah-pindah rumah. Bahkan pernah ikut di rumah seorang pedagang buah di daerah Gandaria, Jakarta Selatan.

Hidup Gempar baru benar-benar mapan setelah bekerja sebagai tukang ketik di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan, masih di sekitar daerah Gandaria. Tahun 1985 ia malah bisa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Berbekal dari pekerjaan dan kuliahnya, pekerjaan yang digelutinya kemudian lebih banyak terkait dengan hukum atau di perusahaan biasa disebut bagian legal. Ia juga menjadi konsultan hukum di beberapa perusahaan elektronik seperti Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig, serta beberapa bank. Dari pekerjaan itu perlahan-lahan kehidupannya mulai mapan, setelah memiliki beberapa bidang tanah dan kendaraan di Jakarta.

"Siap, Bung Karno!"
Awalnya Gempar mengenal Soekarno tak lebih sebagai mantan Presiden RI. Ia ingat, sewaktu SMP, pernah nekat membuka sebuah kopor besi yang sengaja disembunyikan ibunya di atas plafon rumah. Tapi selanjutnya isi kopor yang kelak dipakai untuk membuka jati dirinya itu, tidak terlalu dihiraukannya. "Malah ada tongkat komando yang pernah saya pakai untuk menggali-gali tanah," tutur Gempar tentang kenakalannya di masa kecil terhadap benda-benda peninggalan Soekarno itu.

Cerita tentang sang ayah didapat dari Jetje sebelum akhirnya meninggal pada November 2004. Dalam ingatan Jetje, Soekarno mulai mengenalnya ketika berkunjung ke Manado tahun 1953. Sejak itu keduanya menjalin hubungan melalui surat atau telegram, serta sesekali bertemu jika kebetulan Presiden berkunjung ke Manado. Tapi orangtua Jetje tidak merestui niat Soekarno untuk menikahi putri mereka. Maka begitu lulus dari sekolah SGA Roma Katolik Manado, Jetje dinikahkan dengan Leo Nico Christofel, anggota TNI berpangkat Letnan Satu.

Meski sudah dikarunia dua anak, akhir 1955, Jetje dan Leo bercerai. Hubungan dengan Soekarno berlanjut kembali hingga akhirnya keduanya menikah secara Islam tahun 1957 di Manado. Perkawinan itu sempat dipestakan juga di Jakarta, namun Jetje yang dipanggil "Ice" oleh Soekarno, kemudian kembali lagi ke Manado. Baru setelah menjelang kelahiran Gempar, Jetje berniat menyusul suaminya, tapi batal karena ada pemberontakan Permesta. Soekarno baru dapat menggendong anaknya untuk pertama (dan terakhir kali) tahun 1960.

Menurut Gempar, ada beberapa pejabat dekat Soekarno yang mengetahui soal pernikahan ini. Seperti Mayor Sugandi (ajudan Presiden), Henk Ngantung (Gubernur Jakarta), Ibnu Sutowo (kemudian menjadi Dirut Pertamina), atau Ali Sadikin. Dalam ingatannya, ia pernah beberapa kali menemani ibunya menemui beberapa pejabat itu di Jakarta. Belakangan setelah jati dirinya di buka, Gempar juga sempat bertemu Ali Sadikin. "Pak Ali masih ingat dan menanyakan kabar ibu saya," katanya.

Ketika Soekarno masih berkuasa, Jetje sempat menikmati kehidupan yang layak dengan diberi rumah di Jln. Tikala, sebuah kawasan elit khusus pejabat di Manado. Gempar di usia balita juga mendapat kiriman mainan yang bagus dan mahal dari Jakarta. "Waktu sekolah saya juga sering dibilang teman, 'Siap Bung Karno', karena katanya mirip Bung Karno kalau memakai peci," kata Gempar yang awalnya menganggap itu sebagai sekadar olok-olok, tapi belakangan diterimanya sebagai semacam petunjuk bahwa dirinya anak Soekarno.

Diminta tes DNA
Keberadaan "satu lagi anak Soekarno" ini terkuak ke publik setelah majalah Kartini memuat serial kehidupan Gempar, pada terbitan awal tahun 2000. Tulisan bersambung berbentuk features itu memuat kisah kehidupan Gempar di masa lalu, terutama menekankan masa-masa penderitaannya. Sepintas terbaca seperti dongeng. Namun kepada Intisari, Gempar tegas menyatakan kisah itu sejati. Tidak ada yang dibuat-buat atau ditambah-tambahi.

Justru pihak keluarga, terutama putranya yang saat itu masih usia anak-anak, sempat keberatan pada kisah-kisah pilu yang diekspos. Karena itu Gempar merasa perlu memberi pengertian bahwa kisah masa lalu tidak perlu ditutup-tutupi. Justru kalau direkayasa, harusnya merasa malu. Baru kemudian putranya bisa mengerti dan justru merasa bangga pada kegigihan ayahnya menjalani hidup.

Ramainya publikasi media rupanya mengusik keluarga besar Soekarno. Berdasarkan cerita Gempar, tahun 2003, ia dihubungi pengacara dari Guruh Soekarno Putra untuk menjajaki kemungkinan tes DNA. Ia tidak menolak, tapi mengajukan syarat: tes bukan atas permintaan dirinya, dilakukan secara terbuka, dan sampel darah yang diambil harus dikawal oleh tim kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Permintaan itu tidak ada kabarnya sampai sekarang. Gempar menduga, lantaran dalam uji DNA, tim dokter harus mengambil sampel darah pembanding. Artinya sampel darah anak-anak Soekarno lain harus juga ikut diambil. Tentu bisa dibayangkan sulitnya mengumpulkan orang-orang yang sebagian besar merupakan tokoh-tokoh politik nasional.

Namun kalau pun itu suatu kali harus terjadi, Gempar akan bersikukuh dengan syarat yang diajukannya. "Biar jelas kalau bukan saya yang mencari popularitas. Kalau pun hasilnya benar, ya alhamdulillah. Kalau tidak, berarti ibu saya pembohong," tuturnya tanpa merasa sedikit pun memiliki beban.

Saat ini Gempar bersyukur terhadap satu warisan yakni kemiripan fisik, terutama wajah. Apalagi kalau ia memakai peci, yang kini jadi seragam wajibnya saat hadir di acara-acara resmi. Dalam acara kampanye menjelang Pemilu, ia malah sengaja memakai baju mirip baju kebesaran Soekarno, komplit dengan kacamata hitam model jadul.

Wajah mirip, ditambah publikasi media, menjadikan Gempar seperti selebritis. Efek positifnya, banyak orang merasa segan. Misalnya ketika Gempar berhubungan dengan birokrasi, orang akan menolak pemberian amplop sekadar sebagai tanda terima kasih. "Katanya mereka merasa tidak enak menerima uang dari anak Proklamator," tutur Gempar menirukan orang-orang itu.

Satrio piningit?
Dalam kopor besi yang disimpan Jetje, sebenarnya Soekarno juga mewarisi Gempar tongkat komando dan dua bilah keris. Namun atas saran seorang kiai, sebilah keris dibuangnya ke sungai. Sebuah tindakan yang ternyata kini disesalinya, karena menurutnya menyimpan keris bukan berarti menyembahnya. Sedangkan tongkat komando sudah diberikan kepada kelompok spiritual. "Saya jadi proaktif, suaranya juga jadi keras, kalau memegang tongkat itu," katanya terus terang.

Amanat sang ayahlah yang akhirnya membuat Gempar kemudian turut aktif berpolitik. Semua diawalinya dari langkah kecil yakni di Partai Nasional Indonesia Bersatu, lalu Partai Pemersatu Nasionalis Indonesia, kemudian Partai Nasional Indonesia Massa Marhaen, dan kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Barisan Nasional (Barnas). Dalam Pemilu 2009 lalu, Barnas hanya menempati urutan 16 besar. Gempar yang calon legislator di urutan 1 daerah pemilihan Jawa Timur VIII juga gagal jadi anggota DPR.

Ia pernah disebut-sebut sebagai satrio piningit, suatu mitos calon pemimpin masa depan dalam ramalan Jayabaya, tapi Gempar mengaku setidaknya saat ini belum berambisi menjadi presiden. Ketika Pemilu 2004, sikapnya sempat disalahartikan para wartawan, hingga ditulis di media siap menjadi calon presiden. Fotonya juga dijejerkan dengan anak-anak Soekarno lain yang mencalonkan diri.

"Waktu itu saya ditanya wartawan, saya jawab, 'Insya Allah'," katanya menjelaskan peristiwa itu. Padahal berniat saja belum. Walau cuma kesalahpaman, tapi menurutnya berita itu sempat kubu salah satu kakaknya yang mencalonkan diri, menjadi meradang.

Tentang mitos satrio piningit, Gempar mencoba menyikapinya secara lebih bijaksana. Satrio piningit menurutnya adalah bentuk kepemimpinan yang mampu mendatangkan pembaruan dan kemakmuran kepada rakyat. Bisa saja mulai dari Hayam Wuruk, Amangkurat I, Soekarno, termasuk Soeharto. "Kalau saya disebut begitu, 'amin' sajalah. Kan tidak rugi disebut satrio piningit." Kata Gempar santai.

Soekarno Minta Disuapi
Dalam ingatan Jetje Langelo, seperti diceritakan Gempar Soekarno Putra, Soekarno merupakan pribadi yang menarik, kharismatis, dan berwibawa. Pembawaan itu yang membuat Jetje takluk pada kemauan Sang Proklamator untuk mengawininya, meski sebenarnya Soekarno telah memiliki Ibu Negara, Fatmawati. Jetje yang berdarah Minahasa, penganut Kristen taat pula, akhirnya mau menikah dengan cara Islam.

Namun di balik sosok salah satu pemimpin yang amat disegani di dunia itu, Soekarno ternyata amat romantis dan manja. Jika berkunjung ke Manado dan menemui istrinya, ia selalu minta untuk dilayani sepenuhnya. Di kamar yang selalu berbau wangi bunga melati, tidak seorang pun boleh masuk. Saat mandi, hanya Jetje yang boleh menyiapkan bak mandi, menggosok dan mengelap dengan handuk.

Begitu pula saat acara makan. Saat berdua saja dengan istrinya, Soekarno selalu minta agar istrinya mencoba dulu makanan dan minuman yang akan dimakannya. Bahkan pernah suatu kali, karena Soekarno sibuk membaca, Jetje diminta untuk menyuapinya. Persis seperti anak kecil yang manja, begitu menurut penuturan Gempar.

Dimuat di: Majalah INTISARI, November 2009
Foto: Sabar Basuki/INTISARI

Lagi dong, Boss...

05 Agustus, 2009

Berburu Satwa Bersenjatakan Kamera

Memotret orang? Ah, itu sih biasa. Memotret hewan atau tumbuhan, baru terasa sulit. Apalagi memotret langsung di habitatnya, di alam bebas. Riza Marlon, juru foto alam bebas (nature photographer) punya banyak pengalaman tentang pekerjaan yang hanya digeluti segelintir orang ini.

Apa sulitnya memotret orangutan atau cendrawasih? Tinggal siapkan kamera, ambil posisi yang pas, bidik, lalu tekan tombol pembuka rana. Jepret! Dengan sedikit saja pengetahuan tentang fotografi, pasti akan didapat foto berkualitas lumayan.

Tapi sebentar! Itu tadi kalau kita memotret di kebun binatang atau taman safari. Memotret di alam bebas, bisa lain ceritanya.

Di hutan belantara sana, kemampuan teknik fotografi cuma jadi satu riak dari gelombang pengetahuan tentang perilaku hewan, kondisi alam, jaringan informasi, manajemen waktu dan peralatan, sampai kesiapan fisik yang prima. Memotret satwa atau tumbuhan tertentu, tak ubahnya seperti berburu, namun tanpa membunuh sasaran.

Dibandingkan dengan hasil potret binatang "rumahan" tadi, hasilnya tentu berbeda. Memang, orang awam biasanya agak susah melihat perbedaannya. Namun bagi mata yang telah terbiasa, ekspresi mimik hewan "jinak" lain dengan saudara-saudaranya di alam bebas. "Terasa lebih alami," jelas Caca, panggilan akrab Riza Marlon. "Bagi kita (sebagai pencinta alam) juga ada rasa eksotisme sendiri kalau bisa melihat sosoknya secara langsung."

Demi mengejar ekspresi alami itulah, Caca menekuni dunianya setapak demi setapak, dimulai awal tahun 1990-an. Apalagi lulusan Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta ini menyadari kurangnya dokumentasi tentang flora dan fauna di Indonesia, bahkan yang masuk kategori dilindungi sekali pun. Jika ada, buku-buku jenis itu diterbitkan penerbit asing.

Kebetulan semasa di kampus, pria berambut panjang ini sering terlibat dalam proyek penelitian bersama rekan-rekan satu fakultas dan membuat dokumentasi fotonya. Perjalanan hidup Caca yang sempat menjadi pemandu wisata alam juga semakin memantapkan minatnya. Dengan modal peralatan pinjaman dari sana-sini, ia memulai dengan membuat stok foto tentang alam. Hasilnya dikirim ke media massa atau dibuat barang-barang cetakan seperti kalender dan kartu pos. "Waktu itu (foto-fotonya) malah enggak pernah lolos di Intisari yang cover-nya pemandangan alam," katanya tergelak, mengenang masa 15 tahun silam.

Cenderawasih bernyanyi
Di tengah kelembaban hutan, diiringi nyanyian sekawanan burung dan sinar Matahari yang menerobos pepohonan, di sanalah Caca banyak menghabiskan hari-harinya. Pagi hari, di saat hewan belum lagi menggeliat dari tidur, tak jarang ia sudah harus masuk ke dalam bilik pengintaian. Ini bilik kamuflase yang terbuat dari dedaunan yang dijalin rapat untuk mencegah bau tubuhnya tercium mamalia atau geraknya tertangkap mata hewan predator.

Di sini kesabaran benar-benar ditempa, hanya sekadar untuk menunggu datangnya sang model yang diburu. Berjam-jam waktu terlewatkan atau bahkan bisa seharian tanpa hasil, bukanlah mustahil. Tak heran jika Caca berpendapat, aset terbesar seorang fotografer alam bebas adalah informasi yang akurat dari masyarakat soal keberadaan hewan-hewan tertentu. Informasi bisa didapat dari penduduk, pencinta alam, atau LSM lingkungan setempat. Dengan merekalah Caca membina jaringan di seluruh daerah di Indonesia.

Tentu bukan sekadar informasi. Tak kalah penting adalah lokasi yang memungkinkan untuk pengambilan gambar, terutama menyangkut pencahayaan. "Inilah kesulitan memotret di hutan tropis yang rapat. Di taman safari seperti di Afrika atau pegunungan Amerika mungkin malah lebih gampang," terang pria penggemar ular ini.

Tak jarang untuk mencapai lokasi semacam itu dituntut pengorbanan besar. Seperti yang dilakukannya tahun lalu, saat memburu cenderawasih bulu enam (Parotia sexpennis) di Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Papua. Caca harus berjalan kaki 16 jam menaiki pegunungan, plus dua jam menuju habitat burung asli Papua itu. Bisa terbayangkan tenaga yang dibutuhkan. Apalagi total peralatan yang dibawa tak kurang dari 30 kg!

Senangnya, hasil yang didapat boleh dibilang sepadan. Fenomena yang terlihat benar-benar menakjubkan. Pagi hari sebelum pukul 06.00, cenderawasih jantan sudah tampak menyiapkan tempatnya beratraksi. Ia mulai membersihkan dedaunan yang mengalangi sinar Matahari. Kemudian bak bintang panggung, ia bernyanyi dan menari untuk memamerkan keindahan tubuhnya. Dua sampai enam betina yang naksir segera menghampiri. Sang jantan pun leluasa memilih yang tercantik sebagai calon istri. Menyaksikan semua itu, rasa lelah seharian seperti lunas terbayar.

Mengingat masing-masing hewan punya keunikan, akan lebih baik bila juru foto alam bebas mengetahui perilaku satwa yang hendak difoto sebelum perburuan dilakukan. Pengetahuan semacam inilah yang membantu Caca saat memburu elang jawa (Spizaetus bartelsi) di Sukamantri, Sukabumi, Jawa Barat. Meski jumlah elang masih relatif banyak, ia hanya punya kesempatan memotret saat induk elang memberi makan anaknya. Sebuah kemungkinan yang bisa jadi hanya sekali dalam sehari.

Beruntung, saat itu Caca menemukan keluarga elang dengan dua anak yang masih kecil-kecil, sehingga induknya akan lebih sering datang. Namun, sebagai hewan predator, elang sangat waspada terhadap sekelilingnya. Gerakan kecil dari ujung lensa kamera selebar beberapa sentimeter saja dapat dilihatnya. Kesempatan yang tipis itu harus dimanfaatkan dengan cermat.

Kali lain, Caca membutuhkan ketekunan luar biasa saat memburu primata. Di habitat aslinya, hewan itu dikenal sangat sensitif terhadap keberadaan manusia dan selalu berpindah tempat. Saat memotret monyet sulawesi (Macaca maura) di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara, misalnya, ia memburunya bersama sebuah tim peneliti. Dengan koordinasi lewat radio komunikasi, segera bisa didapat lokasi yang tepat.

Ketika memburu orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, Caca juga menggunakan cara serupa. Namun, ia harus waspada karena orangutan akan melawan dengan melempar batang dan ranting kayu jika merasa terusik oleh kehadiran manusia. "Sulit sekali, karena kita juga tidak bisa terlalu jauh dari jalur jalan setapak di hutan. Masuk terlalu dalam berarti ada risiko kena hewan berbisa," jelas ayah dua anak ini.

Kualitas karya Caca antara lain juga dapat dilihat pada foto julang sulawesi ekor putih (Penelopides exarhatus) berlokasi di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto yang diambil dengan teknik mengikuti objek bergerak (panning) diambil dari sebuah menara pengamatan pada ketinggian 30 m. Pada ketinggian seperti itu seorang juru foto harus tetap tenang meski angin selalu menggoyang menara.

Kesempatan langka
Berdasar pengalaman Caca - yang biasa memakai Nikon DS 100 sebagai senjata andalan untuk berburu ini - faktor kesempatan memang menjadi sangat mahal dalam dunia fotografi alam bebas. Ia selalu belajar untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan pertama saat bertemu buruannya, tapi juga harus mampu menahan emosi untuk tidak membuang-buang frame. Sebuah perhitungan yang hanya bisa diasah lewat "jam terbang".

"Mungkin pencahayaan saat itu sangat buruk, tapi sebuah momen mungkin tidak akan pernah terulang. Di sini manajemen waktu benar-benar harus diatur sebaik-baiknya," jelas juru foto yang merasa cukup membawa 100 rol film setiap kali perjalanan selama satu bulan ini.

Wajar jika Caca kemudian berpendapat, nilai fotografi alam bebas ditentukan pula tingkat kesulitannya, yang bahkan mengalahkan faktor teknis fotografi itu sendiri. Foto seekor badak jawa (Rhinocerus sondaicus) berkubang lumpur, misalnya, mungkin tidak terlihat "cantik" di mata awam. Tapi untuk dapat bertemu langsung dengan badak jawa di habitat aslinya, sungguh merupakan kesempatan langka!

Berkat kegigihannya, foto-foto satwa berkredit foto Riza Marlon kini bertebaran di beberapa media informasi terbitan lembaga-lembaga internasional seperti World Wildlife Fund (WWF), Wildlife Conservation Society (WCS), atau UNESCO. Beberapa kali ia juga diminta menjadi pemandu untuk pembuatan film dokumenter televisi asing. Sebuah lahan bisnis yang diakuinya cukup menjanjikan, jika tidak tersedak krisis ekonomi yang melanda negeri ini.

Pria kelahiran Jakarta ini mengakui, hal tersulit adalah memasarkan karya-karyanya. Sejauh ini ia mengandalkan permintaan dari lembaga-lembaga yang berkepentingan terhadap kelestarian alam. Sementara ruang untuk foto-foto alam di media-media cetak di Indonesia semakin terbatas. Padahal, ia belum menggunakan jasa agen untuk pemasaran. "Cuma karena masalah kepercayaan saja," alasannya.

Kini keinginan terbesarnya adalah menerbitkan sebuah buku tentang satwa Indonesia. Berulang kali ia sering mengajak sejumlah ilmuwan untuk mewujudkannya, meski realisasinya masih jauh dari harapan. Padahal, untuk idealismenya ini Caca mengaku siap mengesampingkan masalah finansial seperti harga fotonya. "Buku itu sifatnya jangka panjang dan mempunyai nilai ilmiah," kata Caca yang memiliki arsip sekitar 12.000 frame.

Sedangkan di dunia fotografi, Caca merindukan munculnya juru foto yang mau menekuni bidang ini. Karena sampai saat ini, ia belum mendengar satu saja nama yang mengikuti jejaknya.
"Partner penting bagi saya untuk terus meningkatkan karya. Karena sebenarnya ini sebuah proses panjang dan berjenjang. Ibaratnya seperti sekolah dari SD sampai kuliah," katanya.
Dalam perjalanan panjang itulah Caca beruntung menjadi salah satu saksi masih indahnya alam Indonesia. Entah sampai kapan.


Raja Udang di Atas Banteng

Bukan karena gaptek (gagap teknologi) jika Caca tidak mau beralih sepenuhnya pada teknologi kamera digital. Alasannya, film analog masih tetap unggul untuk keperluan pencetakan, terutama jika dilakukan perbesaran. Alasan lain, ia tidak mau kerepotan membawa-bawa baterai charger karena di daerah belum tentu ada listrik. "Bawa kamera digital (paling) buat cadangan atau buat laporan sementara ke klien," jelasnya.

Meski banyak memakai film positif (slide), Caca mengaku berhati-hati saat mengolah foto karya-karyanya secara digital di komputer. Sebatas mengoreksi pencahayaan dan sejenisnya, oke-oke saja. Namun, kalau sudah memanipulasi foto, akan sangat mungkin tergelincir lebih jauh, yang akan merugikan reputasinya.

Caca berkisah, ia sempat terperangah saat menjadi juri di suatu lomba foto satwa. Lomba-lomba di era digital seperti sekarang ini memang memberi keleluasaan pada foto untuk diolah. Namun di mata Caca, hasilnya malah banyak melahirkan kejanggalan, bahkan penipuan. Salah satunya ia menangkap foto seekor burung raja udang yang bertengger di tanduk seekor banteng!

Meski sekilas tidak tampak, karena penggarapannya sangat halus, ia yakin foto yang menarik itu merupakan hasil rekayasa komputer. Tidak mungkin burung raja udang yang hidupnya di tengah hutan bermain-main dengan banteng di sebuah taman safari. "Kejadian kayak begini bisa membuat orang tidak percaya kepada nature photography," katanya prihatin.


Dimuat di: Majalah INTISARI, April 2004


Lagi dong, Boss...

16 Mei, 2009

Panji Sang Penakluk, Titisan Dewi Ular

Di tangannya segala jenis ular ganas dan berbisa menjadi tidak berdaya. Tapi ular-ular itu ditangkap bukan untuk disakiti, melainkan dijadikan sahabat dan tinggal bersama di dalam rumah. Kalau digigit, itu mah biasa. Dari mana pula bocah 15 tahun ini mendapatkan ilmunya?

Ular sepanjang 1,5 m itu mendesis keras. Kepala dan sepertiga badannya kemudian diangkat naik dengan mulut yang terbuka. Tubuhnya meliuk-liuk liar, menandakan siap menyerang siapa pun yang berani mengusiknya. Awas!

Siapa pun orangnya, dijamin bakal langsung bergidik melihat ular jenis sanca (Phyton molurus) yang sedang marah seperti itu. Walau tidak berbisa, lilitan dan patukannya yang cepat, bisa berakibat fatal.

Rumus itu rupanya tak berlaku bagi Muhamad Panji. Dengan gerakan tubuh yang lincah namun tetap waspada, ia mencoba menjinakkan si sanca.

"Kalau menghadapi ular marah, usahakan menarik perhatiannya biar dia lelah," bisik Panji tentang strategi yang dia gunakan untuk menangkap ular. "Kalau sudah lelah, diketok-ketok kepalanya juga akan diam aja."

Benar saja. Lima menit bercanda bersama Panji, sanca mulai kelihatan loyo. Dengan gerakan tangkas, Panji lalu meraih kepala disusul ekornya. Dan ular besar itu cuma bisa pasrah saat dimasukkan ke dalam karung putih, bekas wadah tepung terigu yang telah disiapkan.

"Sanca yang ini memang masih galak," tutur Panji memperkenalkan ular peliharaannya yang baru ditangkap dua bulan sebelumnya, tak jauh dari rumahnya di daerah Tanjung Garut, Purwakarta, Jawa Barat.

Paling-paling mual
Orang yang tidak mengenal Panji bisa-bisa akan menganggap murid kelas 3 SMPN 2 Cempaka, Purwakarta, ini sedang mengobral nyawa. Padahal, menangkap ular sebenarnya sudah dilakukannya sejak usia dua tahun. Sejak balita, ia memelihara binatang melata itu seperti orang lain memelihara kucing, anjing, atau burung perkutut.

Dari orangtuanya, Panji sering mendengar kisah tentang kesukaan dirinya bermain bersama ular-ular liar yang dia sebut "sahabat-sahabatnya" itu. Salah satu kisahnya, ketika usianya baru dua tahun, ia sudah kedapatan menangkap dan bermain-main dengan seekor ular pucuk (Dryophis prasinus), atau kadang disebut juga ular daun. Saat itu keluarga Panji bertempat tinggal di Kuala Kapuas, Kalimantan Timur, yang berhutan lebat.

Walau sebenarnya ular pucuk masuk kategori tidak berbahaya, tapi orangtuanya kaget bukan main. Yana, ayahnya, langsung merebut dan membuang hewan melata itu. Tapi Panji yang masih balita itu malah menangis habis-habisan. "Baru diam setelah dicarikan ular lagi," tutur Panji yang sempat berpindah ke Aceh bersama keluarga, sebelum menetap di Purwakarta, Jawa Barat.

Sejak itulah Panji selalu bermain dengan sahabat-sahabatnya yang selalu ditemui di sekitar lingkungan rumahnya. Ular-ular itu dipelihara di rumah, diajak bermain, dan diberi makan. Kalau bosan tinggal dilepas lagi di tempat asalnya.

Pernah digigit? "Sering banget," jawabnya. Ia mengaku pernah digigit semua jenis ular ganas yang ada di Jawa dan Sumatera, kecuali ular laut. Tapi berkat kemampuan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa, ia tidak pernah merasakan efek yang hebat. "Paling mual. Kalau pusing, minum obat sakit kepala."

Kedekatan dengan binatang buas dan mematikan itu membuat Panji cukup disegani di lingkungan rumahnya. Sebenarnya, ia tidak bermaksud menjadi jagoan ular. Cuma, banyak orang yang langsung ciut nyalinya melihat Panji dengan enaknya menenteng-nenteng ular berbisa.

Ular-ular sahabatnya itu sesekali dia bawa ke sekolah. Tak pelak hewan melata itu pun jadi mainan dan tontonan teman-temannya. Kalau sudah begitu, suasana pun heboh dan membuat kelas jadi terganggu. Panji mengaku, ia justru senang karena itu berarti ia tidak perlu belajar. Wah, dasar anak-anak!

Suatu kali, gurunya pernah mengadakan razia tas mendadak. Panji yang kebetulan sedang membawa seekor sahabatnya benar-benar dalam situasi sulit. Ia akhirnya cuma bisa pasrah. "Buka aja tasnya, Bu," Panji mempersilakan gurunya. Keruan saja si Ibu guru itu pun lari sambil meloncat-loncat karena menemukan seekor kobra di dalam tas sekolah Panji!

Kabar tentang kemampuan Panji itu menyebar di lingkungan sekitar rumahnya. Suatu kali ada seorang tukang ojek yang menantang, "Panji, mana ularnya? Gue nggak takut. 'Ntar gue bacok!"
Tantangan itu mungkin cuma sekadar canda, tapi Panji meladeninya lalu bergegas menjemput sahabatnya di rumah. Kontan kerumunan tukang ojek yang mangkal langsung bubar ketika Panji melemparkan kobra sepanjang 1,5 m di tengah-tengah mereka. Akibatnya, beberapa sepeda motor sampai roboh.

Mitos ular jadi-jadian
Bukan cuma sekadar bermain. Lama-kelamaan Panji juga tertarik mendalami seluk beluk ular dan reptil lainnya. Ia pernah beberapa kali bertanya kepada para peneliti ular yang akhirnya menyarankannya untuk membaca buku-buku tentang ular. Walau beberapa bacaan berbahasa Inggris, ia tetap serius mempelajari nama-nama Latin ular, kehidupan, predator, serta mangsanya.

Segenap ilmu tentang ular ternyata berguna ketika Panji kemudian diminta stasiun televisi Lativi untuk membawakan acara "Panji Sang Penakluk". Acara itu menggambarkan tentang sosok Panji yang bertualang ke beberapa daerah untuk mencari reptil di alam. Sesekali sang pembawa acara menerangkan sedikit latar belakang hewan-hewan itu.

Panji menolak jika ada anggapan kalau ular-ular dalam acaranya itu sengaja disiapkan lebih dulu untuk memberi kesan selalu beruntung bertemu ular. Menurut Panji, ular sebenarnya terdapat di mana-mana, apalagi di alam bebas. "Cuma, begitu merasakan kedatangan manusia, mereka kabur." Nah, dengan instingnya Panji mencari tempat-tempat persembunyian ular-ular itu.

Dengan insting itu pula, ia menangkap ular-ular liar untuk dijadikan peliharaan. Awalnya, tentu saja ular akan bersikap galak, bahkan menyerang. Ular kobra malah akan mengejar orang yang menyakitinya, sampai ke atas pohon sekalipun, dan baru melepaskan si penyerang setelah mematuk.

Untuk bisa menangkap ular, Panji selalu memperhatikan karakternya. Karena itu cara yang digunakan untuk menangkap berbeda-beda, tergantung jenis ular dan juga situasinya. Salah satu cara Panji menangkap ular seperti yang dia contohkan di awal tulisan ini. Biasanya, dalam beberapa menit saja, ular akan bisa ditaklukkan.

Saat menangkap, Panji menggunakan teknik ilmiah dan bisa dipelajari setiap orang. Beda dengan teknik pawang ular yang mungkin menggunakan mantera-mantera tertentu sehingga ular jadi lemas. Tapi, demi keselamatan, ia mengombinasikan teknik itu dengan "bakat alam"-nya sendiri. Sampai sekarang Panji tidak pernah berguru kepada siapa pun, dan belum menularkan kemampuannya kepada siapa pun.

Ular hasil tangkapannya akan dia pelihara seperti lazimnya binatang peliharaan lain. Dimandikan pakai sampo, makanannya anak ayam negeri atau tikus putih. Ular berukuran panjang 2 m biasanya menghabiskan dua ekor ayam setiap minggu. Kalau sudah bosan, ular dilepas lagi di sekitar lingkungan rumahnya, kawasan pedesaan yang masih alami.

Karena seringnya berhubungan dengan ular, Panji juga sering mendengar perihal mitos di seputar dunianya. Beberapa mitos kemungkinan hanya sekadar dongeng, tapi ada juga yang sempat dialaminya sendiri. Misalnya, beberapa kali Panji menangkap ular jadi-jadian alias dari alam gaib. Biasanya, ular gaib seperti itu akan hilang sendiri dalam beberapa hari walau sudah dimasukkan ke dalam peti yang tertutup rapat.

Sering kali ular jadi-jadian itu minta dilepaskan lewat mimpi. Sosoknya bisa berwujud perempuan cantik, orangtua berambut putih, atau manusia bertanduk. Bicaranya, atau marah-marahnya, menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, atau Sunda, yang intinya minta dilepaskan. Biasanya makhluk gaib seperti itu menyamar dalam bentuk ular kobra atau welang. "Bedanya, kalau jadi kobra, matanya agak putih, tidak hitam kayak biasanya."

Walau ular sudah dipelihara dan dikenal baik, Panji tetap berhati-hati. Sewaktu kelas 4 SD, ia pernah bermain-main dengan king kobra berumur dua tahun dan panjangnya 2,5 m (panjang maksimalnya 7 m).

Karena sedikit sombong di hadapan teman-temanya, ia tidak sadar si kobra merayap di belakang dan tiba-tiba mematuknya di bagian betis. "Lumayan, betis robek," kata Panji sambil memperlihatkan bekas gigitan yang menyisakan warna biru kehitaman akibat racun bisanya.

Karena sudah terbiasa, Panji tidak panik saat digigit ular. Kalau gigitannya di telapak tangan, ia akan segera memperlebar lukanya pakai silet, lalu mengikat lengannya pakai tali. Lalu darah dikeluarkan dengan cara dipijit-pijit. Darah yang terkena racun biasanya berwarna kebiruan. Bedanya, kalau orang lain bisa langsung semaput sehabis digigit karena panik, Panji bisa mengerjakan semua itu dengan tenang.

Panji menganggap gigitan itu reaksi biasa dari ular yang terusik. Tidak harus disakiti atau malah dibunuh. Cukup diusir saja. Panji mengaku tidak suka terhadap orang yang sering mengonsumsi ular, entah darahnya, empedu, atau dagingnya.

Pernah ia menegur seorang penjual ular sanca yang termasuk hewan dilindungi. Tapi pedagang itu rupanya tidak senang dan berkilah hanya sekadar cari makan. "Jawabannya begitu sih, saya jadi malas ngomongnya."

Coba menangkap buaya
Kesukaannya kepada reptil satu ini membuat Panji penasaran juga pada buaya. Kelas 6 SD, ia pernah mencoba menangkap buaya di sebuah penangkaran milik temannya di Sukamandi, Jawa Barat.

"Nekat ya, itu kan buaya muara," kata temannya berusaha mencegah. Buaya muara (Crocodylus porosus) memang salah satu buaya terganas di dunia.

Panji tak peduli. Ia terjun ke kolam yang berisi tiga ekor buaya muara. "Kalau untung ya menang, kalau enggak, paling kaki buntung," begitu prinsip kenekatannya kala itu.

Kolam itu kebetulan berair keruh. Tubuh buaya itu diperiksanya dengan kaki. Setelah dapat dirasakannya, Panji mulai menangkap. Buaya meronta sambil berputar, tapi Panji sigap melemparkannya ke darat. Mulut buaya itu menganga pertanda siap menyerang. Dengan bantuan tali dan tongkat, Panji mencoba mengincar mulutnya yang kemudian berhasil diikat. Lalu menyusul, semua kaki diikat. Beres sudah.

Teknik menangkap buaya itu kemudian disempurnakan setelah menonton tayangan Steve Irwin di televisi. Steve adalah pembawa acara petualangan asal Australia yang akhirnya meninggal terkena sabetan ikan pari pada tahun 2006. Panji begitu mengidolakannya.

"Orang melihat (acara) Steve, yang asyik-asyiknya aja. Kalau saya belajar tentang teori menangkapnya," aku Panji yang kemudian mempraktikkan saat menangkap buaya liar sewaktu syuting di Jambi.

Panji yang terlihat lebih cerdas dari anak seusianya ini bercita-cita suatu saat akan membuat suatu lembaga penelitian tentang ular. Antara lain ia ingin membuat buku tentang ratusan spesies ular di Indonesia, bagian dari sekitar 2.700 spesies ular di dunia.
Mungkin ular-ular akan mendesis senang jika mendengar cita-cita Panji.

Dewi Ular Membayar Janji
Ny. Lina, ibunda Panji, berkisah: kemampuan yang didapat anaknya sesungguhnya berawal dari mimpi yang dialaminya saat Panji masih berusia dua bulan dalam kandungan. Dalam mimpi itu Ny. Lina bertemu Dewi Ular, bersosok ular besar berkepala perempuan cantik. "Anakmu nanti bakal bawa rezeki, tapi jangan kaget ya," kata Lina menirukan pesan Dewi Ular pada 1992 itu.

Awalnya, Ny. Lina hanya bisa termenung memikirkan arti pesan itu. Sampai akhirnya ia mengerti setelah menyaksikan sendiri keganjilan demi keganjilan perilaku putranya semasa kecil. Sejak disapih sampai sekitar kelas 6 SD, Panji tidak doyan nasi. Makannya sehari-hari cuma telur ayam kampung mentah dan daun-daunan.

Kalau diberi telur, berapa pun jumlahnya, Panji akan melahap sampai habis. Kadang daun sayuran mentah yang ada di kebun ikut dilahap. Panji juga sangat senang daging ayam atau sapi, tapi yang sudah dimasak. Anehnya, sebanyak apa pun daging dimakan, "Perutnya tetap kempis," tutur Ny. Lina. Panji juga terbiasa makan langsung dari piring, tanpa memakai tangan atau sendok.

Ny. Lina dan Yana (ayah Panji) yang menikah pada 1991 mengaku sempat merasa sedih melihat keadaan anak semata wayangnya itu. Apalagi banyak kerabat dan tetangganya yang membicarakan keganjilan Panji. Para tetangga juga takut kalau harus bertamu ke rumah mereka.

Sejak dikontrak Lativi untuk membawakan acara "Panji Sang Penakluk", rupanya "janji" Dewi Ular perlahan-lahan mulai terlihat. Kehidupan ekonomi keluarga kecil bahagia ini semakin terangkat. Panji membeli motor dan merenovasi rumah orangtuanya dari hasil keringatnya sendiri.

Kini Panji bakal mempunyai adik, karena ibunya sedang hamil dua bulan. Belum ada firasat mimpi apa-apa dari dewi atau dewa mana pun. "Udah, biar Panji aja yang kayak gitu," kata perempuan keturunan Betawi ini tanpa bermaksud menyesal memiliki anak si penakluk ular.

Dimuat di: Majalah KISAH

Lagi dong, Boss...

19 Februari, 2009

Sigit Pramono: Perenungan dari Balik Jendela Rana

Namanya lebih dikenal sebagai bankir andal, spesialis membenahi bank-bank bermasalah. Pernah menduduki sederet jabatan bergengsi: Presdir Bank Internasional Indonesia, Dirut Bank BNI, dan kini Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) serta Komisaris Independen Bank BCA. Di sela-sela kesibukannya, Sigit Pramono rupanya memilih untuk menyendiri dan merekam indahnya fenomena alam dengan kameranya. "Kita ini sangat kecil dan relatif," begitu perenungannya setelah bertahun-tahun menggeluti fotografi lanskap.

"Kalau diskusi soal foto, saya bisa tahan berjam-jam lo!" seloroh Sigit Pramono saat menyambut kedatangan kami di rumahnya, kawasan Lebak Lestari, Jakarta Selatan. Sore itu penampilannya tampak begitu santai, jauh dari kesan formal seorang bankir. Mungkin kami termasuk beruntung karena ternyata cukup mudah untuk bertemu. Maklum, meski sudah tidak menduduki jabatan eksekutif puncak, masih banyak kesibukan yang menyita waktunya. Tapi kalau untuk urusan foto, "Sesibuk apa pun saya akan sempatkan waktu," katanya.

Memasuki rumahnya yang tampak asri, pandangan mata kita akan langsung tersita pada sejumlah foto berbingkai melebar yang terpasang di beberapa bagian dinding. Foto-foto itu menggambarkan pemandangan alam dari sejumlah tempat di Indonesia yang mungkin namanya sudah tidak asing lagi. Namun karena berformat panorama, dicetak dalam ukuran besar pula, kemegahan setiap gambar begitu terasa.

Dari foto-foto itulah kita akan segera maklum tentang kecintaan yang amat dalam si empunya rumah terhadap fotografi, terutama fotografi lanskap. Sebuah cabang seni fotografi yang entah mengapa sangat jarang ditekuni di Indonesia. Sigit sendiri menduga, orang enggan karena dibutuhkan upaya lebih untuk bepergian ke berbagai tempat. "Sedangkan fashion photography bisa dilakukan di mana saja, bergengsi, gemerlap, imbalannya juga lebih besar," jelasnya tanpa bermaksud iri.

Sementara di tengah gemerlap fotografi era digital, foto-foto lanskap hadir dengan kekayaan batinnya sendiri. Panorama alam pegunungan, pantai, sungai, gurun, padang rumput, atau alam pedesaan, hadir dalam pesona dan kemegahan tersendiri. Melalui foto-foto semacam ini, kita seperti menjadi salah satu penyaksi keagungan ciptaan-Nya.

Terlihat lebih megah
Kecintaan terhadap pemandangan alam tak lain berasal dari kehidupan masa kecil Sigit sebagai "anak desa". Lahir di Batang, Jawa Tengah, 14 November 1958, anak seorang pegawai jawatan pos ini kemudian menghabiskan masa kecilnya di Temanggung, Jawa Tengah. Dua kota berpanorama alam yang berbeda: pantai dan gunung, rupanya terekam kuat dalam memori kanak-kanaknya.

Beranjak remaja, aktivitasnya juga banyak mengakrabi alam, seperti lintas alam atau naik gunung. Namun bukan hanya sekadar bercengkerama dengan hamparan luas karya Sang Pencipta, Sigit juga selalu menyempatkan diri untuk merekam segenap keindahan yang disaksikannya pada sebuah foto. Kamera pertamanya, Asahi Pentax K1000, kamera milik keluarga yang dipakai bergantian dengan saudara-saudaranya yang lain.

Kecintaannya pada dunia fotografi rupanya tertanam kuat. Ini terbukti, meski ia terus meniti karir sebagai bankir, hobi itu tetap mendapat tempat dalam kehidupannya. Memotret menjadi bagian penting dari setiap perjalanannya ke berbagai tempat. Termasuk ketika pekerjaan membawa Sigit ke berbagai belahan dunia. Beberapa karya semasa perjalanan dinas, termuat dalam Viewpoints dan Bisikan Alam, dua buku tentang perjalanan fotografinya.

Bukan tanpa alasan jika saat ini minat Sigit mengendap pada fotografi lansekap. Menurut dia, foto pemandangan alam, apalagi jika tersaji dalam format panorama, akan terlihat lebih megah. Foto-foto semacam ini bukan hanya dinikmati pada keindahan objeknya. Detail gambar sebagai hasil dari lukisan cahaya di lensa, bisa menjadi sumber imajinasi tersendiri. Tak heran jika orang yang memandangnya akan berkhayal seandainya berada di tempat itu.

Apalagi Sigit menggarap karya-karyanya dengan penuh dedikasi. Demi kualitas yang tidak bisa dikompromikan, ia banyak menggunakan kamera khusus panorama dengan film negatif ukuran 6 x 17 cm. Proses filmnya juga dilakukan di Singapura. Dengan modal yang meyakinkan itu, wajar jika foto-foto yang dihasilkan mencerminkan keseriusan yang maksimal dari seorang fotografer amatir.

Beberapa waktu belakangan, karya-karyanya mulai diarahkan untuk pembuatan buku berisi fotografi lansekap alam Indonesia. Sebuah proyek yang dikatakannya sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengingat buku semacam ini sangatlah jarang. Pilihan objeknya jatuh pada Bromo, yang menurut dia menyimpan kemegahan dan daya mistik luar biasa.

Bahkan seorang profesional sekalipun, mungkin akan sulit menandingi ketekunan Sigit saat menggarap Bromo The Majestic Mystical Mountain, yang akhirnya terbit tahun 2008 itu. Selama dua tahun (2006-2007) setiap akhir pekan ia selalu menyambangi gunung dengan sejuta misteri itu. Kameranya seolah dapat menangkap setiap denyut nadi Bromo sepanjang tahun. Termasuk momen-momen yang hanya didapat melalui sebuah perencanaan, ditambah sesekali faktor keberuntungan.

Pada foto berjudul Sand Pattern misalnya, tergambarkan lautan pasir yang membentuk pola mirip ombak akibat tertiup angin. Pemandangan semacam itu hanya tercipta pada awal musim penghujan - sekitar bulan Oktober - saat angin meniup pasir hingga membentuk polanya, lalu pasir dipadatkan oleh turunnya hujan pertama. Dalam hitungan hari atau bahkan jam saja, pemandangan cantik itu akan segera hilang dihantam hujan berikutnya.

Mengasah kepekaan
Bagi fotografer dengan semangat seperti Sigit, memotret memang bukan lagi soal menekan tombol pembuka rana. Setiap citra diambil dengan "rasa". Dua fotografer dengan peralatan, waktu, bahkan titik lokasi pengambilan gambar yang sama, belum tentu menghasilkan foto yang sama. Karena sifatnya yang sangat subjektif, memotret menjadi mirip seperti sebuah perenungan pribadi.

Kontemplasi dengan alam melalui medium kamera itu ternyata bisa menumbuhkan kepekaan tersendiri. Segala hal yang bersifat teknis dalam pemotretan, seperti pengukuran cahaya, framing, bahkan timing-nya, tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Kepekaan itu bahkan kemudian ikut menjalar kepada hal-hal di balik pemotretan, seperti kondisi manusia atau alam di sekitarnya.

Saat melakukan pemotretan bertema human interest di salah satu kawasan kumuh di Jakarta, Sigit begitu tersentuh menyaksikan realitas kehidupan di tempat itu. Hatinya lalu tergerak untuk berbuat sesuatu dengan bantuan rekan-rekannya. Bersama Corporate Social Responsibility (CSR) BNI, ia juga tergerak untuk berbuat sesuatu terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar Bromo, yang menurut dia tak luput dari ancaman kerusakan.

Sigit berpendapat, sebuah foto hendaknya juga bisa mengangkat persoalan, sehingga dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat luas yang melihatnya. Demikian halnya foto-foto lanskap yang dapat dilekatkan dengan isu-isu lingkungan. Dalam sejarahnya, Ansel Adams (1902-1984) fotografer lanskap kenamaan Amerika juga pernah berhasil menggerakkan masyarakat Amerika untuk peduli kepada lingkungan yang kala itu terancam industrialisasi.

Fotografi lanskap Indonesia, menurut Sigit, juga bisa mengarah kepada kepedulian terhadap konservasi alam. Namun konservasi dalam angan-angannya adalah sebuah upaya pelestarian yang sejalan dengan kondisi masyarakat di sekitarnya. "Bukan cuma melarang masyarakat untuk menebang pohon, tapi juga mencarikan solusi untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka," tutur fotografer yang pernah menyumbangkan hasil lelang fotonya - senilai Rp 4,4 miliar - untuk dana pendidikan ini.

Bersama dunia fotografi, Sigit Pramono memang masih menyimpan sejuta mimpi. Beruntung sang istri, Sri Rahayu Kusindini, memaklumi kecintaannya yang kadang menyita banyak waktu dan energi itu. Malah kini kecintaannya itu sudah ditularkan pula kepada empat anak lelakinya yang tampak mulai senang memotret. Dari bagian terpenting dalam kehidupan pribadi, fotografi menjadi bagian penting dari keluarga.




Lagi dong, Boss...

21 September, 2007

Sewaktu Bang Ali Mengatur Betawi

Siapa tak kenal Ali Sadikin? Pada masanya, mantan gubernur DKI Jaya ini begitu dicintai rakyatnya karena bisa mengubah wajah Jakarta. Kini di usianya yang senja, ia tetap setia meluncurkan peikiran-peikirannya dengan semangat yang masih menyala.
“Membangun Jakarta itu butuh duit,” tegasnya. Dari mana asal dananya, ia berujar, “Biar saya yang pertanggungjawabkan di akhirat.”


Peristiwa ini terjadi 1 April, tahunnya tidak disebutkan. Waktu itu Ali Sadikin bermobil bersama sejumlah wartawan, menuju sebuah acara di Menteng Wadas. Ketika melintas di Jln. By Pass (sekarang Jln. Jend. Ahmad Yani), rombongan itu melihat sebuah truk bermuatan pasir delapan ton, begitu santai berjalan di jalur tengah. Segera Ali menyuruh sopirnya membunyikan klakson, maksudnya agar truk itu minggir, karena jelas melanggar aturan.

Namun sungguh konyol, ternyata truk itu tetap meluncur di jalur tengah, seolah tak menghiraukan kendaraan di belakangnya. Ketika dikejar, truk itu tetap jalan terus. Ketika diminta berhenti, masih tetap bandel juga, malah seperti mau melarikan diri. Untunglah, setelah dipepet terus, truk itu mau berhenti juga.

“Truk siapa ini?” tanya Ali setelah sopir truk turun.

“Truk ALRI, Pak,” jawab sopir. (Belakangan Ali yang mengisahkan kembali, meralat bahwa sopir menjawab “Polisi”)

“Mana surat tugas dan SIM-mu!”

Setelah menerima dan memeriksa surat-surat dari sopir, Ali bertanya lagi, “Apa Saudara tidak merasa bersalah?”

“Tidak, Pak,” jawab sopir itu. “'Kan boleh saja jalan di sebelah kanan.”

Plak! Sebuah tamparan telak mengenai wajah sopir.

“Kalau bawa muatan berat, apa boleh di jalan tengah?” Ali Sadikin bertanya lagi. Belum sempat sopir itu menjawab, "Plak!" Sebuah tamparan mendarat lagi.

“Apa Saudara tidak tahu ini jalur cepat. Mau seenaknya saja memakai jalan ini seperti jalanmu sendiri. Saudara tak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ALRI. Saya juga dari ALRI!” kata Ali Sadikin keras. Sementara sopir hanya menunduk.

“Jadi ABRI jangan sembarangan ya!” pesan Ali Sadikin sebelum naik ke mobilnya.
Secuplik kisah yang termuat dalam buku memoar Ali Sadikin berjudul Bang Ali, Demi Jakarta 1966 - 1977 tulisan Ramadhan K.H. itu cukup untuk menggambarkan sisi keras dan tanpa kompromi bekas gubernur DKI ini. Pendiriannya tegas, tak terbantahkan, dan ... ringan tangan.

Tempelengan yang diterima sopir sontoloyo itu belum seberapa. Beberapa bawahannya di Pemda DKI juga pernah kena “sentuhan sayangnya”. Meski beberapa jam kemudian Ali memanggil mereka kembali untuk menunjukkan letak kekelirun itu, sehingga tidak ada dendam.

Begitu kerasnya Ali, sampai-sampai oleh beberapa kalangan, pensiunan Letnan Jenderal Marinir ini dijuluki sebagai pemimpin bertangan besi. Ali sendiri memilih kata “tegas” terhadap sifatnya itu. Tegas itu terhadap sesuatu yang tidak sesuai aturan. Suatu sifat pemimpin yang konon kabarnya diperlukan untuk mengatur bangsa yang cenderung tidak tertib.

Memang, Ali yang sekarang bukanlah Ali yang dulu lagi. Kini pria 78 tahun ini harus menjaga betul kesehatannya setelah menjalani cangkok ginjal lima tahun lalu di RRC. “Kalau malam, Pak Ali tidak bisa keluar rumah karena harus minum obat secara ketat,” bisik seorang pengawalnya, pensiunan Marinir bertubuh kekar. Tubuh yang dulu gagah dan rupawan itu kini harus berjalan perlahan. Dua alat bantu dengar terpasang di telinganya.

Namun, ketika Intisari mengajaknya bernostalgia tentang masa-masa kepemimpinannya (1966 - 1977), tampak semangatnya kembali menyala. Ali memang selalu pasang muka serius, pelit senyum, dan selalu mengernyitkan dahi. Tapi dari suaranya yang terdengar lirih itu selalu tersirat ketegasan.

“Saya berbakti untuk rakyat, bukan untuk kekuasaan. Ngerti enggak?” ujar Ali berkali-kali selama mengobrol dua jam di kantornya di Jln. Borobudur 2, Jakarta Pusat.

Bocah berperut buncit
Ali diangkat Bung Karno (BK) sebagai gubernur DKI ke-6 pada 1966 di usia yang cukup muda untuk ukuran sekarang, yaitu 39 tahun. Sebelumnya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Laut di dua kabinet dan berpangkat Mayor Jenderal. Alasan BK memilihnya antara lain, “Karena dia orangnya keras. Saya kira untuk mengurus Jakarta Raya baik juga een betje koppigheid.” Koppigheid artinya keras kepala. Sepuluh tahun kemudian pilihan itu terbukti tidak salah.

Padahal Jakarta yang diwariskan kepada Ali kala itu seolah menjadi miniatur negeri ini yang porak-poranda pascapergolakan politik G30S/PKI. Wajah Jakarta terlihat bopeng, mirip kampung besar yang kumuh. Jalan-jalan aspal penuh lubang, bus semrawut, sementara jalan-jalan di kampung tak beraspal dan becek. “Saking beceknya, bahkan sudah pakai sepatu bot, cipratan airnya masih terkena celana,” kenang Ali.

Namun, yang membuat Ali prihatin, soal keadaan rakyatnya. Sarana kesehatan seperti Puskesmas tidak ada. Bangunan sekolah sudah bobrok dan dihuni tiga atau empat sekolah sekaligus. Pasar sedikit dan seadanya. Gelandangan terlihat di mana-mana. Ketika berkunjung ke sejumlah kampung, Ali menemukan bocah-bocah berperut buncit, gusi merah, dan mata melotot menyambutnya. Begitu memprihatinkan!

“Kita tidak punya apa-apa, tapi tetap harus melayani rakyat sebaik-baiknya, terutama yang lemah. Dasarnya ekonomi, pendidikan, dan kesehatan,” kata Ali. “Orang Jakarta sejak di dalam rahim sampai mati itu tanggung jawab saya.”

Untuk mengatasi segunung persoalan bukanlah soal gampang. Anggaran belanja Pemda DKI saat itu hanya Rp 66 juta, yang hanya cukup untuk kegiatan rutin (setahun kemudian angka itu berhasil digenjot lewat penarikan pajak dan retribusi menjadi Rp 200 jutaan). Ali kemudian mempunyai master plan pembangunan kota untuk 20 tahun kemudian. “No tax, no service,” kata pelaut kelahiran Sumedang ini tentang prinsip pelayanannya.

Gambaran Ali di masa itu mungkin mirip Gubernur DKI Jakarta sekarang, Sutiyoso, yang dijuluki jagoan mendulang uang untuk anggaran. Ali bekerja keras mencari dana dari semua sumber yang memungkinkan. Bahkan kala itu ada semacam dana taktis. “Dari penghasilan yang tidak tercantum,” terangnya tanpa merinci lebih lanjut. Setiap empat bulan, DPRD diundang untuk mengaudit. Di akhir tahun anggaran, dana itu ditambahkan sebagai surplus.

Kegigihan Ali soal mencari dana kemudian menyeretnya dalam persoalan legalisasi lokasi perjudian yang menimbulkan kontroversi. Ia berani karena ada Undang-Undang No. 11 tahun 1957 yang memungkinkan Kepala Daerah memungut pajak dari izin judi. Sebenarnya, para walikota Jakarta (belum jadi provinsi) sebelumnya pernah memiliki rencana serupa tapi selalu dihadang tentangan. “Saya berani, demi rakyat Jakarta,” kata Gubernur koppigheid yang terdesak kebutuhan warganya ini. Sejak akhir dekade 1960-an, judi pun bergulir dengan nama mulai Lotere Totalisator (lotto) sampai hwa hwe.

Awalnya, Pemda mengatur ketat soal judi ini. Yang boleh bermain hanya orang-orang yang karena budaya atau way of life-nya tidak bisa melepaskan judi, terutama kaum keturunan Tionghoa atau warga negara asing. “Orang kita tidak boleh judi, apalagi orang Islam!” seru Ali. Ia memang mengecualikan orang-orang tertentu berjudi untuk mencegah mereka main di luar negeri. Belakangan, hwa hwe ramai juga dimainkan orang pribumi.

Tentangan terhadap kebijakan Gubernur tidak pernah surut, tapi Ali jalan terus dengan membuktikan hasilnya. Antara lain yang langsung dirasakan rakyat adalah perbaikan kampung, pembangunan gedung sekolah dan Puskesmas, juga subsidi rumah sakit swasta agar tersedia tempat bagi orang miskin. “Apa semua itu saya dapatkan duitnya cukup dengan kentut? Apa cukup berdoa saja?” kata Ali tanpa bermaksud melucu. “Yang penting, uangnya bisa dipertanggungjawabkan dan kelihatan hasilnya.”

Berkat kegigihan Ali, pada akhir masa jabatannya 1977, anggaran Pemda DKI sudah mencapai Rp 90 miliar. Berhenti menjadi gubernur, bukan berarti tidak peduli pada Jakarta. Pada awal tahun ini, Ali masih tetap menyosialisasikan pemikiran-pemikiran tentang lokalisasi judi di depan anggota DPRD. “Pemda sekarang juga butuh duit. Untuk pengendalian banjir butuh sekitar Rp 23 triliun. Memangnya dari mana duitnya?” kata Penasihat Gubernur DKI yang resmi ini.

Pengabdi, bukan politikus
Di masa kepemimpinannya, Ali bukan hanya sekadar menjadi gubernur, ia bahkan menjadi sosok ayah untuk warganya. Dalam memoarnya, ia berkali-kali menyebut seluruh warga Jakarta sebagai sebuah keluarga besar. Pergaulannya luas bahkan mengayomi banyak kalangan seperti kepada olahragawan, seniman, pelajar, mahasiswa, sampai wartawan. Entah saat itu wartawan tidak kreatif dalam mencari berita atau penyebab lain, yang jelas ucapan Ali Sadikin hampir setiap hari muncul di koran untuk mengomentari banyak hal.

Begitu tergantungnya pada sang "ayah", warga Jakarta resah saat Ali harus pergi dua bulan mengantar istrinya berobat ke luar negeri. Tiba-tiba ibukota kacau. Listrik mati, PAM tidak nyala, banyak kebakaran, kriminalitas meningkat. Mengomentari hal itu, Harian KAMI menulis, "Jakarta terbiasa segala persoalannya dibereskan satu orang, yaitu Ali Sadikin. Giliran ia pergi sebentar, semua kalang kabut."

Ketika rakyat meminta sang "ayah" meneruskan jabatannya untuk periode ketiga, Ali menolak. “Bagi saya masa jabatan pejabat negara itu cukup dua term,” alasannya. Ia menepis anggapan bahwa masa jabatannya tidak diperpanjang lantaran Golkar kalah di DKI pada Pemilu 1977. “Memang waktu itu saya pidato, intinya menyatakan bahwa ‘saya ini bukan orang Golkar dan hanya bekerja untuk rakyat, bukan partai’. Ternyata Golkar kalah. Ya, itu kenyataan. Saya ini pengabdi, bukan politikus,” tegasnya.

Keterlibatannya dalam politik justru ditunjukkan kemudian dengan beroposisi terhadap pemerintahan Soeharto. Namun, tindakannya bersama puluhan politisi senior mendirikan Petisi 50 untuk mengkritik pemerintah berakibat pada hasil kerja susah payahnya.

Kebijakan-kebijakannya banyak yang dihapuskan penggantinya, Tjokropranolo. Suatu keadaan yang disebut Ali sebagai de-Ali Sadikin-isasi. Padahal semasa menjadi gubernur, presiden sama sekali tidak pernah mencampuri urusan Pemda DKI.

Namun, Ali sampai saat ini mengaku tidak punya persoalan pribadi dengan Soeharto. April 2005 dalam acara HUT Taman Mini Indonesia Indah, untuk kesekian kalinya ia bertemu bekas penguasa Orde Baru itu. Mereka duduk berdampingan, malah berpelukan. “Soeharto itu mesti diadili, tapi kemudian kita maafkan. Kita bicarakan saja berapa uangnya yang mesti dikembalikan kepada negara,” kata Ali tentang sikapnya sejak dulu.

Di usia senja, rasa geramnya justru masih disisakan kepada pengguna jalan di Jakarta yang semakin tidak tahu aturan lalu lintas. Semua orang merasa jadi pemilik jalan, sehingga bisa berbuat seenaknya. “Kalau saya masih gubernur, tiap hari kerjaannya menempeleng sopir terus,” katanya dengan kening berkerut. Semua itu, menurut dia, harus dihadapi dengan kekerasan, yaitu hukum yang tegas.

Jakarta yang bulan ini berulang tahun memang menyisakan banyak persoalan. Sayangnya, tak semua gubernur seperti Bang Ali.

Dimuat di: Majalah INTISARI


Catatan Saya:
"Ngerti enggak?" "Ngerti enggak?" itu yang selalu diucapkan Ali Sadikin, sambil membentak, setiap kali menyelesaikan kalimatnya. Saya maklum. Tidak sakit hati, malah rasanya lucu. Apalagi ketika beliau marah-marah soal kebijakan Sutiyoso, tapi ketika saya hendak pulang, beliau sempat berpesan, "Soal Sutiyoso itu jangan keras-keraslah. Ndak enak saya." Ali Sadikin memang penasehat resmi Sutiyoso, dan diberi gaji. Kesan lain: di tengah wawancara, beliau sempat memarahi saya karena usia sudah lebih 30 tahun tapi.... belum menikah.

Lagi dong, Boss...