07 Maret, 2018

Anjing Anjingan

Salah seorang narasumber saya, dia seorang dosen, pernah tugas belajar ke Jepang. Suatu kali, dalam sebuah perjalanan di MRT, dia asyik ngobrol dengan beberapa temannya sesama orang Indonesia. Karena suara obrolan itu begitu keras dan mengganggu, dia ditegur oleh salah seorang pria. Di Jepang, kita memang tidak bisa ngobrol atau berbicara seenaknya di sarana transportasi umum.

Sayangnya (dan dia belakangan menyesali tindakan ini), narasumber saya itu tidak terima ditegur seperti itu. Terutama karena pria yang sudah separuh baya itu terlihat agak mabuk. Dia yang kala itu masih muda dan "panasan" kemudian membalas teguran itu dengan mengeluarkan nama2 binatang: anjing, babi, kecoak, tikus, dsb-nya.

Uniknya, nama2 binatang itu diucapkan dalam bahasa Jepang, maksudnya agar pria yang diumpat itu mengerti. Jadi cara mengumpatnya "ala Indonesia", tapi bahasanya Jepang.

Tapi apa yang terjadi? Ternyata pria itu cuma terdiam, tidak menanggapi. Begitu pula dengan seisi gerbong yang menyaksikan kejadian itu juga seolah tak ingin terlibat dalam situasi itu.

Setelah suasana tegang sedikit mereda, seorang ibu agak tua mendekati narasumber saya dan kelompok orang Indonesia ini. Dengan sopan, ibu2 itu mencoba menyampaikan beberapa hal. Dan menurut saya, ini menarik sekali. Kira2 begini kata2nya: "Halo, kalian bukan orang Jepang ya. Maaf ya, ini terlihat dari kata2 yang diucapkan untuk mengumpat tadi. Nama2 binatang yang disebutkan tadi bukan untuk bahan umpatan. Mereka adalah binatang2 ciptaan Tuhan dan tentunya disayangi Tuhan. Kami, orang Jepang tidak mengumpat dengan kata2 tadi."

Jleb!

Mendengar teguran halus seperti itu, narasumber saya akhirnya cuma bisa terdiam. Dia tidak menyangka, situasinya berbalik dan membuat dia berhasil mempermalukan diri sendiri di muka umum.

Ya, sejak kapan sih kita menjadikan anjing dan semua binatang itu sebagai sebutan untuk menghina? Jika hewan2 itu memang tidak berguna atau keberadaannya hina, kenapa juga mereka dihadirkan ke dunia oleh Penciptanya?

Lagi dong, Boss...

22 Februari, 2018

Jangan Mati Gara-gara Uang

Beberapa tahun lalu, saya kenal seorang pria, usianya kira-kira 30-an. Dia biasa saya panggil, Koh Budi. Keturunan Tionghoa, anak dua, karyawan, agak gemuk, suka makan, merokok, dll. Tipikal bapak2 nongkrong di kompleks perumahan lah.

Singkat cerita, suatu hari sampailah kita pada obrolan, kenapa Koh Budi tidak menekuni bisnis seperti kebanyakan keluarga besarnya.

Di tengah keluarganya yang saling berjejaring di dalam bisnis, Koh Budi malah memilih jadi karyawan. Padahal kesempatan itu ada. Dan banyak orang yang kepingin punya jaringan bisnis seperti di keluarga itu.

“Hidup itu jangan diperbudak duit. Papah saya matinya gara-gara duit. Sampai mati yang dipikirin cuma duit,” begitu antara lain kata-kata Koh Budi yang saya ingat.

“Duit cuma bikin stres, terus jadinya jantungan, stroke, dll. Hidup secukupnya saja, sewajarnya saja.”

Benar saja. Kalau saya perhatikan, hidup Koh Budi memang sejalan dengan kata-katanya. Dia memang bekerja kantoran, tapi dengan hasil yang cukupan saja untuk kehidupan keluarga kecilnya. Sesuai proporsinya lah. Selebihnya, dia lebih banyak tertawa-tawa dan hidup wajar. Pendeknya, menikmati hiduplah.
    
Ketika itu, saya sebenarnya belum bisa menyelami apa arti kata-kata “jangan mati gara-gara duit”. Sampai bertahun-tahun kemudian saya bertemu seorang kawan yang rupanya sedang memiliki banyak masalah dalam hidup.

Awalnya yang saya tahu, dia punya penyakit yang sebenarnya tidak terlalu parah, tapi membuatnya harus terus minum obat. Pekerjaan di kantornya memang cukup sibuk, tapi sebenarnya di luar itu, dia lebih sibuk lagi dengan berbagai aktivitas untuk menghasilkan uang tambahan. Istilahnya side job, kerja sampingan.

Gajinya dari kantor sebenarnya cukup-cukup saja, tapi dia merasa harus menghasilkan uang lebih banyak lagi demi kebutuhan-kebutuhan di masa depan. Biaya pendidikan anak kelak, kehidupan setelah pensiun, biaya kesehatan di masa depan, dll. Seluruh kebutuhan yang sebenarnya belum riil untuk saat ini.

Awalnya, dia selalu berusaha berbisnis. Tapi memang peluang di bidang itu tidak selalu mudah didapatkan. Apa boleh buat, orang di mana-mana banyak berbicara tentang entrepreneur, tapi praktiknya memang tidak selalu mudah.
    
Dengan keterbatasan dana, dia juga mencoba berinvestasi di emas, properti, saham, reksadana, forex, dll. Bahkan, karena dia didorong pemikiran bahwa usia produktifnya terbatas, lama kelamaan investasinya mengarah ke spekulasi. Ingin return besar, dengan waktu secepat-cepatnya.

Sampai di situlah kawan tadi rupanya tidak sadar hidupnya sudah terombang-ambing oleh obsesi akan uang, uang, dan uang. Sehari-hari yang dipikirkan hanyalah bagaimana menghasilkan uang sebesar-besarnya. Apa yang dibaca, dibrowsing, direnungkan, dan dibicarakan melulu topik tentang itu. Dunianya dipenuhi bayangan untuk selalu menghasilkan uang.

Sebuah upaya yang terus menerus memang bisa membuat kita semakin fokus. Namun (sayangnya) jalan kesuksesan tidaklah selalu mulus. Khususnya dalam menjalani bisnis atau berinvestasi. Jatuh bangun soal biasa. Dapat sedikit untung, lalu rugi berkali-kali, adalah pelajaran wajib. Di sinilah kawan tadi rupanya belum siap.

Energi yang sehari-hari sudah terpakai, masih harus dikuras lagi dengan kekecewaan ketika harus bertemu kondisi di luar harapan. Sampai akhirnya energinya benar-benar tipis. Dia stres dan lelah. Penyakit pun bermunculan. Dia merasa menjadi korban dari kemelekatannya kepada uang.  

Mungkin Anda pernah mendengar kisah tentang orang yang seumur hidup mencoba mengumpulkan uang, tapi di masa tua harus menghabiskan uang itu untuk biaya pengobatan. Kisah itulah yang kemudian menyadarkan kawan itu untuk mulai menata langkahnya.

Beruntung, dia belum terlambat. Dengan mengevaluasi segala yang pernah dikerjakan selama ini, akhirnya dia bisa menemukan kesalahan-kesalahannya.

Perlahan-lahan kemudian tujuan hidupnya menjadi jelas. Lebih jauh lagi melangkah, dia berubah menjadi orang yang ikhlas. Dan rupanya, kondisi ini menghasilkan bonus: kesehatannya mulai membaik.   

Dia tidak pernah menyesali apa yang telah dilalui. Bahkan, bersyukur karena telah diberi pelajaran yang berharga dengan “uang sekolah” yang cukup lumayan. Karena baginya, kehidupan ini sebenarnya adalah seni mengambil keputusan dan hidup dengan konsekuensi dari keputusan itu.

21 Februari 2018    



  



Lagi dong, Boss...

21 Agustus, 2016

Telemarketing

Awalnya saya sering "tertipu". Mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dan setelah dijawab, taraaaaa! Penawaran kredit tanpa agunan, penawaran asuransi, penawaran member liburan, dll.

Tapi lama2 saya hapal juga pola2-nya. Misalnya, neleponnya pagi2 sekitar jam 10an. Nomornya kira2 dari area sekitar Jakarta pusat. Dan selalu diawali dengan menyebut nama lengkap saya secara tidak lancar -- karena nama saya agak susah diucapkan, apalagi kalau bukan orang Jawa :)

Sampai akhirnya saya sudah tidak "tertipu" lagi. Begitu ada nomor asing, langsung reject! Kalau terlanjur terangkat, begitu sadar, langsung matiin. Atau kalau terlanjur ada pembicaran bilang aja, "lagi meeting, maaf", tuuuut! Langsung ditutup. Sial. Cuma untungnya saya belum pernah berkata kasar. Meski saya akui, kadang saya tidak menghargai mereka selayaknya manusia.

Siapa sebenarnya mereka2 itu? Dari hasil liputan reporter kami, saya baru tahu ada sebagian (jumlah pastinya tdk tau juga sih) tenaga telemarketing itu yang direkrut dari saudara2 kita yg tunanetra.  

Karena keterbatasan kemampuan, pilihan pekerjaan mereka memang terbatas. Untuk mendapatkannya pun tidak mudah. Tak heran jika mereka dikenal sebagai pekerja yang begitu berdedikasi dalam melakukan tugasnya. Salah satunya adalah telemarketing. Jenis pekerjaan yg membutuhkan rasa tega karena harus mengusik ketenangan orang. Tentu dengan konsekuensi penolakan dengan berbagai cara. Ditutup, dijawab ketus, atau malah dibentak2. "Tapi kami sudah biasa," tutur mereka kepada reporter kami, sambil tetap tersenyum. 

Eh, mereka tidak minta dikasihani lo! Apalagi mereka sadar, setiap pekerjaan punya risiko. Seperti halnya kita juga tidak mau disalahkan atas reaksi spontan yg mungkin kasar dan menyakitkan. Tapi kalau kita berusaha untuk menyikapi sesuatu dengan sewajarnya, rasanya semua (bisa) baik2 saja. Ah, bukan ngajari. Saya juga masih belajar kok. 

Selamat akhir pekan.

Lagi dong, Boss...

20 Agustus, 2016

Pembersih Toilet

"Terima kasih Mas." Di toilet pria, di sebuah mal, saya mendengar suara seorang pria mengucapkan terima kasih kepada petugas pembersih sebelum meninggalkan ruangan.

Wow, situasi yg jarang saya temui. Seorang pemakai toilet tumben sekali mengucapkan terima kasih, begitu pikir saya bersimpati.

Karena kebetulan saya juga baru selesai dari toilet dan hendak keluar, saya sempat melirik pria itu. Kami berpandangan dan saling terkejut. Hei, rupanya dia salah satu teman saya di masa lalu. Mungkin 15 tahun lebih kami tidak bertemu muka. Seingat saya, kami hanya pernah sekali chatting di internet, itu pun beberapa tahun lalu.

Obrolan basa-basi sore itu memang tidak lama. Tapi dari perjumpaan singkat itu, saya jadi mengenal sisi lain dirinya yg cukup simpatik. Dia ternyata punya kebiasaan baik, yakni menghargai para pekerja rendahan. Seperti pembersih toilet yg terkadang kita menyadari keberadaannya pun tidak.
Saya benar2 terkesan dengan kebiasaan baik teman itu. Dan berusaha terus mengingatnya, agar saya bisa mempraktikkannya juga. Walaupun pada kenyataan, masih banyak lupanya :)

Peristiwa itu melambungkan ingatan saya kepada perjumpaan dengan teman lain pada suatu kali. Dia bekas OB di kantor lama saya yg keluar lalu bekerja di klab malam di daerah Kota. Posisi pekerjaannya di klab malam itu berganti2, seperti pencuci gelas, pembersih lantai, atau pembersih toilet. Posisi pekerjaan paling rendah di tempat itu.

Meski tidak saya tanyakan secara khusus, dari potongan2 ceritanya yg ngalor ngidul saya bisa mendapat gambaran suka-duka pekerjaannya. Kita yang sehari2 disebut sebagai pegawai kantoran yang biasa berkutat dengan aneka gadget dan pendingin ruangan, mungkin tdk bisa membayangkan bagaimana menangani benda2 seperti piring-gelas kotor, bak sampah, lantai, urinoir, atau wc. Begitu juga dengan kelakuan para penggunanya. Jadi bisa dibayangkanlah, bagaimana situasinya di klab malam. Yang semakin malam, justru semakin tidak terkendali.

Lucunya, menurut teman itu, justru di klab malam banyak situasi (yang mendatangkan rezeki) tidak terduga. Ketika beberes meja, sering ditemukan barang2 seperti kunci mobil, uang, korek mahal, rokok, handphone, jam tangan, sampai narkoba. Celana dalam perempuan juga pernah :)

Benda yang tertinggal juga bisa berarti rezeki tambahan bagi pelayan. Menurut aturan, semua barang yang ditemukan harus diserahkan ke pihak sekuriti. Aturan ini tegas, kalau dilanggar langsung pecat.
Barang seperti kunci mobil atau handphone jelas akan dicari pemiliknya. Nah, kalau beruntung, pelayan yang menemukan nanti bisa “ditampilkan” oleh sekuriti dan tentunya menerima tip dari pemilik atas jasanya.

Sedangkan barang2 lain, yang tidak terlalu berharga, biasanya sudah tidak dipedulikan. Di situlah kadang pelayan nakal. Ada yang dikantongi sendiri. Termasuk kalau yang ditemukan seperti ecstasy. Bisa dikumpulkan butir demi butir untuk dijual ke pengedar, yang beroperasinya di klab malam itu juga.

Meski tidak sering, uang tambahan dari tip dadakan itu cukup lumayan. Apalagi jika dibandingkan gaji mereka yang rasa-rasanya UMR ideal pun tidak sampai.

Lucunya, kata teman saya lagi, posisi yang justru jadi incaran adalah pembersih toilet. Bukan karena posisi ini basah dalam arti sebenarnya lantaran berurusan dengan air, tapi juga “basah” dalam kiasan karena lebih sering dapat tip.

Entah mengapa, para pengguna toilet di klab malam selalu royal kalau di toilet. Apalagi para boss. Mereka sering memberi tip para petugas pembersih yang jumlahnya lumayan, kadang sampai 50 ribu.
Tentu saja, umumnya dari mereka, jalannya sudah tidak tegak lagi, karena pengaruh alkohol. Belum lagi yang buang air kecilnya berceceran atau jackpot di tempat. Tapi petugas pembersih akan tetap tersenyum, terutama kalau pengunjung sudah mengeluarkan dompetnya.

Di situ saya jadi berpikir, apa kita harus mabuk dulu untuk sekadar berterima kasih kepada petugas kebersihan toilet?

Selamat berakhir pekan.

Lagi dong, Boss...