21 Agustus, 2016

Telemarketing

Awalnya saya sering "tertipu". Mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dan setelah dijawab, taraaaaa! Penawaran kredit tanpa agunan, penawaran asuransi, penawaran member liburan, dll.

Tapi lama2 saya hapal juga pola2-nya. Misalnya, neleponnya pagi2 sekitar jam 10an. Nomornya kira2 dari area sekitar Jakarta pusat. Dan selalu diawali dengan menyebut nama lengkap saya secara tidak lancar -- karena nama saya agak susah diucapkan, apalagi kalau bukan orang Jawa :)

Sampai akhirnya saya sudah tidak "tertipu" lagi. Begitu ada nomor asing, langsung reject! Kalau terlanjur terangkat, begitu sadar, langsung matiin. Atau kalau terlanjur ada pembicaran bilang aja, "lagi meeting, maaf", tuuuut! Langsung ditutup. Sial. Cuma untungnya saya belum pernah berkata kasar. Meski saya akui, kadang saya tidak menghargai mereka selayaknya manusia.

Siapa sebenarnya mereka2 itu? Dari hasil liputan reporter kami, saya baru tahu ada sebagian (jumlah pastinya tdk tau juga sih) tenaga telemarketing itu yang direkrut dari saudara2 kita yg tunanetra.  

Karena keterbatasan kemampuan, pilihan pekerjaan mereka memang terbatas. Untuk mendapatkannya pun tidak mudah. Tak heran jika mereka dikenal sebagai pekerja yang begitu berdedikasi dalam melakukan tugasnya. Salah satunya adalah telemarketing. Jenis pekerjaan yg membutuhkan rasa tega karena harus mengusik ketenangan orang. Tentu dengan konsekuensi penolakan dengan berbagai cara. Ditutup, dijawab ketus, atau malah dibentak2. "Tapi kami sudah biasa," tutur mereka kepada reporter kami, sambil tetap tersenyum. 

Eh, mereka tidak minta dikasihani lo! Apalagi mereka sadar, setiap pekerjaan punya risiko. Seperti halnya kita juga tidak mau disalahkan atas reaksi spontan yg mungkin kasar dan menyakitkan. Tapi kalau kita berusaha untuk menyikapi sesuatu dengan sewajarnya, rasanya semua (bisa) baik2 saja. Ah, bukan ngajari. Saya juga masih belajar kok. 

Selamat akhir pekan.

Tidak ada komentar: