19 Februari, 2009

Sigit Pramono: Perenungan dari Balik Jendela Rana

Namanya lebih dikenal sebagai bankir andal, spesialis membenahi bank-bank bermasalah. Pernah menduduki sederet jabatan bergengsi: Presdir Bank Internasional Indonesia, Dirut Bank BNI, dan kini Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) serta Komisaris Independen Bank BCA. Di sela-sela kesibukannya, Sigit Pramono rupanya memilih untuk menyendiri dan merekam indahnya fenomena alam dengan kameranya. "Kita ini sangat kecil dan relatif," begitu perenungannya setelah bertahun-tahun menggeluti fotografi lanskap.

"Kalau diskusi soal foto, saya bisa tahan berjam-jam lo!" seloroh Sigit Pramono saat menyambut kedatangan kami di rumahnya, kawasan Lebak Lestari, Jakarta Selatan. Sore itu penampilannya tampak begitu santai, jauh dari kesan formal seorang bankir. Mungkin kami termasuk beruntung karena ternyata cukup mudah untuk bertemu. Maklum, meski sudah tidak menduduki jabatan eksekutif puncak, masih banyak kesibukan yang menyita waktunya. Tapi kalau untuk urusan foto, "Sesibuk apa pun saya akan sempatkan waktu," katanya.

Memasuki rumahnya yang tampak asri, pandangan mata kita akan langsung tersita pada sejumlah foto berbingkai melebar yang terpasang di beberapa bagian dinding. Foto-foto itu menggambarkan pemandangan alam dari sejumlah tempat di Indonesia yang mungkin namanya sudah tidak asing lagi. Namun karena berformat panorama, dicetak dalam ukuran besar pula, kemegahan setiap gambar begitu terasa.

Dari foto-foto itulah kita akan segera maklum tentang kecintaan yang amat dalam si empunya rumah terhadap fotografi, terutama fotografi lanskap. Sebuah cabang seni fotografi yang entah mengapa sangat jarang ditekuni di Indonesia. Sigit sendiri menduga, orang enggan karena dibutuhkan upaya lebih untuk bepergian ke berbagai tempat. "Sedangkan fashion photography bisa dilakukan di mana saja, bergengsi, gemerlap, imbalannya juga lebih besar," jelasnya tanpa bermaksud iri.

Sementara di tengah gemerlap fotografi era digital, foto-foto lanskap hadir dengan kekayaan batinnya sendiri. Panorama alam pegunungan, pantai, sungai, gurun, padang rumput, atau alam pedesaan, hadir dalam pesona dan kemegahan tersendiri. Melalui foto-foto semacam ini, kita seperti menjadi salah satu penyaksi keagungan ciptaan-Nya.

Terlihat lebih megah
Kecintaan terhadap pemandangan alam tak lain berasal dari kehidupan masa kecil Sigit sebagai "anak desa". Lahir di Batang, Jawa Tengah, 14 November 1958, anak seorang pegawai jawatan pos ini kemudian menghabiskan masa kecilnya di Temanggung, Jawa Tengah. Dua kota berpanorama alam yang berbeda: pantai dan gunung, rupanya terekam kuat dalam memori kanak-kanaknya.

Beranjak remaja, aktivitasnya juga banyak mengakrabi alam, seperti lintas alam atau naik gunung. Namun bukan hanya sekadar bercengkerama dengan hamparan luas karya Sang Pencipta, Sigit juga selalu menyempatkan diri untuk merekam segenap keindahan yang disaksikannya pada sebuah foto. Kamera pertamanya, Asahi Pentax K1000, kamera milik keluarga yang dipakai bergantian dengan saudara-saudaranya yang lain.

Kecintaannya pada dunia fotografi rupanya tertanam kuat. Ini terbukti, meski ia terus meniti karir sebagai bankir, hobi itu tetap mendapat tempat dalam kehidupannya. Memotret menjadi bagian penting dari setiap perjalanannya ke berbagai tempat. Termasuk ketika pekerjaan membawa Sigit ke berbagai belahan dunia. Beberapa karya semasa perjalanan dinas, termuat dalam Viewpoints dan Bisikan Alam, dua buku tentang perjalanan fotografinya.

Bukan tanpa alasan jika saat ini minat Sigit mengendap pada fotografi lansekap. Menurut dia, foto pemandangan alam, apalagi jika tersaji dalam format panorama, akan terlihat lebih megah. Foto-foto semacam ini bukan hanya dinikmati pada keindahan objeknya. Detail gambar sebagai hasil dari lukisan cahaya di lensa, bisa menjadi sumber imajinasi tersendiri. Tak heran jika orang yang memandangnya akan berkhayal seandainya berada di tempat itu.

Apalagi Sigit menggarap karya-karyanya dengan penuh dedikasi. Demi kualitas yang tidak bisa dikompromikan, ia banyak menggunakan kamera khusus panorama dengan film negatif ukuran 6 x 17 cm. Proses filmnya juga dilakukan di Singapura. Dengan modal yang meyakinkan itu, wajar jika foto-foto yang dihasilkan mencerminkan keseriusan yang maksimal dari seorang fotografer amatir.

Beberapa waktu belakangan, karya-karyanya mulai diarahkan untuk pembuatan buku berisi fotografi lansekap alam Indonesia. Sebuah proyek yang dikatakannya sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengingat buku semacam ini sangatlah jarang. Pilihan objeknya jatuh pada Bromo, yang menurut dia menyimpan kemegahan dan daya mistik luar biasa.

Bahkan seorang profesional sekalipun, mungkin akan sulit menandingi ketekunan Sigit saat menggarap Bromo The Majestic Mystical Mountain, yang akhirnya terbit tahun 2008 itu. Selama dua tahun (2006-2007) setiap akhir pekan ia selalu menyambangi gunung dengan sejuta misteri itu. Kameranya seolah dapat menangkap setiap denyut nadi Bromo sepanjang tahun. Termasuk momen-momen yang hanya didapat melalui sebuah perencanaan, ditambah sesekali faktor keberuntungan.

Pada foto berjudul Sand Pattern misalnya, tergambarkan lautan pasir yang membentuk pola mirip ombak akibat tertiup angin. Pemandangan semacam itu hanya tercipta pada awal musim penghujan - sekitar bulan Oktober - saat angin meniup pasir hingga membentuk polanya, lalu pasir dipadatkan oleh turunnya hujan pertama. Dalam hitungan hari atau bahkan jam saja, pemandangan cantik itu akan segera hilang dihantam hujan berikutnya.

Mengasah kepekaan
Bagi fotografer dengan semangat seperti Sigit, memotret memang bukan lagi soal menekan tombol pembuka rana. Setiap citra diambil dengan "rasa". Dua fotografer dengan peralatan, waktu, bahkan titik lokasi pengambilan gambar yang sama, belum tentu menghasilkan foto yang sama. Karena sifatnya yang sangat subjektif, memotret menjadi mirip seperti sebuah perenungan pribadi.

Kontemplasi dengan alam melalui medium kamera itu ternyata bisa menumbuhkan kepekaan tersendiri. Segala hal yang bersifat teknis dalam pemotretan, seperti pengukuran cahaya, framing, bahkan timing-nya, tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Kepekaan itu bahkan kemudian ikut menjalar kepada hal-hal di balik pemotretan, seperti kondisi manusia atau alam di sekitarnya.

Saat melakukan pemotretan bertema human interest di salah satu kawasan kumuh di Jakarta, Sigit begitu tersentuh menyaksikan realitas kehidupan di tempat itu. Hatinya lalu tergerak untuk berbuat sesuatu dengan bantuan rekan-rekannya. Bersama Corporate Social Responsibility (CSR) BNI, ia juga tergerak untuk berbuat sesuatu terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar Bromo, yang menurut dia tak luput dari ancaman kerusakan.

Sigit berpendapat, sebuah foto hendaknya juga bisa mengangkat persoalan, sehingga dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat luas yang melihatnya. Demikian halnya foto-foto lanskap yang dapat dilekatkan dengan isu-isu lingkungan. Dalam sejarahnya, Ansel Adams (1902-1984) fotografer lanskap kenamaan Amerika juga pernah berhasil menggerakkan masyarakat Amerika untuk peduli kepada lingkungan yang kala itu terancam industrialisasi.

Fotografi lanskap Indonesia, menurut Sigit, juga bisa mengarah kepada kepedulian terhadap konservasi alam. Namun konservasi dalam angan-angannya adalah sebuah upaya pelestarian yang sejalan dengan kondisi masyarakat di sekitarnya. "Bukan cuma melarang masyarakat untuk menebang pohon, tapi juga mencarikan solusi untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka," tutur fotografer yang pernah menyumbangkan hasil lelang fotonya - senilai Rp 4,4 miliar - untuk dana pendidikan ini.

Bersama dunia fotografi, Sigit Pramono memang masih menyimpan sejuta mimpi. Beruntung sang istri, Sri Rahayu Kusindini, memaklumi kecintaannya yang kadang menyita banyak waktu dan energi itu. Malah kini kecintaannya itu sudah ditularkan pula kepada empat anak lelakinya yang tampak mulai senang memotret. Dari bagian terpenting dalam kehidupan pribadi, fotografi menjadi bagian penting dari keluarga.




1 komentar:

Anab Afifi mengatakan...

Menarik. Mestinya begitu ya... Kapanpun atau di manapun berkarya tidak bisa mati. Apalagi yang masiih muda. Kata "pensiun" itulah yang sering mematikan kemanusiaan oreang-orang modern saat ini.