21 September, 2007

Sewaktu Bang Ali Mengatur Betawi

Siapa tak kenal Ali Sadikin? Pada masanya, mantan gubernur DKI Jaya ini begitu dicintai rakyatnya karena bisa mengubah wajah Jakarta. Kini di usianya yang senja, ia tetap setia meluncurkan peikiran-peikirannya dengan semangat yang masih menyala.
“Membangun Jakarta itu butuh duit,” tegasnya. Dari mana asal dananya, ia berujar, “Biar saya yang pertanggungjawabkan di akhirat.”


Peristiwa ini terjadi 1 April, tahunnya tidak disebutkan. Waktu itu Ali Sadikin bermobil bersama sejumlah wartawan, menuju sebuah acara di Menteng Wadas. Ketika melintas di Jln. By Pass (sekarang Jln. Jend. Ahmad Yani), rombongan itu melihat sebuah truk bermuatan pasir delapan ton, begitu santai berjalan di jalur tengah. Segera Ali menyuruh sopirnya membunyikan klakson, maksudnya agar truk itu minggir, karena jelas melanggar aturan.

Namun sungguh konyol, ternyata truk itu tetap meluncur di jalur tengah, seolah tak menghiraukan kendaraan di belakangnya. Ketika dikejar, truk itu tetap jalan terus. Ketika diminta berhenti, masih tetap bandel juga, malah seperti mau melarikan diri. Untunglah, setelah dipepet terus, truk itu mau berhenti juga.

“Truk siapa ini?” tanya Ali setelah sopir truk turun.

“Truk ALRI, Pak,” jawab sopir. (Belakangan Ali yang mengisahkan kembali, meralat bahwa sopir menjawab “Polisi”)

“Mana surat tugas dan SIM-mu!”

Setelah menerima dan memeriksa surat-surat dari sopir, Ali bertanya lagi, “Apa Saudara tidak merasa bersalah?”

“Tidak, Pak,” jawab sopir itu. “'Kan boleh saja jalan di sebelah kanan.”

Plak! Sebuah tamparan telak mengenai wajah sopir.

“Kalau bawa muatan berat, apa boleh di jalan tengah?” Ali Sadikin bertanya lagi. Belum sempat sopir itu menjawab, "Plak!" Sebuah tamparan mendarat lagi.

“Apa Saudara tidak tahu ini jalur cepat. Mau seenaknya saja memakai jalan ini seperti jalanmu sendiri. Saudara tak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ALRI. Saya juga dari ALRI!” kata Ali Sadikin keras. Sementara sopir hanya menunduk.

“Jadi ABRI jangan sembarangan ya!” pesan Ali Sadikin sebelum naik ke mobilnya.
Secuplik kisah yang termuat dalam buku memoar Ali Sadikin berjudul Bang Ali, Demi Jakarta 1966 - 1977 tulisan Ramadhan K.H. itu cukup untuk menggambarkan sisi keras dan tanpa kompromi bekas gubernur DKI ini. Pendiriannya tegas, tak terbantahkan, dan ... ringan tangan.

Tempelengan yang diterima sopir sontoloyo itu belum seberapa. Beberapa bawahannya di Pemda DKI juga pernah kena “sentuhan sayangnya”. Meski beberapa jam kemudian Ali memanggil mereka kembali untuk menunjukkan letak kekelirun itu, sehingga tidak ada dendam.

Begitu kerasnya Ali, sampai-sampai oleh beberapa kalangan, pensiunan Letnan Jenderal Marinir ini dijuluki sebagai pemimpin bertangan besi. Ali sendiri memilih kata “tegas” terhadap sifatnya itu. Tegas itu terhadap sesuatu yang tidak sesuai aturan. Suatu sifat pemimpin yang konon kabarnya diperlukan untuk mengatur bangsa yang cenderung tidak tertib.

Memang, Ali yang sekarang bukanlah Ali yang dulu lagi. Kini pria 78 tahun ini harus menjaga betul kesehatannya setelah menjalani cangkok ginjal lima tahun lalu di RRC. “Kalau malam, Pak Ali tidak bisa keluar rumah karena harus minum obat secara ketat,” bisik seorang pengawalnya, pensiunan Marinir bertubuh kekar. Tubuh yang dulu gagah dan rupawan itu kini harus berjalan perlahan. Dua alat bantu dengar terpasang di telinganya.

Namun, ketika Intisari mengajaknya bernostalgia tentang masa-masa kepemimpinannya (1966 - 1977), tampak semangatnya kembali menyala. Ali memang selalu pasang muka serius, pelit senyum, dan selalu mengernyitkan dahi. Tapi dari suaranya yang terdengar lirih itu selalu tersirat ketegasan.

“Saya berbakti untuk rakyat, bukan untuk kekuasaan. Ngerti enggak?” ujar Ali berkali-kali selama mengobrol dua jam di kantornya di Jln. Borobudur 2, Jakarta Pusat.

Bocah berperut buncit
Ali diangkat Bung Karno (BK) sebagai gubernur DKI ke-6 pada 1966 di usia yang cukup muda untuk ukuran sekarang, yaitu 39 tahun. Sebelumnya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Laut di dua kabinet dan berpangkat Mayor Jenderal. Alasan BK memilihnya antara lain, “Karena dia orangnya keras. Saya kira untuk mengurus Jakarta Raya baik juga een betje koppigheid.” Koppigheid artinya keras kepala. Sepuluh tahun kemudian pilihan itu terbukti tidak salah.

Padahal Jakarta yang diwariskan kepada Ali kala itu seolah menjadi miniatur negeri ini yang porak-poranda pascapergolakan politik G30S/PKI. Wajah Jakarta terlihat bopeng, mirip kampung besar yang kumuh. Jalan-jalan aspal penuh lubang, bus semrawut, sementara jalan-jalan di kampung tak beraspal dan becek. “Saking beceknya, bahkan sudah pakai sepatu bot, cipratan airnya masih terkena celana,” kenang Ali.

Namun, yang membuat Ali prihatin, soal keadaan rakyatnya. Sarana kesehatan seperti Puskesmas tidak ada. Bangunan sekolah sudah bobrok dan dihuni tiga atau empat sekolah sekaligus. Pasar sedikit dan seadanya. Gelandangan terlihat di mana-mana. Ketika berkunjung ke sejumlah kampung, Ali menemukan bocah-bocah berperut buncit, gusi merah, dan mata melotot menyambutnya. Begitu memprihatinkan!

“Kita tidak punya apa-apa, tapi tetap harus melayani rakyat sebaik-baiknya, terutama yang lemah. Dasarnya ekonomi, pendidikan, dan kesehatan,” kata Ali. “Orang Jakarta sejak di dalam rahim sampai mati itu tanggung jawab saya.”

Untuk mengatasi segunung persoalan bukanlah soal gampang. Anggaran belanja Pemda DKI saat itu hanya Rp 66 juta, yang hanya cukup untuk kegiatan rutin (setahun kemudian angka itu berhasil digenjot lewat penarikan pajak dan retribusi menjadi Rp 200 jutaan). Ali kemudian mempunyai master plan pembangunan kota untuk 20 tahun kemudian. “No tax, no service,” kata pelaut kelahiran Sumedang ini tentang prinsip pelayanannya.

Gambaran Ali di masa itu mungkin mirip Gubernur DKI Jakarta sekarang, Sutiyoso, yang dijuluki jagoan mendulang uang untuk anggaran. Ali bekerja keras mencari dana dari semua sumber yang memungkinkan. Bahkan kala itu ada semacam dana taktis. “Dari penghasilan yang tidak tercantum,” terangnya tanpa merinci lebih lanjut. Setiap empat bulan, DPRD diundang untuk mengaudit. Di akhir tahun anggaran, dana itu ditambahkan sebagai surplus.

Kegigihan Ali soal mencari dana kemudian menyeretnya dalam persoalan legalisasi lokasi perjudian yang menimbulkan kontroversi. Ia berani karena ada Undang-Undang No. 11 tahun 1957 yang memungkinkan Kepala Daerah memungut pajak dari izin judi. Sebenarnya, para walikota Jakarta (belum jadi provinsi) sebelumnya pernah memiliki rencana serupa tapi selalu dihadang tentangan. “Saya berani, demi rakyat Jakarta,” kata Gubernur koppigheid yang terdesak kebutuhan warganya ini. Sejak akhir dekade 1960-an, judi pun bergulir dengan nama mulai Lotere Totalisator (lotto) sampai hwa hwe.

Awalnya, Pemda mengatur ketat soal judi ini. Yang boleh bermain hanya orang-orang yang karena budaya atau way of life-nya tidak bisa melepaskan judi, terutama kaum keturunan Tionghoa atau warga negara asing. “Orang kita tidak boleh judi, apalagi orang Islam!” seru Ali. Ia memang mengecualikan orang-orang tertentu berjudi untuk mencegah mereka main di luar negeri. Belakangan, hwa hwe ramai juga dimainkan orang pribumi.

Tentangan terhadap kebijakan Gubernur tidak pernah surut, tapi Ali jalan terus dengan membuktikan hasilnya. Antara lain yang langsung dirasakan rakyat adalah perbaikan kampung, pembangunan gedung sekolah dan Puskesmas, juga subsidi rumah sakit swasta agar tersedia tempat bagi orang miskin. “Apa semua itu saya dapatkan duitnya cukup dengan kentut? Apa cukup berdoa saja?” kata Ali tanpa bermaksud melucu. “Yang penting, uangnya bisa dipertanggungjawabkan dan kelihatan hasilnya.”

Berkat kegigihan Ali, pada akhir masa jabatannya 1977, anggaran Pemda DKI sudah mencapai Rp 90 miliar. Berhenti menjadi gubernur, bukan berarti tidak peduli pada Jakarta. Pada awal tahun ini, Ali masih tetap menyosialisasikan pemikiran-pemikiran tentang lokalisasi judi di depan anggota DPRD. “Pemda sekarang juga butuh duit. Untuk pengendalian banjir butuh sekitar Rp 23 triliun. Memangnya dari mana duitnya?” kata Penasihat Gubernur DKI yang resmi ini.

Pengabdi, bukan politikus
Di masa kepemimpinannya, Ali bukan hanya sekadar menjadi gubernur, ia bahkan menjadi sosok ayah untuk warganya. Dalam memoarnya, ia berkali-kali menyebut seluruh warga Jakarta sebagai sebuah keluarga besar. Pergaulannya luas bahkan mengayomi banyak kalangan seperti kepada olahragawan, seniman, pelajar, mahasiswa, sampai wartawan. Entah saat itu wartawan tidak kreatif dalam mencari berita atau penyebab lain, yang jelas ucapan Ali Sadikin hampir setiap hari muncul di koran untuk mengomentari banyak hal.

Begitu tergantungnya pada sang "ayah", warga Jakarta resah saat Ali harus pergi dua bulan mengantar istrinya berobat ke luar negeri. Tiba-tiba ibukota kacau. Listrik mati, PAM tidak nyala, banyak kebakaran, kriminalitas meningkat. Mengomentari hal itu, Harian KAMI menulis, "Jakarta terbiasa segala persoalannya dibereskan satu orang, yaitu Ali Sadikin. Giliran ia pergi sebentar, semua kalang kabut."

Ketika rakyat meminta sang "ayah" meneruskan jabatannya untuk periode ketiga, Ali menolak. “Bagi saya masa jabatan pejabat negara itu cukup dua term,” alasannya. Ia menepis anggapan bahwa masa jabatannya tidak diperpanjang lantaran Golkar kalah di DKI pada Pemilu 1977. “Memang waktu itu saya pidato, intinya menyatakan bahwa ‘saya ini bukan orang Golkar dan hanya bekerja untuk rakyat, bukan partai’. Ternyata Golkar kalah. Ya, itu kenyataan. Saya ini pengabdi, bukan politikus,” tegasnya.

Keterlibatannya dalam politik justru ditunjukkan kemudian dengan beroposisi terhadap pemerintahan Soeharto. Namun, tindakannya bersama puluhan politisi senior mendirikan Petisi 50 untuk mengkritik pemerintah berakibat pada hasil kerja susah payahnya.

Kebijakan-kebijakannya banyak yang dihapuskan penggantinya, Tjokropranolo. Suatu keadaan yang disebut Ali sebagai de-Ali Sadikin-isasi. Padahal semasa menjadi gubernur, presiden sama sekali tidak pernah mencampuri urusan Pemda DKI.

Namun, Ali sampai saat ini mengaku tidak punya persoalan pribadi dengan Soeharto. April 2005 dalam acara HUT Taman Mini Indonesia Indah, untuk kesekian kalinya ia bertemu bekas penguasa Orde Baru itu. Mereka duduk berdampingan, malah berpelukan. “Soeharto itu mesti diadili, tapi kemudian kita maafkan. Kita bicarakan saja berapa uangnya yang mesti dikembalikan kepada negara,” kata Ali tentang sikapnya sejak dulu.

Di usia senja, rasa geramnya justru masih disisakan kepada pengguna jalan di Jakarta yang semakin tidak tahu aturan lalu lintas. Semua orang merasa jadi pemilik jalan, sehingga bisa berbuat seenaknya. “Kalau saya masih gubernur, tiap hari kerjaannya menempeleng sopir terus,” katanya dengan kening berkerut. Semua itu, menurut dia, harus dihadapi dengan kekerasan, yaitu hukum yang tegas.

Jakarta yang bulan ini berulang tahun memang menyisakan banyak persoalan. Sayangnya, tak semua gubernur seperti Bang Ali.

Dimuat di: Majalah INTISARI


Catatan Saya:
"Ngerti enggak?" "Ngerti enggak?" itu yang selalu diucapkan Ali Sadikin, sambil membentak, setiap kali menyelesaikan kalimatnya. Saya maklum. Tidak sakit hati, malah rasanya lucu. Apalagi ketika beliau marah-marah soal kebijakan Sutiyoso, tapi ketika saya hendak pulang, beliau sempat berpesan, "Soal Sutiyoso itu jangan keras-keraslah. Ndak enak saya." Ali Sadikin memang penasehat resmi Sutiyoso, dan diberi gaji. Kesan lain: di tengah wawancara, beliau sempat memarahi saya karena usia sudah lebih 30 tahun tapi.... belum menikah.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

[url=http://firgonbares.net/][img]http://firgonbares.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]macromedia flash 8.0 software, [url=http://firgonbares.net/]oem software with[/url]
[url=http://firgonbares.net/][/url] zip software downloads cheap windows software
adobe photoshop cs3 for mac student version [url=http://firgonbares.net/]buy student software[/url] CS3 Extended Mac Retail
[url=http://firgonbares.net/]software installation order[/url] macromedia dream weaver software
[url=http://firgonbares.net/]pharmacy shop software[/url] educator discounts on software
academic discounted software [url=http://firgonbares.net/]office 2007 enterprise key[/b]

Anonim mengatakan...

[url=http://sunkomutors.net/][img]http://sunkomutors.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]buying softwares, [url=http://sunkomutors.net/]bit defender vs kaspersky[/url]
[url=http://sunkomutors.net/][/url] french educational software microsoft 2007 software
office 2007 software [url=http://sunkomutors.net/]cheapest accounting software[/url] cheap microsoft office 2003
[url=http://sunkomutors.net/]car sale software[/url] cheap software to buy
[url=http://sunkomutors.net/]microsoft education software[/url] buy indesign software
educational computer software [url=http://sunkomutors.net/]purchase cheap software[/b]

Anonim mengatakan...

[url=http://hopresovees.net/][img]http://vonmertoes.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]buy language software, [url=http://vonmertoes.net/]best microsoft software[/url]
[url=http://hopresovees.net/][/url] nero 9 discount educational price software
kaspersky anti virus freeware [url=http://bariossetos.net/]adobe software student discounts[/url] download kaspersky anti kaspersky
[url=http://vonmertoes.net/]problems with adobe.owl.dll with adobe photoshop cs3[/url] filemaker pro bible cd
[url=http://bariossetos.net/]adobe photoshop cs4 key[/url] still buy photoshop
software updates canada [url=http://hopresovees.net/]store register software[/b]

Anonim mengatakan...

[url=http://bariossetos.net/][img]http://hopresovees.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]adobe acrobat 9 upgrade, [url=http://vonmertoes.net/]soft cheap software[/url]
[url=http://bariossetos.net/][/url] make windows xp look like vista software no purchase
nero 9 license [url=http://bariossetos.net/]i buy computer software[/url] education discount on software
[url=http://vonmertoes.net/]Pro Retail[/url] phone software canada
[url=http://vonmertoes.net/]adobe creative suite 3 master collection serial number[/url] quarkxpress 6.52 crashes in windows vista save
microsoft office 2007 enterprise crack [url=http://bariossetos.net/]photoshop software to buy[/b]