Walaupun kasus disfungsi ereksi (DE) banyak terjadi di kalangan pria, tak banyak di antara mereka yang mau mengakuinya, atau mencari pengobatan. Akibatnya, DE bukan saja menjadi masalah kronis yang diderita pria, tapi juga membuat wanita nelangsa. Karenanya, jangan sepelekan DE, karena ereksi merupakan indikator kesehatan secara keseluruhan.
Seorang profesional yang tinggal di Jakarta, sebut saja namanya Bram, setengah tahun belakangan menghadapi masalah besar. Di usianya yang telah menginjak 40 tahun, ia merasa mulai tidak mampu membahagiakan pasangan hidupnya. Bukan persoalan materi - karena untuk soal yang satu ini, justru terus meningkat seiring kariernya yang melesat - tapi masalah kemampuan organ "vital"-nya dalam menjalankan kewajiban di atas ranjang.
Masalah dirasakan saat ia dan Dewi, istrinya, ingin berhubungan intim. Ketika Bram akan melakukan penetrasi, perlahan "senjata"-nya seperti kehilangan tenaga. Diusahakan sedemikian rupa, tapi hasilnya nihil.
Di lain waktu, kejadiannya lain. Di saat sudah dalam status "siaga", ternyata penisnya tidak cukup punya tenaga untuk melakukan penetrasi. Bram agak panik dan tertekan, dan biasanya lalu memilih untuk membatalkan acara malam itu. Lewat senyuman kecilnya, Dewi memaklumi keadaan itu dan berusaha menenangkan suaminya.
Sekian lama berkubang dalam masalah, Bram merasa tidak tenang. Ia dilanda ketakutan tidak bakal mampu membahagiakan istrinya lagi. Di hati kecilnya, terbersit pula kekhawatiran istrinya akan mencari kepuasan alternatif di luar dirinya. Serba salah.
Organik makin tinggi
Bram memang termasuk menderita disfungsi ereksi (DE) yang dulu populer dengan istilah impotensi. Ini keadaan ketika penis tidak bisa berfungsi normal untuk melakukan penetrasi atau malah tidak ereksi sama sekali. Tentu ini menjadi masalah besar dalam hubungan suami-istri.
Namun, derita itu sebaiknya tak perlu ditanggapi begitu rupa hingga menimbulkan stres. Kondisi stres justru bisa mempersulit pemulihan. Bram pasti tidak tidak sendirian. Sebagai gambaran, dalam American Journal of Epidemiology, jurnal kesehatan di Amerika Serikat (AS, 2002), terungkap sekitar 20 - 46% lelaki (sekitar 5 - 30 juta orang) berusia 40 - 69 tahun di AS mengalami DE moderat (terjadi kadang-kadang) atau DE komplet (tidak mau ereksi sama sekali).
Penyebab gangguan khusus pada pria ini bisa karena dua faktor, yaitu fisik dan psikologis. Secara fisik, bisa karena faktor hormonal, gangguan persarafan, gangguan aliran darah, atau karena pemakaian zat kimia tertentu. Sedangkan secara psikologis, disebabkan oleh depresi, stres, kecemasan, atau malah adanya pemahaman yang keliru tentang arti "kejantanan" itu sendiri.
Tak salah jika DE lalu dicap sebagai penyakit kaum manula, atau mereka yang telah berusia 41 tahun ke atas. Umumnya disebabkan faktor fisik yang biasa disebut gangguan organik. Sedangkan pada penderita yang berusia lebih muda umumnya lebih banyak disebabkan faktor psikologis.
Jika menengok data dari On Clinic, sebuah klinik khusus DE di Jakarta, kebanyakan pasien diketahui mengalami juga penyakit seperti kencing manis, hipertensi, atau hiperkolesterol. "Makin ke sini, penyebab organik terus meningkat dibandingkan dengan penyebab psikis," ungkap dr. Soeryo Winahyoe, salah satu dokter di klinik itu.
Dari sederet gangguan kesehatan, diabetes melitus atau biasa disebut kencing manis diketahui paling banyak berhubungan dengan DE. Faktanya pun cukup menyeramkan, yaitu penderita diabetes (diabetesi) berisiko 2 - 5 kali menderita DE dibandingkan dengan pria sehat. Mereka pun lebih cepat 10 - 15 tahun terkena DE. Bahkan sebelum mencapai usia 70 tahun, sekitar 95% diabetesi melemah kemampuan ereksinya.
Masalahnya, papar dr. Soeryo, tidak semua orang menyadari dirinya sakit diabetes. "Malah ada pasien yang baru tahu dirinya menderita diabetes, setelah memeriksakan keluhan DE-nya ke dokter," jelasnya. "Ini umumnya juga terjadi pada penyakit-penyakit lain."
DE yang timbul akibat gangguan organik, pangkal persoalannya berkisar pada pembuluh darah atau aliran darah yang diperlukan penis untuk berereksi. Seperti diketahui, kemampuan ereksi berasal dari sinyal otak yang melepaskan zat kimia nitrogen oksida dan menyebabkan kadar siklik guanosin monofosfat (cGMP) meningkat. cGMP tak lain senyawa pembuka pembuluh darah pada penis.
Kondisi itu membuat pembuluh darah di sekitar penis jadi terbuka dan melemaskan otot-otot polos di jaringan korpora kavernosa. Darah yang terus masuk dan tertahan menyebabkan penis mengeras.
Pada kasus diabetes, misalnya, terjadi gangguan pada saraf neuropati akibat gangguan nutrisi dari pembuluh darah. Akibatnya, suplai pengisian darah pada jaringan penis tidak pernah cukup. Selain itu, pembuluh darah juga ikut terganggu, sehingga jalan darah semakin terhalang.
Sedangkan pada hipertensi terjadi penebalan di pembuluh darah hingga menghambat aliran darah. Ditambah lagi, obat antihipertensi ternyata ikut berpengaruh, karena obat bekerja dengan cara mengurangi volume darah, memperlambat kerja jantung, dan mengecilkan pembuluh darah tepi. "Logikanya, kalau pembuluh darah mengecil, maka akan sulit terjadi ereksi," jelas dr. Soeryo.
Malu mengakui
Bagi pria dewasa yang sudah berumah tangga seperti Bram, divonis menderita DE memang terdengar seperti kiamat. Selain takut kebahagiaan rumah tangga terancam, bagi pria tertentu untuk mencari pertolongan dokter merupakan soal besar. Pria di Indonesia umumnya malu mengakui kalau "senjata"-nya sudah tidak ampuh lagi.
Berkaitan dengan itu, di seputar klinik kesehatan seksual muncul kejadian "lucu" yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Ada pasien yang sebenarnya mengidap DE, tapi datang ke klinik dengan keluhan batuk-pilek. Ada juga yang berterus terang kepada dokter, tapi mengatakannya dengan cara berbisik, "Burung saya tidak mau bangun, Dok," seolah takut keluhannya didengar oleh orang di seluruh dunia. Tapi yang paling sering terjadi, pasien tidak mau mengakui punya masalah pada organ seksualnya, bahkan ketika sudah di depan dokter sekalipun.
"Budaya malu" yang tidak pada tempatnya ini sebenarnya akan menjadi hambatan serius bagi proses terapi DE itu sendiri. "Bagaimana mau berobat kalau mengakui saja tidak mau," kata dr. Naek L. Tobing, salah satu seksolog terkemuka yang berpraktik di Jakarta. "Padahal persoalan DE itu sesuatu yang biasa, apalagi bagi mereka yang tinggal di perkotaan yang sibuk. Banyak kok pria yang mengalaminya!"
Begitu terasa ada gangguan, sebaiknya tidak buang-buang waktu dan segera meminta pertolongan dokter. Sebab, jika gangguan itu berlangsung lama, akan butuh waktu lama pula untuk menyembuhkannya. Kapan sebenarnya pertolongan medis benar-benar dibutuhkan?
Berpegang pada definisi DE yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pertolongan medis diperlukan jika seseorang tidak bisa mencapai ereksi pada permulaan atau mempertahankannya, dan kondisi itu berlangsung selama tiga bulan. Tapi dr. Naek L. Tobing malah cuma memberi waktu lebih singkat, yakni dua minggu! "Biasanya, dalam dua minggu pria atau pasangannya sudah mulai risih dengan kondisi itu," alasannya.
Lagi pula, buat apa buang waktu. Penderita DE zaman sekarang lebih beruntung karena tingkat kesembuhan penyakit ini sudah tinggi. Metode pengobatan sudah tersedia dan harapan akan kesembuhannya dapat diperkirakan. Klinik-klinik dengan dokter yang ahli dalam bidang ini juga semakin mudah ditemui, terutama di kota-kota besar.
Persoalan DE, dr. Naek berpendapat, memang harus ditangani secara medis. "Karena umumnya ada masalah dengan pembuluh darah," tandasnya. Termasuk pada kasus-kasus psikogenik seperti stres, ketegangan, atau persoalan rumah tangga, yang dampaknya dapat merembet ke pengecilan pembuluh darah. Pengobatan non-medis atau biasa disebut "alternatif", kata dr. Naek, sejauh ini malah tidak memberi hasil yang signifikan.
Untuk memberi kenyamanan pada pasien, klinik-klinik terapi DE umumnya menjaga privasi pasien. Klinik terapi seksual pria On Clinic, misalnya, membuat ruang tunggu pribadi pasien berupa kamar-kamar kecil berukuran 1,5 x 2 m. "Dengan jadwal sesuai perjanjian, pasien dijamin tidak akan tahu satu sama lain," jelas Rahmat, marketing klinik yang tersebar di lima kota besar itu. Jadi, tak perlu malu lagi 'kan?
Tetap butuh hasrat
Terapi DE diawali dengan mengungkap riwayat penyakit pasien. Terutama tentang sudah berapa lama keluhan itu disandang, dihitung sejak hubungan seksual terakhir kali. Jika bukan sebuah hubungan intim, aktivitas seksual bisa juga berupa masturbasi. Gaya hidup pasien juga ditelusuri, apakah merokok, mengonsumsi alkohol atau narkoba.
Pasien juga diminta melakukan pengecekan laboratorium menyangkut kadar gula darah, kolesterol, trigliserida, tes fungsi hati (SGOT atau SGPT), dan beberapa pemeriksaan hormon seperti testosteron, prolaktin, atau tiroid.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium klinik, akan diketahui kemungkinan adanya kelainan fisik yang mendasari timbulnya DE seperti diabetes melitus, jantung koroner, hiperkolesterol, atau gangguan hormonal. "Sampai di sini, sebenarnya dokter sudah punya gambaran tentang penyebab DE dan berat-ringannya," jelas dr. Naek.
Dokter lalu akan membuat program pengobatan dengan menentukan jenis obat dan dosis yang tepat. Obat yang akan dikonsumsi tentu disesuaikan dengan obat yang mungkin sudah rutin dikonsumsi oleh pasien sebelumnya. Gaya hidup yang merugikan seperti merokok atau minum alkohol biasanya diminta untuk dihentikan. Jika semua berjalan sesuai rencana, DE dipastikan bakal hilang dalam tiga bulan sampai satu tahun.
Pada DE yang disebabkan faktor-faktor psikogenik, terutama pada pria muda, terkadang terapi juga dilakukan lewat konseling yang melibatkan psikolog. Jika diperlukan, pasangan atau istrinya juga akan dilibatkan. Terutama jika masalahnya terkait dengan kebuntuan komunikasi dalam kehidupan berumah tangga.
Pada pengobatan tahap awal biasanya dokter akan menggunakan obat-obatan oral yang berfungsi memicu ereksi (erektogenik). Saat ini tersedia tiga jenis, yaitu sildenafil sitrat (dijual dengan merek Viagra), vardanavil (Levitra), dan tadalafil (Cialis). Secara farmakologis, ketiganya masih satu keluarga. Cara kerjanya pun sama, yakni menghambat enzim fosfodiensterase tipe 5 (PDE-5) yang tugasnya menghentikan ereksi.
Seperti telah dijelaskan, penis akan dapat berereksi jika kadar cGMP meningkat dan membuka pembuluh darah. Sedangkan untuk menghentikan ereksi, diperlukan enzim PDE-5 yang fungsinya mengubah cGMP menjadi GMP tidak aktif sehingga darah yang tertahan di jaringan penis bisa mengalir kembali. Nah, obat-obat erektogenik itu berfungsi menghambat kerja PDE-5 agar ereksi bisa dipertahankan.
Penemuan obat erektogenik ini sebuah kabar gembira bagi penderita DE, karena dapat membantu kesembuhan hingga mencapai 70 - 80%. Tentu agar dapat "on" kembali, tetap dibutuhkan rangsangan terlebih dahulu. "Karena itu diperlukan kerja sama dengan pasangan. Meski sudah minum obat, tetap diperlukan hasrat," tegas dr. Naek.
Yang perlu diperhatikan, sampai detik ini obat-obat erektogenik masih masuk kategori obat etikal yang dibeli dengan resep dokter. Jadi, jangan terkecoh dengan obat-obat "Viagra Asli USA" yang sekarang banyak dijual bebas di toko-toko obat atau bahkan di kaki lima. Selain berbahaya jika dikonsumsi secara sembarangan (tanpa resep), obat-obatan yang dijual bebas itu ternyata banyak yang palsu.
Apalagi tidak semua orang aman mengonsumsi obat erektogenik, terutama mereka yang punya masalah dengan jantung. Penderita jantung koroner yang sedang menjalani terapi dengan trigliserin atau obat golongan nitrat lain, sebaiknya tidak mengonsumsinya. Begitu pula dengan penderita pembesaran prostat atau tekanan darah tinggi yang meminum obat jenis alpha-blocker.
Jika nekat meminum tanpa pengawasan dokter, tekanan darah tubuh bisa tiba-tiba turun drastis dan pingsan. Bila terapi obat oral tidak menunjukkan hasil memuaskan, masih ada sejumlah alternatif lain. Salah satunya dengan suntikan. Cuma cara ini mungkin menimbulkan rasa ngeri. Pasalnya, penderita harus selalu menyuntik sendiri "jagoan"-nya sebelum berhubungan.
Awalnya mungkin sulit dan bisa bikin stres, karena sebelum bercinta, penderita harus repot menyiapkan jarum suntik lalu menyuntikkan obatnya. Tapi kalau sudah terbiasa, mungkin biasa saja. Ada dua jenis obat yang dipakai, yaitu prostaglandin dan phentolamine. Khasiat keduanya sama dengan obat erektogenik, yaitu melebarkan pembuluh darah dan melemaskan otot-otot polos di korpus kavernosa. Bedanya, obat ini bekerja langsung pada penis.
Walau sepintas mengerikan, penggunaan terapi suntik di Amerika Serikat mencatat keberhasilan 80%. Situs kesehatan di internet Mayo Clinic mengungkap, para penggunanya mengaku serasa berereksi secara alami. Suntikan pun tidak terasa menyakitkan dan hanya dalam 5 - 15 menit kemudian penis langsung ereksi. Cuma, pasien tidak bisa sering-sering menyuntik (baca: berhubungan intim) karena penyuntikan dengan obat hanya boleh dilakukan sekali dalam 4 - 7 hari.
Keluhan DE juga bisa diatasi dengan pompa vakum. Caranya, penis dimasukkan ke dalam lubang di sebuah alat vakum, dan sebuah pompa akan mengosongkan udara di dalamnya. Akibat perbedaan tekanan udara, darah akan mengalir menuju ke penis. Setelah sekitar tiga menit, penis pun berereksi. Untuk mempertahankannya, dipasang cincin karet pada pangkal penis.
Dengan cincin ini darah di dalam penis ditahan dan baru bisa dilepas 30 menit kemudian.
Karena memakai tekanan udara dan cincin karet, wajar jika muncul keluhan penis terasa seperti kebas. Ada kemungkinan, setelah cincin dilepaskan, si "jagoan" juga akan lemas kembali dan perlu dipompa lagi. Sayangnya, pompa vakum yang sebenarnya cukup praktis dan aman dipakai di rumah ini belum begitu populer di Indonesia.
Alternatif terakhir yang mulai dikembangkan di negara-negara maju yaitu pembedahan. Salah satunya dengan menanamkan implan di jalur korpus kavernosa. Implan itu berisi cairan dan dihubungkan dengan pompa yang tertanam di bawah kulit kantung testis. Saat dibutuhkan, tinggal pencet tombol, cairan pun masuk ke dalam implan, dan penis akan "berereksi".
Wanita Barat lebih "nrimo"
Walau sudah banyak cara untuk mengatasinya, hingga sekarang masih banyak penderita DE yang mencari penyelesaian sendiri yang kadang tidak masuk akal. Salah satunya, dengan mengonsumsi afrodisiak atau obat yang fungsinya meningkatkan gairah seksual. Afrodisiak umumnya mengandung ginseng, pasak bumi, ekstasi, dsb. yang akan menstimulasi saraf di otak, sehingga membangkitkan gairah si pemakai dan dengan demikian diharapkan bisa berereksi. Bahkan tak sedikit yang percaya dengan keampuhan narkoba.
Padahal sebenarnya sasaran tembak afrodisiak itu berbeda. "Afrodisiak menciptakan stimulasi otak atau di pinggang ke atas. Padahal persoalan DE ada di pinggang ke bawah," jelas dr. Naek yang sudah lebih dari 20 tahun menjadi ahli masalah seksual. "Pada pria muda, mungkin stimulasi otak masih bisa mempengaruhi penis berereksi. Tapi kalau yang sudah tua, percuma saja."
Kesalahan lain, ungkap dr. Naek, adalah sifat pria pada umumnya di Asia yang ingin selalu tampil macho. Mereka punya keinginan kuat untuk memuaskan pasangannya, padahal kemampuan tidak selalu mengizinkan. Akibatnya, ketika gagal, mereka malu dan tertekan. Celakanya, mereka enggan mengakuinya kepada pasangan dan juga tidak mengupayakan pengobatan.
"Berbeda dengan sebagian besar pria di Eropa atau Amerika, yang jika punya masalah kesehatan seksual, umumnya menyadari batas kemampuannya. Pasangannya pun lebih nrimo. Artinya, jika pasangannya tidak mampu, mereka menerima dan bersama-sama mencari solusi terapinya secara benar," jelas dr. Naek tentang sifat pasrah tapi positif dari kaum wanita Barat. Karena itu, tak heran jika tingkat kesehatan seksual pria di negara-negara maju (termasuk Jepang) sangat baik.
Masalah ereksi, menurut dr. Naek, boleh dibilang susah-susah gampang. Namun, kunci sebenarnya terletak pada kesehatan tubuh secara keseluruhan. "Ereksi adalah salah satu indikator kesehatan. Jika ereksi bermasalah, maka hampir dipastikan tubuh juga sedang bermasalah."
Dari sini kita bisa membuat semboyan baru: di dalam ereksi yang kuat terdapat tubuh dan jiwa yang sehat.
Dimuat di: Majalah INTISARI edisi Healthy Sexual Life, Juli 2006
29 November, 2008
Dalam Ereksi Kuat Terdapat Tubuh Sehat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
8 komentar:
Terima kasih atas infonya...
Blog yang bagus...
olahraga membantu gak?
sejauh yang saya tahu, olahraga lebih kepada menyehatkan badan saja. berguna untuk menambah stamina dan kesehatan jantung, tapi tidak secara langsung membantu menyembuhkan jika memang ada gangguan ereksi - tjahjo
I will not approve on it. I think nice post. Specially the title attracted me to review the unscathed story.
betul bisa ereksi berati sehat
mantab slogannya
artikelnya menginspirasi pria lbh kuat
Posting Komentar