Hidup tidaklah selalu semulus jalan tol. Benar. Selalu ada kejadian di luar keinginan. Mendadak pula. Termasuk dalam perencanaan keuangan keluarga. Di sinilah pentingnya menyiapkan dana cadangan agar arus kas anggaran keluarga tak terganggu.
Rencana anggaran dan belanja keluarga yang sudah tersusun rapi jali, bisa saja terganggu oleh hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Tiba-tiba kerabat menelepon minta bantuan biaya rumah sakit dan tiada yang bisa membantu selain kita. Kendaraan mendadak masuk bengkel karena rusak berat padahal sehari-hari sangat diperlukan. Uang pendidikan anak melonjak drastis dari perkiraan.
Jadi, dari mana sebaiknya kita mengambil uangnya?
Biasanya orang mencukupi kebutuhan seperti ini dari uang tabungan atau harta lain yang cepat bisa dicairkan. Boleh-boleh saja. Apalagi kalau jumlahnya kebetulan tak seberapa dan ada jaminan uang itu bisa kembali pada waktunya.
Beberapa perencana keuangan berpendapat, akan jauh lebih baik jika memang tersedia anggaran khusus untuk jaga-jaga menghadapi hal-hal macam ini. Jadi, neraca keuangan bulanan yang sudah direncanakan dan disepakati bersama pasangan, tak terganggu. Bolehlah pos anggaran semacam ini kita sebut "dana darurat".
Tiga Sampai Sepuluh Kali
Dalam rencana anggaran kepanitiaan suatu kegiatan, biasa tertera "biaya tak terduga" yang jumlahnya 10% dari seluruh rencana anggaran. Nah, dalam perencanaan keuangan keluarga, berapa persen dari penghasilan yang harus disisihkan untuk dana darurat ini?
Jika bicara tentang perencanaan keuangan, kita bisa serba salah. Jumlah penghasilan take home pay yang terasa sudah sangat pas-pasan itu, harus diatur sedemikian rupa. Terutama harus cukup untuk kebutuhan hidup selama sebulan, plus membayar utang (jika ada), menabung, merencanakan investasi, dan membayar asuransi.
Lalu, dari mana sumber untuk dana darurat?
Yang perlu diketahui, pos untuk dana tak terduga ini tidaklah sama dengan pos-pos pengeluaran rutin setiap bulan. Perencana keuangan Muhamad Ichsan CFP, di Jakarta, mengatakan, dana ini seharusnya sudah ada di tempat tersendiri yang terpisah dari arus kas kita setiap bulan. Sifatnya hanya cadangan. Digunakan kalau memang benar-benar diperlukan dan tidak boleh diutak-atik.
Besarnya dana darurat tak tergantung pada penghasilan, tapi berpatok pada pengeluaran bulanan kita. Siapkan saja 3-10 kali pengeluaran bulanan. Tentu pengeluaran yang sudah diatur lewat sebuah perencanaan yang baik.
Jumlah dana darurat bergantung juga pada kepastian penghasilan yang bisa didapat setiap bulan. Pada orang-orang berpenghasilan teratur, misalnya karyawan bergaji tetap, jumlah cadangan boleh sekitar tiga kali pengeluaran. Sedangkan untuk pekerjaan bersifat profesi atau temporer dengan penghasilan tak pasti seperti wirausaha, perancang busana, arsitek, pemborong, seniman, atau artis, sebaiknya mencapai 6-10 kali pengeluaran.
"Pada pekerjaan berpenghasilan tak tetap, tidak bisa diperkirakan jumlah yang diterima setiap bulan. Kadang bisa besar kalau dapat proyek. Tapi saat tiada penghasilan, tetap ada kebutuhan yang harus dipenuhi kan?" tutur pria yang menyelesaikan studi pascasarjana di American University, Washington, D.C., ini.
Selanjutnya, dana ini ditempatkan dalam bentuk uang atau harta yang sifatnya cair sehingga bisa diuangkan segera. Tapi sebaiknya bukan uang yang disimpan di bawah bantal, karena ada risiko kehilangan. Pilihannya bisa dalam bentuk tabungan, deposito berjangka pendek atau reksadana pasar uang.
Menaruh uang di tempat yang tak mudah dijangkau ini penting. Karena kalau begitu mudah diambil, bukan tak mungkin kita mudah tergoda "meminjamnya" untuk kebutuhan yang bersifat bukan darurat. Maunya buat darurat, malah bisa jadi gawat.
Soal penggunaannya, Ichsan menyarankan, pastikan bahwa penggunaannya memang benar untuk hal mendesak yang harus dipenuhi saat itu juga. Sebab jika masih bisa ditunda, akan lebih baik jika dimasukkan dalam pengeluaran bulan berikutnya. Lebih baik dana darurat ini tetap utuh untuk jaga-jaga akan hal tak terduga lain yang mungkin lebih mendesak.
Dalam Waktu Sesingkat-singkatnya
Sekilas, soal mengatur dan mengelola dana darurat semacam ini kedengarannya mudah dipahami. Tapi kalau giliran harus dipraktikkan "percayalah" sama sama sekali tidak mudah. Dibutuhkan suatu perencanaan matang, pengawasan ketat dan kedisiplinan melaksanakannya. Sayangnya, kata Ichsan, orang Indonesia tidak terbiasa menjalaninya.
Ichsan mengamati, kelemahan sebagian masyarakat kita adalah merasa berhak menggunakan seluruh penghasilannya untuk dikonsumsi. Dari seluruh penghasilan take home pay, semua bebas dikonsumsi. Bahkan kalau perlu boleh habis dalam tempo sesingkat-singkatnya di awal bulan. Kalau kurang? Ya ngutang.
"Orang mungkin merasa sudah bekerja keras, jadi merasa berhak menikmati jerih payahnya," kata Ichsan tentang kecenderungan konsumtif kebanyakan orang, termasuk sejumlah client-nya. "Kalau sudah begitu, jangankan dana darurat, untuk tabungan atau asuransi saja akan sangat berat. Umumnya orang seperti itu tidak punya bayangan apa yang akan dilakukan 10 atau 15 tahun ke depan."
Orang juga sering salah mengartikan dana darurat sebagai sumber dana dari mana saja yang bisa didapat sewaktu-waktu. Misalnya dana dari utangan kartu kredit, atau malah pinjaman dari rentenir si pembiak uang. Oke, kalau yang lebih lunak, bisa juga mengandalkan bantuan langsung tunai dari orangtua atau saudara. Apakah ini termasuk dana darurat juga?
Menurut Ichsan, dana semacam ini sifatnya memang cair karena bisa diperoleh kapan saja. Tapi kalau judulnya saja sudah utang, tetap harus dibayar. Lagi-lagi, akibatnya bisa membebani arus kas pada bulan berikutnya. Apalagi biasanya utang selalu dikenai bunga tinggi, malah kadang bunga-berbunga.
Bantuan keuangan dari pihak keluarga, seperti orangtua atau kakak, juga mempunyai kelemahan yaitu menyebabkan ketergantungan. Uang hibah ini juga membuat seseorang berada di posisi nyaman di luar dari kemampuannya sendiri. Aslinya dia tidak mampu, tapi selalu merasa sanggup karena selalu disumbang.
Sejauh pengalaman Ichsan, saat ini tak sedikit orang yang hidupnya masih mengandalkan bantuan orangtua. Padahal secara keuangan sebenarnya mandiri untuk mencukupi kebutuhannya. Tapi akibat adanya bantuan, ia bisa bergaya hidup melebihi penghasilannya. Celakanya, orang itu kadang tak menyadari bahwa dalam segala pemenuhan kebutuhannya, ada faktor orang lain di dalamnya.
Misalnya, ada sebuah keluarga yang selalu merencanakan untuk liburan ke luar negeri setiap tahun. Padahal kalau dilihat dari jumlah penghasilannya, paling hebat bisa membayar ongkos pesawat saja. Untuk penginapan dan sebagainya, berasal dari kocek orangtua. Atau ketika sang cucu ingin didaftarkan ke sekolah biasa, kakek-neneknya ikut campur dengan membayari uang pendaftaran ke sekolah yang favorit dan mahal.
Mungkin saja si pemberi bantuan memang mampu, bahkan kemampuannya bisa saja berlebih. Tapi menurut Ichsan, tetap saja sifatnya tidak pasti. Yang lebih penting lagi, jika terus menerus memperoleh bantuan, orang itu tidak dapat merencanakan pengaturan keuangannya dengan baik.
Bukan Darurat Berarti Reguler
Adakalanya bantuan yang harus diberikan untuk orang lain, sifatnya bukan cuma sewaktu-waktu, melainkan rutin setiap bulan. Jumlahnya juga cukup besar dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena menjadi kebutuhan bagi yang bersangkutan. Seperti bantuan kepada orangtua yang hanya mengandalkan penghasilan dari pensiun. Atau memberi dana khusus untuk perawatan kesehatan bagi keluarga yang membutuhkan.
Karena sifatnya yang reguler, bantuan semacam ini tidak termasuk dalam pos dana darurat, tapi sudah masuk dalam pos pengeluaran rutin setiap bulan. Karena itu Ichsan menyarankan untuk memasukkannya ke dalam rencana keuangan bulanan. Artinya juga, jumlah dan peruntukannya harus dibicarakan serta mendapat persetujuan dari pasangan.
Bagi mereka yang mengeluarkan dana semacam ini, acapkali sulit untuk menolaknya. Apalagi jika bantuan yang diberikan merupakan pemenuhan kebutuhan orang yang dibantu. Tidak ada kiriman, berarti tidak makan. Terhadap hal ini Ichsan hanya menyarankan agar diprioritaskan pemenuhan kebutuhan sendiri terlebih dahulu, baru untuk membantu orang lain. "Untuk itu perlu dikomunikasikan antara suami dan istri," Ichsan mengingatkan.
Agar tidak mengganggu rencana keuangan keluarga, cara terbaik menghadapi kebutuhan semacam ini, saran Ichsan, potonglah terlebih dahulu dari penghasilan kita. Jika sudah teranggarkan rutin, gaya hidup kita sudah menyesuaikan diri dengan jumlah penghasilan yang sudah terpotong tadi.
- Kerusakan kendaraan, rumah, atau barang bersifat vital dan diperlukan sehari-hari.
- Menalangi pembayaran biaya rumah sakit sebelum ditebus ke asuransi.
- Adanya tagihan tertentu atau kelebihan tagihan yang tak diperkirakan pada bulan sebelumnya, misalnya biaya telepon membengkak, pajak yang harus segera dibayar, dsb.
- Perhitungan yang meleset dari estimasi pengeluaran yang sudah direncanakan sebelumnya, misalnya kenaikan harga BBM yang mendadak di tengah bulan, yang memicu kenaikan harga lain.
Dimuat di Majalah INTISARI, Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar