Sehabis Marriot ancur gara2 bom mobil, 6 tahun lalu, saya beruntung bisa ketemu dan wawancara dengan tim penjinak bom Polri, yang kita kenal dengan nama "Gegana". Di markasnya di Kelapa Dua sana. Biasalah, dalam rangka penugasan untuk pembuatan artikel.
Tim penjinak bom yang dipimpin perwira berpangkat mayor ini orangnya asyik2, kalau gak bisa dibilang rada2 gokil. Sayang banget, mereka gak mau dikutip namanya (kecuali komandan tentunya) apalagi dipotret. Eh, bentar, ini tim penjinak bom beneran ya! Bukan sekedar tim penjinak bom "ria jenaka" yang datang kalau ada laporan ancaman bom doang. Dua tim itu rupanya beda.
Secara bercanda komandan mereka akan selalu bilang: "Jadi anggota tim penjinak bom adalah sebuah kesalahan. Jadi jangan buat kesalahan kedua!" Artinya ketika mereka menjinakkan bom, jangan sampai ada kesalahan, misalnya salah "potong kabel", meremehkan, kurang teliti, dsb. Soalnya kalau sudah... buuum! Nyawa gak ada yang jual, Man!
Tapi ternyata, mereka yang hasil dari seleksi psikologis yang ketat ini ternyata punya kekaguman sendiri sama para pelaku pengeboman. Soalnya para teroris itu harus melakukan tiga pekerjaan: bikin bom, membawa, dan meledakkan. Bandingin sama polisi yang cuma menjinakkan saja. Kalau di film, kerjaan kayak gini keliatannya nyantai aja (bahkan keliatan cool). Tapi di dunia nyata, butuh mental yang super duper baja. Kalau seandainya saya yang bawa bom, mungkin di tengah jalan, saya bawaannya udah kebelet pup duluan.
Dari ngobrol2 sama sang komandan, saya baru sadar, apa yang kita bayangin soal bom, sebenernya beda sama yang ada di kejadian nyata. Soal kabel contohnya. Enggak ada tuh kabel yang merah, kuning, atau biru kayak di film. Semua kabelnya item. Terus enggak semua bom tunduk sama aturan. Kapan aja dia bisa meledak. Lagi dirakit juga bisa meledak. Atau malah sebaliknya, dia bisa enggak meledak. Bayangin aja kalau gak meledak. Udah misi gagal, eeh malah nanti cuma bonyok digebukin satpam.
Antara penjinak bom dan pembuat bom, sebenernya ada semacam "kontak batin". Karena pelaku pembuat bom bisa diketahui dari hasil karyanya. Setiap bom meninggalkan ciri dari pembuatnya. "Jadi kita bisa tau itu bom buatan siapa dari kelompok mana," begitu kata sang komandan yang menurut saya ketawanya agak aneh ini. Soalnya waktu itu enggak semua bom buatan "pabrik mercon dan bom tjap noordin emang top", tapi ada juga bom buatan kelompok2 lain.
Belakangan dengan adanya tren bom bunuh diri, tentu kerjaan para teroris itu nambah. Mereka gak cuma harus merekrut orang yang bermental baja, tapi juga siap mati. Kalau yang bermental baja, mungkin banyak orang yang masuk kriteria. Tapi kalau siap mati, kandidatnya bakal makin sedikit.
Kandidat bakal makin berkurang lagi, karena katanya, ada tiga "syarat" buat pelaku bom bunuh diri yang biasanya diincer Noordin alias masuk ke seleranya dia untuk dibina, yaitu: miskin, taat beribadah, pendiam. Bayangin aja, gimana susahnya nyari orang dengan kriteria plus plus plus kayak gitu. Pantaslah kalau mereka itu kita katakan orang-orang pilihan. Minimal, pilihannya Noordin.
Anda termasuk?
30 Juli, 2009
Orang-Orang Pilihan (Noordin)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar