05 Agustus, 2009

Berburu Satwa Bersenjatakan Kamera

Memotret orang? Ah, itu sih biasa. Memotret hewan atau tumbuhan, baru terasa sulit. Apalagi memotret langsung di habitatnya, di alam bebas. Riza Marlon, juru foto alam bebas (nature photographer) punya banyak pengalaman tentang pekerjaan yang hanya digeluti segelintir orang ini.

Apa sulitnya memotret orangutan atau cendrawasih? Tinggal siapkan kamera, ambil posisi yang pas, bidik, lalu tekan tombol pembuka rana. Jepret! Dengan sedikit saja pengetahuan tentang fotografi, pasti akan didapat foto berkualitas lumayan.

Tapi sebentar! Itu tadi kalau kita memotret di kebun binatang atau taman safari. Memotret di alam bebas, bisa lain ceritanya.

Di hutan belantara sana, kemampuan teknik fotografi cuma jadi satu riak dari gelombang pengetahuan tentang perilaku hewan, kondisi alam, jaringan informasi, manajemen waktu dan peralatan, sampai kesiapan fisik yang prima. Memotret satwa atau tumbuhan tertentu, tak ubahnya seperti berburu, namun tanpa membunuh sasaran.

Dibandingkan dengan hasil potret binatang "rumahan" tadi, hasilnya tentu berbeda. Memang, orang awam biasanya agak susah melihat perbedaannya. Namun bagi mata yang telah terbiasa, ekspresi mimik hewan "jinak" lain dengan saudara-saudaranya di alam bebas. "Terasa lebih alami," jelas Caca, panggilan akrab Riza Marlon. "Bagi kita (sebagai pencinta alam) juga ada rasa eksotisme sendiri kalau bisa melihat sosoknya secara langsung."

Demi mengejar ekspresi alami itulah, Caca menekuni dunianya setapak demi setapak, dimulai awal tahun 1990-an. Apalagi lulusan Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta ini menyadari kurangnya dokumentasi tentang flora dan fauna di Indonesia, bahkan yang masuk kategori dilindungi sekali pun. Jika ada, buku-buku jenis itu diterbitkan penerbit asing.

Kebetulan semasa di kampus, pria berambut panjang ini sering terlibat dalam proyek penelitian bersama rekan-rekan satu fakultas dan membuat dokumentasi fotonya. Perjalanan hidup Caca yang sempat menjadi pemandu wisata alam juga semakin memantapkan minatnya. Dengan modal peralatan pinjaman dari sana-sini, ia memulai dengan membuat stok foto tentang alam. Hasilnya dikirim ke media massa atau dibuat barang-barang cetakan seperti kalender dan kartu pos. "Waktu itu (foto-fotonya) malah enggak pernah lolos di Intisari yang cover-nya pemandangan alam," katanya tergelak, mengenang masa 15 tahun silam.

Cenderawasih bernyanyi
Di tengah kelembaban hutan, diiringi nyanyian sekawanan burung dan sinar Matahari yang menerobos pepohonan, di sanalah Caca banyak menghabiskan hari-harinya. Pagi hari, di saat hewan belum lagi menggeliat dari tidur, tak jarang ia sudah harus masuk ke dalam bilik pengintaian. Ini bilik kamuflase yang terbuat dari dedaunan yang dijalin rapat untuk mencegah bau tubuhnya tercium mamalia atau geraknya tertangkap mata hewan predator.

Di sini kesabaran benar-benar ditempa, hanya sekadar untuk menunggu datangnya sang model yang diburu. Berjam-jam waktu terlewatkan atau bahkan bisa seharian tanpa hasil, bukanlah mustahil. Tak heran jika Caca berpendapat, aset terbesar seorang fotografer alam bebas adalah informasi yang akurat dari masyarakat soal keberadaan hewan-hewan tertentu. Informasi bisa didapat dari penduduk, pencinta alam, atau LSM lingkungan setempat. Dengan merekalah Caca membina jaringan di seluruh daerah di Indonesia.

Tentu bukan sekadar informasi. Tak kalah penting adalah lokasi yang memungkinkan untuk pengambilan gambar, terutama menyangkut pencahayaan. "Inilah kesulitan memotret di hutan tropis yang rapat. Di taman safari seperti di Afrika atau pegunungan Amerika mungkin malah lebih gampang," terang pria penggemar ular ini.

Tak jarang untuk mencapai lokasi semacam itu dituntut pengorbanan besar. Seperti yang dilakukannya tahun lalu, saat memburu cenderawasih bulu enam (Parotia sexpennis) di Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Papua. Caca harus berjalan kaki 16 jam menaiki pegunungan, plus dua jam menuju habitat burung asli Papua itu. Bisa terbayangkan tenaga yang dibutuhkan. Apalagi total peralatan yang dibawa tak kurang dari 30 kg!

Senangnya, hasil yang didapat boleh dibilang sepadan. Fenomena yang terlihat benar-benar menakjubkan. Pagi hari sebelum pukul 06.00, cenderawasih jantan sudah tampak menyiapkan tempatnya beratraksi. Ia mulai membersihkan dedaunan yang mengalangi sinar Matahari. Kemudian bak bintang panggung, ia bernyanyi dan menari untuk memamerkan keindahan tubuhnya. Dua sampai enam betina yang naksir segera menghampiri. Sang jantan pun leluasa memilih yang tercantik sebagai calon istri. Menyaksikan semua itu, rasa lelah seharian seperti lunas terbayar.

Mengingat masing-masing hewan punya keunikan, akan lebih baik bila juru foto alam bebas mengetahui perilaku satwa yang hendak difoto sebelum perburuan dilakukan. Pengetahuan semacam inilah yang membantu Caca saat memburu elang jawa (Spizaetus bartelsi) di Sukamantri, Sukabumi, Jawa Barat. Meski jumlah elang masih relatif banyak, ia hanya punya kesempatan memotret saat induk elang memberi makan anaknya. Sebuah kemungkinan yang bisa jadi hanya sekali dalam sehari.

Beruntung, saat itu Caca menemukan keluarga elang dengan dua anak yang masih kecil-kecil, sehingga induknya akan lebih sering datang. Namun, sebagai hewan predator, elang sangat waspada terhadap sekelilingnya. Gerakan kecil dari ujung lensa kamera selebar beberapa sentimeter saja dapat dilihatnya. Kesempatan yang tipis itu harus dimanfaatkan dengan cermat.

Kali lain, Caca membutuhkan ketekunan luar biasa saat memburu primata. Di habitat aslinya, hewan itu dikenal sangat sensitif terhadap keberadaan manusia dan selalu berpindah tempat. Saat memotret monyet sulawesi (Macaca maura) di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara, misalnya, ia memburunya bersama sebuah tim peneliti. Dengan koordinasi lewat radio komunikasi, segera bisa didapat lokasi yang tepat.

Ketika memburu orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, Caca juga menggunakan cara serupa. Namun, ia harus waspada karena orangutan akan melawan dengan melempar batang dan ranting kayu jika merasa terusik oleh kehadiran manusia. "Sulit sekali, karena kita juga tidak bisa terlalu jauh dari jalur jalan setapak di hutan. Masuk terlalu dalam berarti ada risiko kena hewan berbisa," jelas ayah dua anak ini.

Kualitas karya Caca antara lain juga dapat dilihat pada foto julang sulawesi ekor putih (Penelopides exarhatus) berlokasi di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto yang diambil dengan teknik mengikuti objek bergerak (panning) diambil dari sebuah menara pengamatan pada ketinggian 30 m. Pada ketinggian seperti itu seorang juru foto harus tetap tenang meski angin selalu menggoyang menara.

Kesempatan langka
Berdasar pengalaman Caca - yang biasa memakai Nikon DS 100 sebagai senjata andalan untuk berburu ini - faktor kesempatan memang menjadi sangat mahal dalam dunia fotografi alam bebas. Ia selalu belajar untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan pertama saat bertemu buruannya, tapi juga harus mampu menahan emosi untuk tidak membuang-buang frame. Sebuah perhitungan yang hanya bisa diasah lewat "jam terbang".

"Mungkin pencahayaan saat itu sangat buruk, tapi sebuah momen mungkin tidak akan pernah terulang. Di sini manajemen waktu benar-benar harus diatur sebaik-baiknya," jelas juru foto yang merasa cukup membawa 100 rol film setiap kali perjalanan selama satu bulan ini.

Wajar jika Caca kemudian berpendapat, nilai fotografi alam bebas ditentukan pula tingkat kesulitannya, yang bahkan mengalahkan faktor teknis fotografi itu sendiri. Foto seekor badak jawa (Rhinocerus sondaicus) berkubang lumpur, misalnya, mungkin tidak terlihat "cantik" di mata awam. Tapi untuk dapat bertemu langsung dengan badak jawa di habitat aslinya, sungguh merupakan kesempatan langka!

Berkat kegigihannya, foto-foto satwa berkredit foto Riza Marlon kini bertebaran di beberapa media informasi terbitan lembaga-lembaga internasional seperti World Wildlife Fund (WWF), Wildlife Conservation Society (WCS), atau UNESCO. Beberapa kali ia juga diminta menjadi pemandu untuk pembuatan film dokumenter televisi asing. Sebuah lahan bisnis yang diakuinya cukup menjanjikan, jika tidak tersedak krisis ekonomi yang melanda negeri ini.

Pria kelahiran Jakarta ini mengakui, hal tersulit adalah memasarkan karya-karyanya. Sejauh ini ia mengandalkan permintaan dari lembaga-lembaga yang berkepentingan terhadap kelestarian alam. Sementara ruang untuk foto-foto alam di media-media cetak di Indonesia semakin terbatas. Padahal, ia belum menggunakan jasa agen untuk pemasaran. "Cuma karena masalah kepercayaan saja," alasannya.

Kini keinginan terbesarnya adalah menerbitkan sebuah buku tentang satwa Indonesia. Berulang kali ia sering mengajak sejumlah ilmuwan untuk mewujudkannya, meski realisasinya masih jauh dari harapan. Padahal, untuk idealismenya ini Caca mengaku siap mengesampingkan masalah finansial seperti harga fotonya. "Buku itu sifatnya jangka panjang dan mempunyai nilai ilmiah," kata Caca yang memiliki arsip sekitar 12.000 frame.

Sedangkan di dunia fotografi, Caca merindukan munculnya juru foto yang mau menekuni bidang ini. Karena sampai saat ini, ia belum mendengar satu saja nama yang mengikuti jejaknya.
"Partner penting bagi saya untuk terus meningkatkan karya. Karena sebenarnya ini sebuah proses panjang dan berjenjang. Ibaratnya seperti sekolah dari SD sampai kuliah," katanya.
Dalam perjalanan panjang itulah Caca beruntung menjadi salah satu saksi masih indahnya alam Indonesia. Entah sampai kapan.


Raja Udang di Atas Banteng

Bukan karena gaptek (gagap teknologi) jika Caca tidak mau beralih sepenuhnya pada teknologi kamera digital. Alasannya, film analog masih tetap unggul untuk keperluan pencetakan, terutama jika dilakukan perbesaran. Alasan lain, ia tidak mau kerepotan membawa-bawa baterai charger karena di daerah belum tentu ada listrik. "Bawa kamera digital (paling) buat cadangan atau buat laporan sementara ke klien," jelasnya.

Meski banyak memakai film positif (slide), Caca mengaku berhati-hati saat mengolah foto karya-karyanya secara digital di komputer. Sebatas mengoreksi pencahayaan dan sejenisnya, oke-oke saja. Namun, kalau sudah memanipulasi foto, akan sangat mungkin tergelincir lebih jauh, yang akan merugikan reputasinya.

Caca berkisah, ia sempat terperangah saat menjadi juri di suatu lomba foto satwa. Lomba-lomba di era digital seperti sekarang ini memang memberi keleluasaan pada foto untuk diolah. Namun di mata Caca, hasilnya malah banyak melahirkan kejanggalan, bahkan penipuan. Salah satunya ia menangkap foto seekor burung raja udang yang bertengger di tanduk seekor banteng!

Meski sekilas tidak tampak, karena penggarapannya sangat halus, ia yakin foto yang menarik itu merupakan hasil rekayasa komputer. Tidak mungkin burung raja udang yang hidupnya di tengah hutan bermain-main dengan banteng di sebuah taman safari. "Kejadian kayak begini bisa membuat orang tidak percaya kepada nature photography," katanya prihatin.


Dimuat di: Majalah INTISARI, April 2004


Tidak ada komentar: