27 Juni, 2007

Sendirian Memantau Tsunami Datang

Ancaman amuk gelombang tsunami kini bisa diantisipasi dengan alat pemantau tsunami (tsunameter), yang dipasang di tengah laut. Hanya beberapa menit setelah gelombang calon tsunami terbentuk, ancaman terdeteksi. Sirene dibunyikan, penduduk pun bisa diungsikan. Tapi semua itu masih tergantung kepada perangkat komunikasinya.

Sekadar berandai-andai, apa jadinya kalau suatu hari nanti terjadi lagi gempa bumi, lalu diikuti tsunami, dan mengancam pantai barat Sumatra? Panik, tentu saja. Kerusakan, pastilah ada. Tapi kali ini, banyak pihak optimistis, penanggulangan bencana bakal bisa lebih baik. Paling tidak, dibandingkan dengan penanganan bencana tsunami yang memorak-porandakan sebagian Aceh dan Sumatra Utara, akhir 2004 lalu.

Tsunami yang menimbulkan korban lebih dari 150.000 orang tewas itu, memang telah memberi kita banyak pelajaran soal mitigasi bencana. Sirene peringatan tsunami saat ini sudah dibangun di beberapa lokasi di pantai-pantai Sumatra. Masyarakat sudah berlatih penyelamatan diri menuju tempat aman. Tapi yang terpenting, di titik-titik tertentu (di laut) mulai dipasang tsunameter.

Istilah tsunameter baru-baru ini dibakukan UNESCO untuk merujuk alat pengukur tsunami. Sebelumnya, orang mengenal tsunami buoy, DART (di Amerika Serikat), GITWS Buoy (di Jerman), atau Tsunami Wavescan (di Norwegia). Negara-negara maju itu memang sedang giat-giatnya memelopori pemasangan tsunameter di berbagai wilayah rawan gempa, sebagai bagian dari sistem peringatan dini tsunami. Tekadnya, kalau kerusakan harta benda tidak bisa dicegah, minimal korban jiwa bisa dikurangi.

Ada yang bilang, kedatangan tsunami persis seperti maling. Datangnya tidak bisa diramal, juga tanpa permisi. Tiba-tiba dalam hitungan menit setelah gempa bumi, datang gelombang pasang air laut setinggi pohon kelapa yang melahap korban jiwa dan harta benda. Tapi bukan berarti air bah maut itu tidak bisa diantisipasi, seminim apa pun waktunya. Nah, di celah waktu sempit seiprit itulah tsunameter berperan.

Jangan langsung panik
Jika sekadar diistilahkan "buoy" atau pelampung, sebenarnya tidak tepat, karena tsunameter sebenarnya terdiri atas dua bagian, surface buoy (SB) yang mengapung-apung di permukaan laut dan ocean bottom unit (OBU) yang ditempatkan diam di dasar laut. Pembagian tugasnya, OBU mendeteksi adanya tsunami dan SB melaporkannya.

Seperti kita tahu, tsunami dipicu oleh terjadinya gempa bumi atau letusan gunung berapi di dasar laut. Pelepasan energi dari dua fenomena alam itu mendorong terjadinya gelombang laut yang kemudian merambat cepat menuju ke daratan yang bentuknya tsunami.

Tapi sebentar! Mohon jangan membayangkan gelombang tsunami di laut sama seperti di darat, atau mirip yang kita lihat di televisi waktu bencana Aceh dulu. Di tengah laut sana, gelombangnya nyaris tidak terlihat dan tidak bisa dirasakan, bahkan oleh kapal-kapal yang kebetulan melintas di atasnya.

Sifat gelombang sangat dipengaruhi kedalaman laut. Pada kedalaman 7.000 m misalnya, kecepatan gelombang bisa mencapai 943 km/jam, tapi tingginya tidak lebih dari 60 cm saja. Ketika gelombang mendekati pantai, kecepatannya menurun tapi ketinggiannya terus naik, akibat bertumbukan dengan daratan yang terus menanjak. Maka jangan heran kalau tsunami yang menghantam Banda Aceh saja tingginya rata-rata 9 m.

Nah, sebelum gelombang tadi mencapai daratan, tsunameter akan mengenali anomali air laut di sekitarnya. Teori sederhananya, kalau ada kenaikan gelombang, maka tekanan di dalam laut juga ikut meningkat. Kondisi itulah yang akan ditangkap sensor bottom pressure recorder (BPR) pada OBU di dasar laut.

Bisa dibilang, sensor BPR inilah jantungnya tsunameter, karena dia yang harus sangat sensitif menangkap perubahan tekanan di dalam laut. Prinsip kerjanya, pada sensor BPR ada algaritme yang mencatat nilai ketinggian air untuk kemudian membandingkan seluruh sampel baru dengan nilai prediksinya. Kalau dua nilai ketinggian air dalam selang waktu 15-an detik melebihi nilai prediksi, maka sistem akan mengenalinya sebagai dugaan adanya tsunami.

Sensor BPR buatan AS yang umum dipakai sekarang, bisa membedakan perubahan tekanan hingga satuan ukuran 5 mm, pada kedalaman 6.000 m. "Tapi bukan berarti deteksi gelombang tsunami harus pada ambang ketelitian tersebut," terang Dr. Wahyu Pandoe, peneliti kelautan dari Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT). Karena masalahnya, perubahan tekanan yang ditangkap sensor BPR, bukan selalu gara-gara tsunami saja. Bisa anomali cuaca, anomali arus, atau parameter oseanografi seperti internal wave dan reflecting wave. Cuma biasanya faktor-faktor tadi mempengaruhi perubahan di bawah 3 cm saja pada sensor. Nah, dari sinilah para ahli lalu menetapkan pengukuran di atas 3 cm pada sensor menjadi batas angka tekanan gelombang yang berpotensi tsunami.

Tapi harus hati-hati juga. Kalau suatu saat tiba-tiba tiiit! ... sensor menangkap dugaan ada tsunami, kita jangan langsung panik. Siapa tahu itu alarm palsu! Harus dicek betul, apakah ada gempa dan bagaimana cuaca di sekitar tsunameter saat itu. Karenanya, SB yang ada di permukaan laut biasanya dipasangi juga sensor tambahan untuk pengukuran meteorologi dan oseanografi.

Jika hari cerah ceria tiada gempa, komputer pada OBU mencatat tekanan gelombang laut setiap 15 detik dan melaporkannya satu kali sehari ke pusat pemantau tsunameter. Tapi kalau tiba-tiba ada kenaikan tekanan, bisa karena tsunami atau sebab-sebab lain, komputer akan melaporkan satu menit sekali selama satu jam pertama sejak tekanan naik.

Alur pelaporannya, data dari komputer OBU di dasar laut dikirim dulu ke SB di permukaan laut dengan modem akustik. Di permukaan, SB baru akan meneruskannya ke pusat pemantau tsunami di kantor pusat lewat satelit. Kalau keputusannya memang tsunami positif akan datang, pejabat berwenang bakal mengeluarkan peringatan kepada penduduk yang daerahnya terancam.

Kedengarannya gampang, walau praktiknya belum tentu semulus itu. Sebab sukses-tidaknya kerja tsunameter, sangat bergantung pada kinerja seperangkat alat komunikasi yang dipakai untuk menyampaikan peringatan secepat mungkin. Ada modem pengirim data dari dasar laut, pemancar di SB ke satelit, hingga penerima data di kantor pusat pengendalinya. Kalau informasinya terlambat dan tsunami sudah duluan sampai darat, ya percuma saja 'kan?

Buatan bangsa sendiri
Sampai saat ini, seperti diamini para ahli, teknologi pemantau perubahan tekanan air laut masih menjadi pilihan terbaik dan efisien untuk memprediksi datangnya tsunami. Mungkin karena alasan itu pula, sebagai negara rawan gempa yang wilayahnya mayoritas laut, Indonesia merasa perlu membuat "pagar tsunameter".

Rencananya, sampai tahun 2008, bakal ada sekitar 24 tsunameter yang dipasang sepanjang perairan Nusantara. Penyebarannya mengikuti jalur rawan gempa, mulai Samudera Hindia sebelah barat Sumatra, selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara, selatan Sulawesi, utara Nusa Tenggara, utara Maluku sampai ke utara Papua. Alatnya ada yang buatan Indonesia (11 buah), AS (2), Jerman (10), dan Malaysia (1).

Sekarang tiga tsunameter sudah terpasang di Samudera Hindia bagian barat Sumatera dan barat daya Jawa. Dua buah bantuan Jerman, satu lagi hasil karya negeri sendiri, bikinan BPPT. "Alat itu kita kembangkan sendiri, seperti misalnya hidrodinamikanya kita hitung sendiri. Ada pembelajaranlah dari sana," kata Dr. Ridwan Djamaludin, Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT yang sudah setahun ini sibuk mengurusi tsunameter.

Tsunameter buatan bengkel kerja BPPT di Serpong itu jelas bisa menekan biaya pengadaan. Buat gambaran saja, harga tsunameter di luar negeri sekitar Rp 5 miliar, belum termasuk ongkos pasang dan perawatan. Sementara proyek BPPT dari dana APBN 2007 ini anggarannya Rp 40 miliar, mulai dari riset sampai peluncuran. Hampir seluruh komponen asli buatan sendiri, kecuali perangkat-perangkat elektronik seperti sensor BPR dan modem akustik yang dibeli dari AS.

Cuma sayangnya, jujur saja, tsunameter BPPT sekarang masih punya banyak hambatan, terutama soal komunikasinya. Sejak dari adanya dugaan tsunami sampai informasinya diterima di kantor pengendali di BPPT Jakarta, idealnya sebenarnya cuma makan waktu tiga menit. "Tapi sekarang rata-rata delay-nya masih 15 - 20 menit," aku Ridwan. Karena itu ia mengaku sedang menimbang-nimbang alternatif satelit untuk pengiriman datanya.

Jika nanti seluruh tsunameter sudah bekerja baik, pekerjaan rutin yang justru menyita waktu dan biaya adalah soal pemeliharaan. Alat ini minimal harus selalu ditengok setahun sekali untuk mengganti baterai sensor. Tumbuhan atau binatang yang menempel pada OBU juga dibersihkan dalam ritual tahunan itu.

OBU harus diangkat ke permukaan dalam pemeliharan rutin. Caranya, OBU dilepas dari pemberat lewat sebuah alat pengontrol. Kelar seluruh pekerjaan perawatan, OBU ditenggelamkan lagi dengan diberi pemberat baru. Tentu bisa dibayangkan kesibukan tim BPPT jika semua tsunameternya sudah terpasang.

Asal tahu saja, pemeliharaan rutin ini tidak bisa dianggap enteng. Maret 2006, dua tsunameter bantuan Jerman sempat "hilang" dalam waktu hampir bersamaan. Tapi walau alat seberat 1,2 ton itu terus hanyut dibawa arus laut, posisi pergerakannya bisa terus terlacak lewat pemantau GPS. Lucunya, berita yang muncul di media massa waktu itu menyebutkan bahwa tsunameter itu telah dicuri perompak kurang kerjaan.

Baru setelah ditemukan, diketahui penyebab larinya tsunameter adalah tali baja penambat yang putus akibat gesekan. "Ada kesalahan dalam pemasangannya," terang Ridwan, membantah pemberitaan media massa. Agar kejadian itu tidak terulang, 500 meter pertama tali penambat tsunameter milik BPPT akhirnya diputuskan memakai nilon.

Setiap tsunameter juga dilengkapi reflektor radar sebagai pelindung tambahan, agar kapal melihatnya sebagai obyek laut dan tidak ditabrak. Pada malam hari, juga ada lampu kedip-kedip sebagai penanda. Itu artinya, jika perahu Anda kebetulan melintas, jangan mengusiknya. Lambaikan tangan saja, siapa tahu tsunameter yang selalu kesepian di tengah lautan itu akan tersenyum senang.


Dimuat di Majalah INTISARI Juli 2007


Catatan saya:
Bahan tulisan kebanyakan didapat dari hasil wawancara dengan Dr. Ridwan Djamaluddin di kantornya di BPPT. Saat itu sebenarnya Ridwan sedang kurang sehat karena katanya habis begadang menonton sepakbola dan hari itu ia bermaksud cuti kerja. Doktor yang penampilannya masih kayak anak muda itu memang penggila bola. Banyak pernak-pernik berbau sepakbola di kantornya. Lucunya, Ridwan pada saat itu masih memakai istilah tsunami buoy. Baru setelah Ridwan memperkenalkan saya dengan Dr. Wahyu Pandoe melalui e-mail, saya mendapat istilah tsunameter, yang belakangan menjadi populer.

Tidak ada komentar: