08 Mei, 2009

Temanku Punya Kawan

Sebuah catatan tentang pertemanan

Suatu kali saya ketemu seorang teman, yang kira-kira 10an tahun tidak terdengar kabarnya dan tidak pernah kontak. Kangen juga. Dan penasaran, karena ketika terakhir kami ketemu, dia sedang ada sedikit masalah sama dirinya. Kira2 gimana ya keadaannya sekarang?

”Hey.” Saya menyapa duluan.
”Eh, sibuk apa lu sekarang?”
”Biasa aja. Kerja. Kenapa emang”
”Gue ada bisnis bagus nih, … bla bla bla”

Apakah berlebihan kalau saya kemudian menjadi bete berat? Bukan cuma karena dia membuka percakapan dengan langsung tunjepoin, yaitu menawarkan bisnis.... MLM !!!??? Tapi juga karena ”penghargaan” dia terhadap pertemuan kami saat itu, ternyata berbeda derajatnya.

Ada teman, ada sahabat. Kata orang, itu adalah dua jenjang perkawanan yang berbeda. Dan semua orang mungkin juga tahu tentang hal itu. Tapi kok saya sangsi, orang tidak akan pernah betul2 memahami makna persahabatan jika tidak pernah mengecap sebuah pertemanan sejati.

Teman dan pertemanan tidaklah abadi. Setidaknya, saya percaya ada unsur kepentingan semasa yang melandasi hubungan baik antara 2 orang. Setelah terpisah oleh keadaan, yang tetap mempersatukan mereka mungkin hanyalah memori di otak dan kemampuan daya ingat.

Dari Facebook, saya ketemu beberapa orang yang dulu pernah kenal dan menjadi teman. Umumnya teman di sekolah. Ada yang antusias, ada yang sekedar senang, ada yang biasa2 saja, tapi ada juga beberapa yang langsung meng-ignore request saya.

He-he-he, tidak apa2 kok.Saya tidak harus merasa kesal, tersinggung, atau merasa apa begitu. Bagaimana saya harus kesal, jika dalam ”testimonial” (hehe, bahasa jaman friendster nih), mereka sendiri mengaku tidak ingat banyak tentang masa lalu. Bukankah kita juga tidak harus dirasakan berarti bagi semua orang? (hihihi, ini pasti cuma menghibur diri :p)

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengeluh karena begitu banyak friends di akun Facebook dia yang katanya cuma sekadar ”menuh-menuhin friends list ajah”. Kekesalan itu bahkan sempat disinggung di Notes dia. Salah sendiri, kata saya. Ngapain juga dulu main ok-ok aja waktu diajak temenan di Facebook.

Eh, tapi sebentar! ”Apa kamu ingat misalnya sama yang... ini,” kata saya sambil menunjuk seorang teman di friends list dia.
Dia tampak berpikir keras beberapa saat sebelum menjawab dengan ragu, ”Enggak. Emangnya dia siapa sih?”

Saya cuma tertegun. Bagaimana dia bisa lupa pada seseorang yang pernah dengan begitu tulus membantu di saat dia sedang kesusahan dulu?

Dari Facebook juga (hehe, ajaib bener sih nih web) saya ketemu seorang teman lama yang sedang ”menyendiri”. Hey, saya menyapa. Kenapa sendirian? Sudah banyak tuh teman2 lama yang ngeriung. Beberapa malah sudah ketemuan. Kamu ikutan Facebook, kok kamu enggak add mereka? ....

(Atau... memang sengaja menghindar?)

Dia diam saja.
Tapi akhirnya dia mencoba pada lingkaran pertemanan yang terdekat lebih dulu.

Memang, pernah saya dengar beberapa isu miring tentang dia, di masa lalu. Ah, tapi sudahlah. Mungkin semua orang sudah melupakannya. Atau orang tidak peduli, seperti juga yang saya coba lakukan. Toh kita hidup di masa kini. Bukankah pengalaman selama ini mengajarkan: waktulah yang senantiasa akan me-reset seluruh pertemanan kita.

Dugaan saya ternyata benar. Beberapa waktu lalu, ketika saya intip akun dia, beberapa teman lama sudah menyambutnya hangat: selamat datang teman



catatan
saya tulis untuk Notes Facebook saya

Tidak ada komentar: